Ancaman Besar

961 Words
Sehari sebelumnya… “Halo semuanya... Liat gue! Ini bakalan seru.” Aska, siswa bandel yang terkenal sering bolos itu berdiri di depan kelas seperti sedang ingin memberi pengumuman, sejurus pandangan mengarah padanya. Para cewek memperhatikan tingkah Aska dengan pandangan gemas, selalu saja ada tingkah lucu dari pria bertubuh atletis yang terkenal bandel itu. Kecuali Beby, gadis itu tampak sibuk menulis, seakan tidak peduli dengan situasi di sekitarnya. Aska menjulurkan lidah ke arah seorang cewek, gadis kucir dua yang duduk di bangku paling depan. Gadis itu menatap jorok pada permen karet yang menempel di lidah Aska. “Ambil, nih!” titah Aska sambil melempar senyum. “Iiih... Aska jorok.” Cewek itu menjauhkan badannya. Aska tertawa. Lalu mengambil permen karet tersebut dan menempelkannya ke kursi guru. “Ka, kita ada kelas sama Pak Toha. Lu mau digorok sama Pak Toha?” tukas Dino mengingatkan, barang kali jidat Aska baru saja kepentok dinding sampai lupa kalau mata kuliah diisi oleh dosen yang terkenal killer. “Alaaa... Liat aja entar. Ini bakalan seru.” Aska melangkah ke kursinya, berseberangan dengan kursi Beby. Anak-anak bergegas duduk ke kursi masing-masing saat Pak Toha memasuki ruangan kelas. Seperti biasa, gayanya style dengan celana polo mahal dan sepatu kilat, ia mengedarkan pandangan sekilas ke wajah anak-anak. Lalu meletakkan beberapa buku berukuran besar yang ia tenteng ke meja, lalu duduk. Permen karet otomastis lengket di celana Pak Toha ketika guru setengah baya itu duduk di kursi. “Iyaaaak. Pas!” bisik Aska sembari tersenyum menatap b****g Pak Toha yang menduduki benda lengket itu, mulut Aska masih mengunyah permen karet. Baru saja habis satu permen dia gilas, detik berikutnya dia akan melahap permen lainnya. Entah berapa banyak stok permen di tasnya. Anak-anak mulai berbisik dan saling pandang. Menantikan keseruan dan ketegangan setelah ini. Merasa ada yang mengganjal di bokongnya, Pak Toha menyentuh celana belakangnya. Dan ternyata permen karet. Ia berusaha melepas permen karet dari celananya, tapi terlanjur lengket. Dan dicobanya melepas benda lengket itu dengan cutter. Hasilnya, celananya malah bolong akibat sayatan benda tajam itu. Sontak pandangan mata Pak Toha menatap tajam ke seisi kelas. “Siapa yang sengaja meletakkan permen karet di kursi saya?” gertak Pak Toha. Meski pertanyaan ditujukan kepada seluruh siswa, namun tatapannya berkali-kali tertuju ke arah Aska. Ia sudah curiga pada Aska, karena hanya Aska, siswa yang usil, jahil, dan terlihat selalu mengunyah permen karet. Tak satu pun siswa yang berani menjawab. Gaya selengekan dan keberanian Aska sudah seperti bom yang seakan-akan siap meledak dan membuat seluruh siswa memilih bungkam. Entah mereka takut, atau tidak mau tau, atau tidak mau berurusan dengan Aska, atau bahkan malah menyukai gaya nakal Aska yang bikin kepala mumet sehingga membiarkan Aska berulah? Entahlah... Tidak semua siswa di kelas itu saling kenal karena ini adalah hari ketiga setelah kenaikan kelas. Mereka berbaur dari kelas yang berbeda-beda. “Aska, apa ini ulahmu?” tanya Pak Toha sambil memukul meja, berharap pukulannya tersebut memberi efek takut pada Aska. Tapi dugaannya salah, tidak ada dampak apa pun dari Aska, muridnya itu tetap terlihat tenang dan santai. “Apa Bapak ada bukti?” tanya Aska dengan santainya. “Jadi siapa yang berani main-main dengan Saya?” Pak Toha melayangkan pandangan tajam kepada wajah-wajah di depannya. Seluruh siswa mulai berbisik, kasak-kusuk hingga ruangan terdengar menggemuruh. “Siapa?” bentak Pak Toha yang mulai kehilangan kesabaran. “Berani-beraninya ngerjain guru seperti ini.” “Aska, Pak,” jawab Beby dan berhasil membuat seluruh siswa terperangah. Hening. Kelas seketika benar-benar menjadi hening. Aska menoleh ke arah Beby dengan sorot berbeda. Kunyahan di mulutnya pun sampai terhenti. Beby menjawab demikian bukan tanpa alasan, sehari yang lalu ia ditunjuk menjadi ketua kelas. Ia harus mempertahankan reputasinya sebagai ketua kelas yang tentunya menegakkan kebenaran dan kejujuran di mata anak-anak. Jika ia diam, tentu anak-anak akan menganggapnya pecundang dan tidak pantas menyandang jabatan ketua kelas. Ketua kelas kok melempem? Ia tidak mau menyandang predikat buruk itu. Aska masih memfokuskan pandangan ke wajah Beby yang berjarak satu kursi darinya. Mata gelapnya terus menatap gadis berambut sepunggung itu dengan pandangan yang tidak seorangpun tahu artinya. Findy, teman sebangku Beby menyenggol lengan Beby dan berbisik, “Iiihh... kenapa lo ngejawab, sih? Emangnya lo mau berurusan sama Aska? Dia bakalan bales dendam ke lo.” Beby tidak menghiraukan. Aska bukanlah monster. Dia hanya cowok jahil dan urakan. Dua kali tidak naik kelas karena tidak mengikuti ujian, alasannya sakit. Wajar saja usianya dua tahun lebih tua dibanding siswa lainnya. Wajahnya juga tampak lebih dewasa. Tidak ada yang perlu ditakuti dari Aska. Beby berusaha menenangkan diri. Semoga apa yang ia pikirkan itu benar. “Tuu liat deh dia ngeliatin elo, tatapannya tajem banget gitu,” bisik Findy lagi. “Askaaaaa...” Pak Toha berteriak marah. Hari itu juga, Aska menerima hukuman yang membuat seantero kampus tercengang. Tak seorang pun pernah menerima hukuman seperti yang ia terima. Aska berjoget di tengah-tengah lapangan mengenakan kostum monyet, musik dangdut mengiringi. Hukuman berlangsung selama satu jam dan diawasi langsung oleh Pak Toha melalui jendela kelas. Posisi lapangan yang berada tepat di depan kelas membuat Pak Toha dengan mudah memantau dari dalam kelas. Jika Aska berhenti bergoyang, Pak Toha menghampiri Aska dan menjewer telinganya. Anak-anak bahkan bisa melihat goyang dangdut ala Aska melalui jendela hanya dengan memanjangkan leher. Sorak-sorai terdengar menggemuruh. “Sial! Gila aja gue diketawain!” lirih Aska melihat anak-anak menyorakinya. “Beraninya mereka nyorakin gue rame-rame. Kalo sendiri mana berani.” Goyangan nonstop di bawah terik sengatan matahari membuat Aska keringetan, gerah sekali rasanya, ditambah kostum panas yang menutup seluruh tubuhnya. Hanya leher dan kepala saja yang tidak tertutup. Sorak-sorai anak-anak kian riuh menonton goyangan Aska yang semakin aneh. Dua jam bergoyang, tubuhnya terasa sangat letih, tulangnya seakan patah-patah. Hukuman bertujuan untuk membuat Aska jera. Tapi, jerakah dia? Semenjak itu, Aska menjadi sebuah ancaman besar dalam diri Beby. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD