Dengan pakaian tiga potong yang Alena kenakan terasa melengkapi penampilannya pagi ini sebelum ia memulai segalanya. Kehidupan yang baru dimulainya menjadi pemantik semangat dalam dirinya jika semua keburukan itu akan berlalu. Sudah cukup hari-hari kelam itu membekap dirinya dalam siksaan tak berujung.
“Sudah saatnya memulai,” desis Alena pada dirinya sebelum ia beranjak meninggalkan kamarnya.
Ia mendapati ruangan yang kosong dan hening, tak tampak tanda-tanda Delia yang sudah bangun. Alena tak ingin mengganggu istirahat Delia hingga pagi ini, cukup kejadian semalam membuatnya merasa bersalah pada sang sahabat yang menjadi teman hidupnya sejak kepindahannya ke London.
Dengan langkah lebar Alena meninggalkan ruangan dan berjalan ke arah pintu, berdiri di depan lift, menekan tombolnya dan menunggu untuk beberapa saat hingga ia memiliki cukup waktu untuk dapat mengecek ponselnya. Beberapa panggilan masuk dan sebuah pesan tulis dari perawat tempat Sergei Martinez dirawat.
Alena, jika kau memiliki waktu untuk datang, Dr. Smith menunggumu malam ini.
Isi pesan yang membuat perasaan Alena berubah menjadi penuh tanda tanya hingga denting lift nyaris terabaikannya jika saja seorang wanita tua tidak bertanya padanya, “Kau akan turun?”
Mata coklat Alena berbinar, ia terkejut dengan suara wanita dalam lift. Alena tersenyum, menyingkirkan ponselnya dan melangkah masuk dalam lift dengan canggung, bergeser sedikit sebelum ia menekan tmbol dan pintu lift tertutup kembali. Jantungnya masih berdetak kencang. Hampir dua tahun perawat Dr. Smith tidak menghubunginya. Mengiriminya pesan apalagi memintanya untuk datang.
Alena mencoba untuk mengingat jika semua tagihan biaya perawatan Sergei tidaklah bermasalah. Semua ditanggung oleh keluarga Sergei Martinez, pria yang telah menolongnya dan menjadikannya istri hanya dalam hubungan status nama baik bagi Alena.
Sergei merupakan seorang kepala kepolisian yang menemukan dirinya yang terkoyak pada malam kelam itu. Sergei yang menemukannya dalam kabin apartemen butut dan pengap di pinggiran kota Manhattan. Alena tenggelam dalam dunia yang membelesakkan hingga denting lift membuatnya terperanjat kaget. Ia beranjak dan bergegas meninggalkan ruang sempit dalam lift meski hanya berisi dirinya dan wanita tua itu.
Alena mendorong pintu dorong 70 St Mary Axe dan memasuki lobi lima belas menit sebelum jam sembilan pada hari ini. Alena ingin memberikan kesan baik pada hari pertamanya, dan ia telah memilih pakaian yang cocok dengan mengenakan gaun sederhana yang membalut tubuh rampingnya dan sepatu datar hitam. Rambut hitam hanya ia cepol sederhana karena ia tak ingin membangunkan Delia untuk membantunya menata rambut seperti hari-hari lainnya.
Alena bukan wanita yang pandai menata rambut bahkan merias dirinya. Ia mengenakan anting mutiara kecil yang diberikan Sergei sebagai hadiah kecil saat dirinya berhasil menyelesaikan terapi panjangnya dengan Dr. Lucas Parker sekitar tiga tahun lalu. Alena tak ingin memusingkan hal yang berhubungan dengan penampilannya pagi ini. Dua orang petugas keamanan menerima kartu pengenal yang diulurkan Alena sebelum ia melanjutkan langkahnya menuju lift.
Lima belas lantai kemudian, Alena keluar dari dalam lift ke ruangan depan Moray Worldwide. Di hadapannya terdapat dinding kaca yang membingkai pintu ganda ke arah meja resepsionis. Seorang gadis cantik penerima tamu di balik meja berbentuk bulan sabit tidak utuh.
“Hi, Maria,” Alena menyapanya sambil melangkah memasuki lobi melewati pintu ganda. Maria Molar, wanita berdarah campuran Latin. Rambutnya gelap, tebal dan dibiarkan tergerai. Bibirnya berwarna pink alami dan tatapan mata coklatnya yang bersahabat.
“Hi, Alena. Patrick belum datang, tapi kau tahu kau harus kemana, kan?”
“Ya, tentu saja.” Alena melambai dan berbelok menyusuri koridor kantor barunya. Berjalan sampai ke ujung, berbelok ke kanan lagi dan berakhir di sebuah ruang yang tampak berubah dari beberapa minggu lalu saat ia berhasil mendapatkan pekerjaan ini. Ruangan yang tampak lebih kecil dari sebelumnya karena dipasang partisi di belakangnya.
Alena meletakkan dompet dan tas yang menampung sepatu kerjanya dan beberapa barang lainnya yang akan menghiasi meja kerjanya sebelum ia menghidupkan laptopnya. Membiarkan laptop itu untuk bekerja dan ia mengeluarkan barang-barang yang dibawanya. Alena membawa tiga buah bingkai foto berisikan fotonya bersama Delia saat keduanya pertama kali menghabiskan waktu sebagai warga baru kota Liverpool. Foto kedua berisikan dirinya dan Sergei saat keduanya memutuskan untuk menikah dalam upacara pemberkatan sederhana dalam balutan gaun sederhana berwarna gading. Warna yang tak benar-benar putih, warna yang menggambarkan dirinya saat Sergei memintanya untuk menikah. Ia tak lagi suci. Ia gadis yang terkoyak dengan brutal.
“Selamat pagi, Alena.”
Alena berdiri dan menghadap bosnya.
“Selamat pagi Mr. Graffith.”
“Panggil aku Patrick saja, Alena. Kau bisa ikut ke ruang kerjaku?”
Alena mengangguk pelan dan bergegas mengekor di belakang langkah Patrick melintasi koridor, dan mulai berpikir ia memiliki bos yang tampan dengan kulitnya yang gelap, jenggot yang dipagkas rapi dan mata coklat yang terasa bersahabat dan selalu menyenangkan. Patrick bertubuh ramping dan bugar, serta sikapnya yang penuh percaya diri, menimbulkan rasa kepercayaan dan hormat dari karyawan lainnya.
Patrick menunjuk salah satu kursi dari dua kursi yang tersedia di dalam ruang kerjanya. Ia membiarkan Alena untuk duduk terlebih dahulu sebelum ia duduk di kursi kebesarannya yang ada di seberang Alena. Ruang kerja Patrick memang tidak besar tapi pemandangan di belakangnya dengan langit terang kota London dan gedung-gedung pencakar langit lainnya seakan memberikan kesan berbeda.
Patrick bersandar dan tersenyum.
“Apakah kau sudah selesai dengan urusan apartemen barumu?”
Alena terkejut pada awalnya, namun ia sangat menghargai perhatian Patrick padanya. Keduanya baru bertemu pada wawancara kedua dan Alena langsung merasa suka pada bos barunya.
“Sebagian besar sudah selesai,” Alena menyahut, “Walaupun masih ada beberapa kardus di sana-sini.” Alena tersenyum tipis dan Patrick membalasnya dengan anggukan pelan. Membayangkan apa yang diceritakan Alena barusan.
“Kau pindah dari Liverpool, bukan?”
Alena mengangguk dengan anggun tanpa mengurangi senyum di wajahnya.
“Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diriku dengan cuaca dan segala hal di London.”
“Jadi… ini hari pertamamu bekerja di sini, dan kau akan menjadi asisten pertamaku. Kita harus mulai memikirkan bagaimana kita akan melakukan semua ini. Sejujurnya aku tidak biasa mendelegasikan pekerjaanku pada seseorang. Tapi aku yakin, aku bisa melakukan hal itu bersamamu.”
Alena mencoba untuk bersikap lebih santai di hadapan Patrick. Ia menempatkan dirinya sebagai rekan bukan bawahan, pikir Alena. “Aku ingin kau mendelegasikan pekerjaanmu yang memang harus aku terima, Mr. Graffith.”
“Aku sudah katakan---”
“Ya, maafkan aku, Patrick.”
Alena tersenyum sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan lega.
“Bekerjasama dengan seorang asisten merupakan langkah besar dalam karirku, Alena. Aku ingin kau merasa nyaman dengan semua hal yang kau kerjakan selama bekerja bersamaku.”
“Ya, aku juga.” Alena mengangguk cepat dan tetap bertatapan dengan Partick. “Apa kau minum kopi?” tanya Patrick yang membuat Alena terdiam dua detik sebelum menyahut, “Ya, kopi menjadi menu utama yang harus ada disetiap awal hariku.”
“Ah, beruntunglah aku mendapatkan asisten sepertimu.” Senyum lebar menghiasi wajah kotak Patrick. “Aku bukan ingin menjadikanmu pelayanku yang membuatkan kopi setiap pagi.” Kening Alena berkerut, menatap Patrick dengan bingung. “Aku membutuhkan bantuanmu untuk mengajariku cara menggunakan mesin kopi baru yang ada di pantry.”
Alena tersenyum lebar, sebelum keduanya saling terkekeh.
“Tidak masalah bagiku.”
“Kau pasti berpikir aku sangat menyedihkan karena aku tidak memiliki hal lain untukmu.” Patrick mengusapkan telapak tangannya pada bagian belakang kepalanya dan bersikap malu-malu. “Baiklah, bagaimana jika aku tunjukan pekerjaan-pekerjaan yang sedang aku kerjakan dan kita memulainya dari mesin kopi?”
Alena kembali tersenyum sebelum ia beranjak dari kursinya setelah Patrick lebih dulu menjulang di seberangnya. “Dengan senang hati, Sir.”
***