Calon Keluarga Baru

1809 Words
‘Ibu itu pasti sangat bahagia. Andai dulu kita kuat bertahan, Sayang. Pasti sekarang kamu sudah bisa berjalan..’  Seorang wanita betah sekali memandangi perut buncit ibu hamil yang sedang sibuk memilih-milih baju. Kecantikannya begitu terpancar. Ditemani sosok suami yang penyayang serta penyabar, ibu hamil itu pasti sangat menikmati masa-masa mengandungnya.  Tidak seperti yang Amaya Saditha lalui empat tahun yang lalu.  Bukan kebahagiaan yang Amaya rasakan. Melainkan, kesedihan tak berujung hingga membuat Amaya kehilangan calon anaknya. Hal itu membuat Amaya meringis sambil mengusap perutnya sendiri. Dimana di sana dulu pernah hidup nyawa lain, tapi pada akhirnya tak mampu bertahan hidup lebih lama.  “May, tolong kamu total belanjaan ibu itu ya? Aku ke belakang dulu. Kebelet.” Amaya tersentak dari lamunannya tatkala teman kerjanya—Susan—meminta bantuan. “I—iya, San. Siap!” Bukan saat yang tepat bagi Amaya untuk mengingat luka lamanya itu. Kini, saatnya Amaya kembali fokus bekerja demi menghidupi dirinya sendiri.  Amaya sadar, satu-satunya keluarga yang Amaya miliki dari pihak almarhum bapaknya, mengabaikannya. Maka dari itu, wajar bukan bila Amaya menganggap hidupnya sebatang kara?  Ibunya telah lama meninggal dunia, tepatnya saat Amaya masih duduk di bangku kelas dua SMP. Sementara sang bapak menyusul empat tahun yang lalu. Meninggalkan Amaya yang kala itu sedang berada di masa-masa sulitnya.  Sudah empat tahun lamanya Amaya hidup dalam kesendirian dan hanya mengandalkan dirinya sendiri dan Tuhan Yang Maha Pengasih.  Hidup sebatang kara tidaklah mudah. Tapi Amaya yakin, bisa! Amaya harus tetap hidup sampai nanti saatnya pulang.  “Total belanjaannya dua ratus dua puluh delapan ribu, Bu.” Senyum ramah Amaya tampilkan, agar sang pembeli merasa nyaman dilayani dengan baik olehnya.  Transaksi pun selesai setelah Amaya memberikan kembalian uang pada si ibu hamil. “Terima kasih, Mbak. Mari..” Wanita bahagia itu pun meninggalkan toko baju tempat Amaya bekerja dengan hati yang riang gembira. Sang suami setia menggenggam tangannya. Sehingga beban berat di perut besarnya seketika ringan.  Sementara Amaya menikmati pemandangan indah itu dengan hati yang teriris. Banyak kata ‘andai’ yang tak sanggup Amaya batin apalagi utarakan. Segalanya masih begitu berat, seperti empat tahun yang lalu.  Pukul empat sore, Amaya akhirnya bisa pulang ke rumah kecil peninggalan orang tuanya untuk mengistirahatkan badan setelah bekerja sejak pukul tujuh pagi tadi.  Sayangnya, semua tidak berjalan semulus yang Amaya bayangkan. Padahal wanita berusia dua puluh tiga tahun itu sudah membayangkan betapa nikmatnya punggung bila tiduran di kasur, meski hanya kasur lantai yang tipis. “Ada apa ini?” tanya Amaya pada beberapa orang tak dikenal, yang sedang duduk-duduk di teras rumahnya.  Belum juga pertanyaan Amaya terjawab, seorang wanita paruh baya berpenampilan modis muncul dari dalam rumah, di tangannya membawa nampan berisi minuman teh yang telah dimasukkan ke dalam gelas-gelas kecil. Sepertinya hendak disuguhkan pada orang-orang yang ada di teras rumah ini.  “T—tante Laksmi!?”  Amaya sangat terkejut dengan kehadiran tantenya yang secara tiba-tiba ini. Apakah besok kiamat? Sampai tantenya itu sudi kemari. Astaga..ini mimpi indah atau buruk? Amaya benar-benar tak habis pikir.  Tapi kalau boleh jujur, Amaya lega sekaligus bahagia. Akhirnya sang tante memaafkannya dan mungkin telah melupakan kejadian empat tahun lalu. Bisa jadi ini merupakan awal hubungan baik antar sang keponakan dan tantenya. “Kamu mandi dulu gih, May. Habis itu dandan yang cantik, ya..” bisik Laksmi setelah menyuguhkan minuman pada tamunya.  Amaya mengernyitkan dahi, penasaran mengapa tantenya sampai memintanya berdandan. “Memangnya mau ada acara apa sih, Tante? Dan..mereka ini siapa?” “Mereka calon keluarga barumu.” “APA!?”  Pekikan Amaya sukses mencuri perhatian semua orang. Amaya malu sekali, tapi kebingungannya lebih mendominasi di sini. Hingga perlahan mengikis rasa malunya.  Calon keluarga baru?  Maksudnya, Amaya akan diangkat menjadi anak keluarga tersebut? Karena mereka seperti keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan mungkin seorang anak laki-lakinya.  Tidak mungkin ‘kan pria tampan itu merupakan sopir pribadi? Wajahnya juga mirip sekali dengan pria paruh baya yang duduk manis di samping Om Amaya—Setyono.  Geram karena Amaya membuat keributan. Laksmi langsung saja memperkenalkan tamu kehormatannya sore ini. “Itu Arjun Guntara. Calon suamimu. Datang kemari bersama ayah dan ibunya. Pak Gunawan dan Bu Nana. Untuk melamar kamu, Maya. Kamu mau ‘kan menikah? Dengan Arjun. Ganteng, mapan, dan enggak neko-neko anaknya. Tante ingin kamu bahagia, Maya.” Amaya menahan napas semenjak kata ‘calon suami’ terlontar dengan entengnya dari bibir tipis sang tante. Apa-apaan ini!? Amaya lelah sekali karena baru pulang bekerja. Tapi tatkala sampai di rumah, malah disuguhi hal tak masuk akal seperti inu.  Ini..tantenya yang kepalanya baru kepentok atau Amaya yang berhalusinasi? Segalanya seakan tak nyata. Melihat keponakannya diam seribu bahasa dan terus menggelengkan kepala, Setyono tak tinggal diam. Mengawali dengan sebuah deheman, pria paruh baya itu lantas menuturkan, “Kamu bisa memikirkannya, Amaya. Segala keputusan tetap berada di tanganmu. Lagipula, kedatangan Arjun dan keluarganya kemari untuk melihatmu sekaligus berkenalan lebih dekat denganmu.”  Amaya sedikit lega seusai mendengar penuturan sang om. Setidaknya, ada angin segar saat omnya angkat bicara. Tidak seperti saat tantenya berbicara, yang ada hawa kian panas. Amaya gerah maksimal.  “Betul, Pak Setyo. Saya dan istri tidak terburu-buru, kok. Sesiapnya Nak Amaya saja..” ucap lembut pria yang Amaya ketahui bernama Gunawan.  Dari pembawaan Gunawan, Amaya menilai bahwa Gunawan bukanlah orang sembarangan. Beliau sama bijaksananya dengan Setyono—Om Amaya. Hanya saja penampilan keduanya cukup berbeda. Setyono tampil santai tapi tetap rapi. Sedangkan, Gunawan tampil rapi-resmi benar-benar seperti akan menghadiri rapat penting. Itu juga merupakan gambaran dari penampilan Arjun.  Amaya akui, Arjun tampan memukau dengan setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja putih di dalamnya. Ini orang-orang bisa salah paham, mengira Amaya akan melangsungkan akad nikah sore ini juga! Konyol.  “Jun, kedip dong..” tegur Nana yang sejak tadi mesam-mesem karena memergoki sang putra menatap Amaya tanpa berkedip.  Apa tidak pedas itu mata Arjun? Memang maha dahsyat kekuatan cinta pada pandangan pertama. Tidak berkedip selama satu minggu kedepan juga sepertinya Arjun sanggup!  Tidak hanya Nana yang senang, Laksmi pun juga. Wanita paruh baya itu sengaja menyenggol lengan Amaya dan lagi-lagi berbisik. Kali ini bisikan Laksmi mengandung godaan. “Tuh, May. Kamu lihat sendiri ‘kan? Arjun kayaknya langsung kepincut cinta pada pandangan pertama sama kamu.”  Amaya geleng-geleng kepala, berusaha tak menggubris godaan tantenya. Bagi Amaya, menatap seseorang terus-menerus bukan berarti jatuh cinta. Bisa jadi orang tersebut sedang mengamati dengan jeli setiap detail kecil pada dirinya untuk nanti menjadi bahan pertimbangan. Ya ‘kan? Cukup masuk akal pendapat Amaya yang satu ini.  Lagipula, Amaya mana percaya pada cinta pandangan pertama? Empat tahun yang lalu saja, pria tampan yang Amaya kira menyukainya justru menghancurkan. Kini Amaya lebih waspada pada pria. Ia tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Cukuplah masa kelam itu terjadi empat tahun yang lalu, tidak untuk di masa depan nanti.  “Sudah terima saja. Jangan sok jual mahal. Enggak ingat empat tahun yang lalu kamu—” “Cukup, Tante. Maya enggak suka Tante ungkit-ungkit borok Maya,” geram Amaya memotong perkataan tantenya. Telinga Amaya seketika panas, ternyata tantenya itu tidak berubah, masih saja menyalahkannya atas kejadian empat tahun yang lalu.  Laksmi tidak merasa sungkan sama sekali dan terus mencari jawaban yang diinginkannya. “Baiklah. Tapi kamu mau ‘kan nikah sama Arjun?” “Maya enggak tau, Tante. Semua terlalu mendadak.” “Lohh, kamu gimana sih May!?”  Tak menghiraukan suara lantang tantenya, Amaya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Tubuhnya lengket sekali. Amaya ingin mengguyur sekujur tubuhnya dengan air dingin. Kepalanya pun hampir mengeluarkan asap karena perkataan-perkataan tidak mengenakkan Laksmi.  ‘Sabar-sabar..’ batin Amaya, melangkah pergi.  Sementara itu, Laksmi langsung memohon maaf pada tamu agungnya atas sikap Amaya barusan. “Mohon maaf, Bu Nana, Pak Gunawan. Kita maklumi saja Amaya yang masih malu-malu. Padahal dulu dia ‘kan yaa..begitulah.” Mendengar itu, Setyono menatap tajam Laksmi, sehingga Laksmi tidak berani melanjutkan pembahasan tersebut. Pembahasan yang mengungkit masa lalu kelam Amaya.  Sebagai gantinya, Laksmi memuji-muji Keluarga Gunawan. “Beruntung sekali Amaya, karena akan mendapat keluarga baru seperti keluarga Pak Gunawan, yang bisa menerima Amaya dan masa lalu kelamnya.” Arjun yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Masa lalu biarlah menjadi pelajaran berharga, Bu. Kita hidup di masa depan, jadi fokus saja pada apa yang kita jalani dan kita rencanakan.” “Wahh, Nak Arjun bijak sekali!” “Bagaimana, Pak? Ibu enggak salah pilih ‘kan?” tanya Laksmi pada suaminya.  “Tapi tetap Amaya yang berhak memilih, Laksmi.” Jawaban Setyono barusan ternyata tidak sesuai harapan Laksmi, yang ada malah membuat Laksmi sebal.  “Halahh! Anak itu enggak mungkin nolak. Besok juga udah manggut-manggut,” sungut Laksmi dengan keyakinan selangit.  “Silahkan diminum teh hangatnya. Mohon maaf seadanya. Di rumah Amaya enggak ada apa-apa. Adanya cuman gula sama teh.” Arjun menaikkan sebelah alisnya, tidak percaya dengan Laksmi yang katanya menginginkan kebahagiaan Amaya. Dari setiap ucapan Laksmi saja, Arjun sudah bisa menilai bahwa Laksmi tidak menyukai Amaya. Lalu, mengapa Laksmi sampai repot-repot mengusahakan kebahagiaan Amaya?  “Tidak apa-apa, Bu Laksmi. Bisa bertemu dengan Amaya saja kami sekeluarga sudah bahagia,” balas Nana yang hatinya seluas samudra. Paham betul bahwa Amaya hidup sendiri di rumah ini, jadi sudah pasti tidak banyak persediaan di dapur.  Di sini Arjun mulai curiga dan semakin membulatkan tekad untuk menjadikan Amaya istrinya. Agar Amaya jauh dari tantenya dan Arjun bisa membahagiakan Amaya dengan caranya sendiri. Kasihan wanita malang itu.. Arjun telah mengetahui semuanya, termasuk kisah kelam Amaya empat tahun yang lalu.  Tanpa semua orang ketahui, Laksmi memang mempunyai niat lain.  ‘Bagus! Semua berjalan sesuai rencanaku. Ah, aku semakin tidak sabar ingin segera melihat Amaya menikah dan hidup dalam tanggungan suami serta keluarga barunya. Dengan begitu, harta bagian Mas Laksono akan menjadi milikku. Tentu setelah aku memaksa Amaya untuk mengalihkan semua atas namaku. Lagian Amaya bakal hidup berkecukupan, bahkan lebih dari cukup. Keluarga Pak Gunawan ‘kan kaya raya. Jadi Amaya tidak butuh harta warisan Mas Laksono.’ Maka dari itu, Laksmi sangat bersemangat menjodohkan Amaya dengan Arjun. Tanpa memikirkan perasaan Amaya yang mungkin belum siap mengenal pria kembali, meski perlahan boroknya mengering. Mengingat empat tahun bukanlah waktu yang singkat.  Amaya baru selesai bersih-bersih dan telah berpakaian rumahan, ia siap untuk beristirahat walau sebentar sambil menunggu waktu magrib. Tapi, di luar orang-orang masih berbincang-bincang. Membuat Amaya tak dapat lagi menahan dirinya.  “Kalian semua masih di sini? Maaf, saya hendak beristirahat,” usir halus Amaya begitu keluar rumah.  Laksmi yang mendengar itu tentu naik pitam. “Maya! Berani-beraninya kamu enggak sopan kayak gitu!? Kamu—” “Silahkan beristirahat, Maya. Maaf bila kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahatmu. Kami mengerti bahwa kamu pasti lelah sekali. Tenang saja, kami akan pulang setelah menghabiskan teh manis ini,” sela Arjun yang tiap tutur katanya begitu lembut, penuh pengertian, membuat Amaya merasa sungkan dan bersalah.  “Y—ya. Terima kasih atas pengertiannya.” Tapi Amaya membalas sekenanya, kemudian masuk kembali ke dalam rumah untuk beristirahat.  ‘Anak kurang ajár! Awas kamu, Maya..’ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD