Pagi Indah

1164 Words
Dea mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan cahaya masuk ke dalam retina matanya. Matanya membulat sempurna saat melihat seorang pria bertelanjang d**a tengah memeluk pinggangnya erat. Bahkan bisa dibilang pria itu menjadikannya sebagai guling. "Ah, aku lupa kalau aku sudah menikah dengan Kak Bagas." Seketika pipi Dea memerah dan panas saat mengingat pergulatan panas mereka tadi malam. Bahkan, Bagas tak berhenti menggempurnya hingga adzan subuh berkumandang. Dea menyibakkan selimut yang menutupi tubuh polosnya, ia ingin berdiri tetapi rasa sakit di selangkangannya membuat ia kembali terjatuh di kasur. "Awsss, sakit banget," keluh Dea. "Sayang, kamu gak apa-apa kan?" Mendengar suara ringisan Istrinya, Bagas langsung terbangun dan melompat menghampiri Dea. Kepala Dea menoleh menatap Bagas. "Sakit." "Apanya yang sakit?" tanya Bagas dengan wajah polos. Demi Tuhan, Dea ingin menampol pipi Bagas dengan kencang. Tetapi, ia tahu pasti ia akan berdosa dan dilaknat oleh Allah kalau melakukan hal tersebut. "Itu aku," ucap Dea kesal. "Itu apanya, Sayang? Ngomong yang jelas dong, saya gak ngerti." Wajah Bagas saat ini terlihat menahan tawanya karena ekspresi Dea yang kesal. Mengetahui bahwa tengah dikerjai oleh Suaminya, Dea pun beranjak dari duduknya dan berusaha berjalan dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Hingga Dea merasakan tubuhnya melayang, ia pun segera memekik keras. "AAAAKKK KAK BAGAS! TURUNIN DONG!" "Gak usah maksa buat jalan, jangan nyiksa diri sendiri," ucap Bagas, ia menatap hangat Istrinya yang berada di gendongannya tersebut. Tangannya membuka pintu kamar mandi dan menurunkan Dea di dalam bath tub. Ia lalu menyalakan air dan mengatur suhunya menjadi hangat. "Kamu mau aroma yang mana?" tanya Bagas, saat memilah sabun beraroma buah-buahan dan bunga. "Strawberry aja, Kak." Bagas pun menganggukkan kepalanya, dan menuangkan sabun aromaterapi dengan wangi strawberry. Setelah membilas tangannya hingga bersih, Bagas beranjak keluar dari kamar mandi. Diperlakukan sangat istimewa oleh Suaminya membuat Dea merasa hatinya menghangat seketika. Ia merasakan perutnya dikelitiki oleh puluhan kupu-kupu, membuat ia merasa mulas seketika. "Ah, sudahlah. Ngapain mikirin Kak Bagas terus? Lagipula dia bukan milikku seutuhnya, suatu saat nanti dia akan kembali kepada Kak Calya," gumam Dea. Ia memilih menenggelamkan tubuhnya seluruh ke dalam air, dan memejamkan matanya. Menikmati rasa hangat yang menyapa kulit halusnya. Hingga, setengah jam berendam Dea pun segera mengakhiri acara berendamnya dan membilas tubuhnya hingga bersih. Ia melilitkan handuk di tubuhnya dan beranjak keluar dari kamar mandi. Aroma makanan yang menyeruak dari luar kamar membuat perut Dea seketika keroncongan. Ia pun menebak-nebak siapa kiranya yang memasak di rumah ini. Seusai mengenakan kaos berwarna pink soft dipadukan celana hotpants sepaha berwarna hitam, Dea pun melangkah keluar dan berjalan ke dapur. Objek pertama yang Dea lihat adalah Bagas yang tengah memasak nasi goreng dengan celemek yang membaluti tubuhnya. Ia pun menghampiri Bagas dan mencomot satu sendok nasi goreng. "Enak banget, kamu pintar banget masak," puji Dea. Bagas sedikit terkejut melihat Dea yang tiba-tiba ada di sebelahnya. Ia pun tersenyum karena melihat tingkah Dea. "Udah mandinya?" tanya Bagas seraya menuangkan nasi goreng buatannya ke atas piring. "Udah dong, wangi kan?" Bagas mendekatkan wajahnya di leher Dea, ia menghirup wangi tubuh Istri mudanya tersebut. "Wangi kok." Tangan Bagas terangkat untuk mengacak rambut Dea. Tanpa ia sadari, kedua pipi Dea memerah sempurna. Bagas memang sering memanjakannya, tetapi saat ini posisinya berbeda. Ia kini bukan lagi menjadi adik ipar dari Bagas, melainkan menjadi suami Bagas. "Ayo makan dulu," ajak Bagas. Bagas dan Dea mengambil kursi yang posisinya saling berhadapan. Sebagai seorang istri, Dea pun berinisiatif untuk menyendokkan nasi ke piring Bagas. "Makasih, De," ucap Bagas. Ia kemudian menyuapkan nasi goreng tersebut ke dalam mulutnya. Dea pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai balasan dan ikut melahap nasi goreng buatan Bagas hingga tandas. Ia terlihat sangat kelaparan karena tidak makan malam kemarin. "Lain kali aku aja yang buat makanan, Kak. Gak enak kalau kamu yang masak, aku kan sekarang udah jadi istri kamu," ucap Dea dengan mulut yang penuh dengan makanan. Melihat wajah Istrinya yang belepotan, Bagas sontak terkekeh geli dibuatnya. "Iya, tapi lain kali kalau kamu makan jangan sampai belepotan begitu. Kalau mau ngomong habisin dulu nasinya." Dea hanya menggaruk lehernya yang tak gatal. Ia merasa sangat malu karena kebiasaan makannya yang berantakan diketahui oleh Bagas. Kedua piring milik Bagas dan Dea pun tandas tak tersisa satu butir nasi pun. Dea kemudian teringat sesuatu, ia pun menaruh gelas yang berada di tangannya ke atas meja. "Kak," panggil Dea ragu. Bagas pun menolehkan kepalanya, menatap sang Istri dengan salah satu alis yang dinaikkan. "Ada apa? Kamu kau sesuatu?" Dengan cepat Dea menggelengkan kepalanya. "Nggak, Kak. Aku cuma mau tanya, Kak Bagas gak tengokin Kak Calya?" Tubuh Bagas sontak menegang karena ucapan Dea, ia terdiam menatap Istrinya tersebut. "Ah iya, bodohnya gue udah lupain Calya gara-gara keasikan sama Dea. Sial." Bagas meruntuki kebodohan dirinya sendiri ketika sadar tak mengabari Calya sejak perdebatan kecil mereka kemarin. "Aduh, saya lupa. Kamu gak apa-apa kan kalau saya tinggal ke rumah Calya sebentar?" tanya Bagas, ia dengan cepat beranjak dari duduknya dan mengambil kunci mobil yang berada di atas sebuah lemari. Senyuman manis Dea hiaskan di wajahnya. Ia menganggukkan kepalanya pasrah. "Iya, Kak. Lama-lama di sana juga gak apa-apa kok, titip salam ya buat Kak Calya." Saat Bagas hendak melangkah keluar rumah, Dea menghentikan pria itu. Ia meraih tangan Bagas dan menciuminya. "Hati-hati, Kak." Seulas senyuman sontak terbit di bibir Bagas, ia merasakan haru dan bahagia sekaligus saat Dea memperlakukan dirinya begitu lembut. Ia pun mencium kening Dea sedikit lama. "Iya, aku pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam." Mobil Bagas melaju keluar dari pekarangan rumah, Dea pun kembali masuk dan tak lupa menutup pintu saat mobil Suaminya hilang ditelan jalan. Ia menyandarkan punggungnya di sofa seraya menyalakan televisi. "Ternyata gini ya jadi seorang Istri. Gak nyangka banget," gumam Dea. *** Sementara itu, saat Calya tengah bersolek ria pintu rumahnya terdengar diketuk oleh seseorang. Ia pun beranjak malas dari duduknya dan membukakan pintu. "Eh Mama. Maaf lama bukanya, Ma, aku tadi lagi di dalam," ucap Calya seraya menyengir kecil. Tetapi, Mertuanya tersebut tak membalas ucapan Calya. Ia hanya melongos masuk ke dalam dan duduk di sofa mewah di ruang tamu. "Mama ngapain ke sini?" tanya Calya. Wanita paruh baya dengan rambut yang telah memutih itu menatap tajam Calya, membuat wanita itu menelan salivanya. "Memangnya saya gak boleh ke sini? Ini juga rumah anak saya kan?!" Calya menjadi gelagapan. "Ngga gitu, Ma. Aku cuma bingung Mama datang tiba-tiba ke sini." "Di mana anak saya? Saya ke sini cuma mau ketemu sama Bagas. Saya mau memastikan apakah dia mau menceraikan kamu dan menikah dengan wanita yang subur atau bagaimana," ucap Mama Bagas tanpa rasa belas kasihan sedikit pun. Bagai tertusuk sebilah pisau, Calya merasakan hatinya sangat sakit karena ucapan Ibu Mertuanya. Walaupun sudah sering diperlakukan seperti itu, ia tetap manusia yang bisa merasakan sakit hati. "Ma, aku nggak pernah minta menjadi wanita mandul. Itu adalah takdir yang Tuhan putuskan buat aku. Wanita mana sih yang mau hidup dengan penderitaan seperti ini?" lawan Calya. Suaranya sedikit serak karena menahan air matanya yang akan luruh. "Kamu udah berani melawan, ya?!" "Ma, jangan kasar dengan Calya!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD