Tak selamanya senja berwarna jingga, nyatanya kini ia berubah kelam karena awan menyelimuti. Sama seperti hati gadis itu. Terselimut kabut putus asa yang kini membuat kantung matanya terasa berat seolah air yang ada disana berdesakan ingin keluar, persis seperti hujan yang akan tumpah dari langit gelap sore ini. Gadis itu, namanya Anarea Lingga, sudah beribu kali menghembuskan napas yang berat berkat perkataan dan pernyataan ibunya tadi pagi.
"Yea kamu harus menikah dengan Danis." Ibunya bersuara setelah lebih dari lima belas menit mematung bersamanya. Rea terperanjat mendengar kata-kata itu. Ia tahu siapa Danis yang baru saja disebut sang ibu. Danis adalah anak konglomerat yang saat ini tinggal dikota Jakarta sana. Nenek kandungnya merupakan tetangga Rea di desa. Danis dan keluarganya hanya satu tahun sekali pulang ke kampung halaman tapi berkat itulah Rea tahu nama Danis. Itupun hanya sekedar nama. Namun dengan tiba-tiba ibunya berkata demikian sehingga membuat Rea merasa pusing mengingat perkataan ibunya yang tidak bisa diganggu gugat.
"Jangan bertanya apa alasannya nak. Keluarga mereka sudah banyak membantu sejak ayahmu meninggal." Kata ibunya. Rea yang mendengar itu hanya bisa menunduk ngeri. Ada bulir bening yang tiba-tiba mengaliri pipi kembungnya.
"Tapi bu bagaimana dengan Fahri? Kami saling menyayangi bu. Fahri berencana menikahiku setelah dia lebih mapan. Aku tidak bisa meninggalkannya." Rea memelas pada ibunya. Fahri Alfatar, laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya. Mereka berdua sudah pacaran sejak 1 tahun yang lalu. Ibunya pun sangat mengerti tapi permintaan keluarga Danis tidak bisa dengan mudahnya untuk ditolak.
"Maafkan ibu, Yea." Ucap ibunya sendu sambil memeluk putri bungsunya yang sudah tersedu. Sebenarnya, wanita yang sudah memiliki cukup umur itupun bingung kenapa Danis memilih putrinya untuk dijadikan istri, padahal Danis dan Rea memiliki perbedaan umur, yakni lebih tua Rea satu tahun dibandingkan Danis.
"Ibu, Yea tidak mau menikah dengan Danis. Aku mencintai Fahri. Danis itu lebih muda dariku dan yang lebih penting aku tidak menyukainya. Sedikitpun." Ucap Rea terbata-bata.
"Maafkan ibu sayang," hanya itu yang terus diulang oleh wanita itu. Dia pun mengerti perasaan putrinya tapi sekali lagi semua keputusan tidak bisa diganggu gugat. Seperti persidangan diruang sidang ketika hakim sudah mengetuk palu yang artinya keputusan sudah mutlak. Tersangka maupun teraniaya berdasarkan bukti harus menerima semuanya meskipun itu bukan keputusan yang baik dan benar.
Setelah mengingat momen bersama ibunya, Rea kembali ke dunia nyata dimana dirinya kini sedang berada di depan cermin sambil menatap layar handphonenya dengan tajam. Ia tengah menimbang-nimbang apakah akan menelpon Fahri atau tidak. Sungguh itu adalah sebuah kegalauan yang kadarnya melebihi apapun. Tapi pada akhirnya gadis itu dengan mata yang masih membengkak mencoba memberanikan diri untuk menelpon Fahri.
Tiga kali berturut-turut tidak ada jawaban dari Fahri. Rea mendengus kesal. Namun saat ia akan melempar hpnya, layar itu bertuliskan Fahri calling. Rea dengan sigap mengangkat telpon tersebut.
"Hallo?" berat. Rea akhirnya bisa mendengar suara itu.
"Sayang?" sahut Fahri dari ujung sana.
"Iya," jawab Rea.
"Ada apa Yea?" tanya Fahri pada gadisnya. Yea, adalah panggilan masa kecil gadis itu. Hanya orang-orang terdekat yang memanggil Rea dengan nama Yea.
"Kangen." Jawabnya lagi. Fahri tetkekeh pelan menanggapi jawaban pacarnya itu. "Aku juga. Kangen Yea yang polos, bawel plus kangen juga sama kamu yang perhatian." Ungkap Fahri pada Rea. Sementara Rea sendiri sedang memerah bak kepiting rebus atau semerah tomat masak. Rea memegangi pipinya dengan tangan kiri.
Tak lupa senyum yang sudah mengembang sedari tadi ia pamerkan pada cermin di dinding. Namun sesaat kemudian Rea tiba-tiba menangis teringat akan kata-kata ibunya lagi. Harus mulai dari mana dirinya memberi tahu Fahri tentang semua itu. Rasanya tak sanggup mengucapkan satu patah katapun. Hingga pada akhirnya tak ada satupun kata yang menyinggung masalah itu. Yang mereka berdua lakukan hanyalah saling membahagiakan satu sama lain dan kadang seperti biasa Rea akan merajuk pada Fahri. Itu membuat Fahri bahagia. Obrolan-obrolan mereka membawa Rea tertidur lelap seakan tak ada masalah apapun.
***
"Kamu sudah harus berangkat besok pagi nak." Ucap ibu Rea dimeja makan malam ini.
".." tak ada suara apapun yang keluar dari mulut gadis itu. Ia hanya menghembuskan nafas lirih. Perkataan ibunya semakin membuat Rea enggan menyuap nasi yang ada pada piring di depannya. Perasaan sedih kian membuncah dalam hati yang memang sudah retak, bimbang dan kacau.
"Yea," panggil wanita berkaca mata itu. Namun tak ada jawaban dari Rea. Gadis itu hanya sibuk memikirkan bagaimana nasib hubungannya dengan Fahri.
"Anarea Lingga!" wanita itu menyebut nama lengkap anaknya. Kali ini Rea menanggapi panggilan ibunya karena ia tahu ibunya jadi empat kali lebih serius ketika nama panjangnya disebut. "Iya bu," sahut Rea setuju. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Menolakpun tak mungkin. Ia tidak ingin membuat ibunya menderita.
"Yea maafkan abang. Abang tidak bisa melakukan apapun. Benar kata ibu, keluarga mereka sudah banyak membantu kita." Ucap Vian pada adik bungsunya. Ditepuknya pelan punggung gadis itu bertanda ia memang tak bisa melakukan apapun. Yang ditepuk hanya diam saja, tak sedikitpun berniat membuka suara karena hatinya benar-benar gundah. "Dek.." Vian memanggil adiknya itu. Rea menatap lekat mata abangnya berharap mendapatkan pertolongan dari sana namun percuma, lalu tanpa aba-aba apapun ia langsung memeluk satu-satunya saudara laki-lakinya itu dengan sangat erat. Rea tersedu menangisi semua kisah yang akan ia jalani. Abangnya pun begitu. Menyesal karena tak mampu berbuat apa-apa.
"Sabar nak semua pasti ada hikmahnya." Ucap ibunya menyabarkan Rea. "Kak Avira dan Ranisa sudah ibu beritahu. Nanti saat kamu sampai jakarta mereka akan menjemputmu nak untuk mengantarmu ke rumah orang tua Danis." Jelas ibunya. Rea hanya bisa menggeleng sedih. Tidak mau seharusnya kata yang harus ia keluarkan tapi ia tahan. Salahkan batinnya yang tak mau memberontak. Salahkan hatinya yang terlalu penurut. Salahkan kenapa mereka miskin. Ah terlalu banyak kesalahan yang ingin disesali gadis itu.
Kota Jakarta dikenal dengan kota metropolitan. Ibu Kota Indonesia ini banyak sekali penduduknya. Tentu saja berbeda dengan kampung halaman Rea. Di Jakarta, gedung-gedung besar dan menjulang ada dimana-mana, jalan-jalan dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan dan lampu merah pun berasa tak berlaku karena macet melebihi waktu ketika lampu merah menyala. Begitu juga pernak pernik yang ada. Tapi semua itu tak membuat senyum manis Rea kembali. Kini gadis itu hanya termenung. Fikirannya terpaku pada Fahri, sosok yang seminggu ini membuatnya galau lebih dari apapun. Bukan karena Fahri selingkuh atau menyakitinya tapi karena dirinya telah mengkhianati Fahri.
"Maaf. Maaf." Lirih gadis itu dalam bus yang kini tengah membawanya menuju rumah Danis bersama Avira dan Ranisa.
"Yea," Avira memanggil. Rea hanya menoleh sedih. Tiga bersaudara itu tahu apa yang terjadi sehingga tidak ada yang berniat membuka obrolan perihal perjodohan yang sangat mendadak ini. Ranisa sendiri segera merangkul adik bungsunya itu. Menautkan jari jemarinya kemudian meremasnya berharap adiknya memperoleh sedikit kekuatan darinya.
"Kak kenapa Danis milih aku? Aku lebih tua satu tahun darinya dan selain itu kami tidak saling kenal?" tanya Rea yang pada akhirnya membahas kegilaan ini. Ranisa dan Avira yang mendengar itu langsung saling menatap dan sesaat kemudian segera menggeleng. Saat yang bersamaan Ranisa mempererat pelukannya.
Sisa-sisa perjalanan mereka isi dengan kekosongan. Diantara tiga bersaudara itu tak ada satupun yang memulai percakapan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga lima belas menit kemudian mereka sampai dihalaman rumah besar itu. Rumah keluarga Gandi Subroto, ayah dari lelaki yang akan menikahinya.
Rea yang menyadari akan bertemu calon suaminya menjadi sangat gugup. Kebencian menyeruak dalam hatinya bak bau yang kentara. Kilatan-kilatan matanya juga menggambarkan ketakutan-ketakutan akan takdir hidupnya. Rea yang larut dalam kegelisahan tak sempat mendengar seseorang yang sedari tadi menyebut namanya. "Rea!" untuk yang ketiga kalinya baru gadis itu menolehkan kepala mencari sumber suara yang menyebut namanya. Orang itu Danis Karandio. Rea yang menatap matanya langsung terkejut. Mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri karena gugup.
"Ayo ikut aku." Ajak Danis tapi Rea menggeleng. Dalam hatinya mengatakan bahwa dia harus memastikan ada jarak sejauh mungkin dari Danis. Jangan sampai orang itu menyentuh sehelai rambut pun. Tapi bukan Danis namanya jika menyerah begitu saja. Ditariknya lengan gadis itu dengan cepat sehingga tidak bisa menghindar. Rea pun sama tak mau kalah, meski sudah ditarik ia masih berusaha meronta sambil melihat pada Avira yang hanya tersenyum pilu melihat kepergian adiknya. Sementara itu orang tua Danis tengah berbincang dengan Ranisa. Karla, selaku nyonya besar di rumah itu mengajak mereka masuk dan mempersilakan Avira dan Ranisa untuk langsung duduk keruang tamu.
Sementara itu Danis membawa Rea ke dalam sebuah kamar yang bernuansa putih. Rea yakin itu kamar Danis. Ada beberapa poster motor di sana. Kamarnya pun tertata dengan rapi.
"Aku menyukai kamar ini." Bisik Rea dalam hati yang kemudian langsung ditepis olehnya sendiri.
"Fahri apa yang aku pikirkan?" Rea mengganti bisikkan itu menjadi pertanyaan untuk Fahri seakan Fahri yang berada jauh disana mendengarnya. Namun jelas bukan suara Fahri yang menjawab tanyanya melainkan lelaki yang kini berada dihadapannya.
"Yea, apa sebahagia itu kamu menikah denganku?" Danis bertanya.
Rea yang mendengar pertanyaan itu pun merasa kesal sendiri. Bahkan kekesalannya bertambah ketika dengan lancang lelaki itu memanggil nama kecilnya. Rea tidak tahu darimana Danis tahu panggilan itu. Tapi yang jelas perasaan bencinya pada Danis seakan bertambah berkali-kali lipat. Sejak kapan ia merasa bahagia mendengar acara pernikahan ini. Sejak kapan pula dirinya merasa bahagia ketika hubungannya dengan Fahri terancam.Fahri baginya adalah belahan jiwa sementara Danis adalah segunung rasa benci yang siap meletus kapan saja.
"Kau pantas jadi mainanku Rea karena kau bodoh!" Perkataan Danis menohok hati Rea. Air mata yang berusaha ia sembunyikan kini menjadi tangisan. Rea benar-benar menangis. Jadi inikah alasan Danis ingin menikahinya tapi Rea yakin selama hidupnya, tidak pernah sekalipun gadis itu menyakiti Danis. Tangisan yang Rea tumpahkan membuat Danis merasa terkejut. Ada sedikit rasa bersalah yang meggelantung dalam nuraninya. Tanpa sempat diperkirakan, Danis melakukan hal yang semakin membuat Rea membencinya.
Cup.
Danis mengecup bibir merah Rea, sontak ia langsung berhenti menangis karena terkejut namun tetap diam. Melihat reaksi Rea, Danis pelan-pelan memberi irama pada ciuman itu. Rea yang baru sadar dengan apa yang dilakukannya segera mendorong Danis tapi tidak egitu mudah karena Danis mempererat pelukannya membuat Rea bertindak kasar. Ia menginjak kaki Danis dengan sekuat tenaga.
"Aww." Teriakan Danis terdengar sampai keruang keluarga. Membuat mereka yang ada disana serentak berdiri dan menatap ruang yang menyebabkan suara itu, "Danis ada apa?" Tanya Karla, wanita separuhbaya yang dipanggilnya Mama.
"Tidak apa-apa, Ma. Menantu Mama terlalu bersemangat jadi kakiku terinjak," teriak Danis sambil cengengesan. Ia telah melupakan sakit pada kakinya sejak memutuskan mengerjai gadis yang satu tahun lebih tua darinya ini. Karena perkataan tersebut sontak Rea membelalakan matanya. Semua orang pasti berfikiran sama joroknya seperti Danis tentang dirinya. Cepat Rea berlari keluar kamar dan benar saja mereka tengah menertawakannya.
"Kau!" tunjuk Rea pada Danis ketika ia sampai di dalam kamar lagi. "Brengsekkkkk!" bentak Rea. Tapi Danis hanya tersenyum penuh kemenangan. Senyum itu adalah senyum yang banyak memikat gadis manapun saat melihatnya. "Mau lagi?" tanya Danis dengan ejekan.
"Dalam mimpimu!" ketus Rea dan berlalu meninggalkan Danis sendirian. Rea turun menuju ruang keluarga. Samar-samar didengarnya suara orang tua Danis dan kakaknya sedang berbincang.
"Rea cepatlah kesini," ajak tuan dan nyonya rumah itu. Rea segera mengambil tempat disana.
"Danis juga." Rea mengikuti arah tatapan calon ibu mertuanya. Dan disana ada Danis yang dengan intensnya memandanginya. "Dasar playboy cap badak" kata hati gadis itu.
Danis mengambil tempat duduk persis disamping Rea. Danis berdehem karena Rea sendiri tanpa sadar memandangi Danis namun pandangan itu jelas mengisyaratkan permusuhan yang seakan berkata 'ngapain lo duduk disebelah gue'. Rea memalingkan wajahnya kearah lain.
"Oke kedua mempelai sudah berada disini," Tuan rumah itu sumringah. "Semua persiapan sudah siap. Jadi dua hari lagi kalian akan resmi menjadi suami istri." Sambungnya lagi pada kalimat yang sempat terputus.
Danis tersenyum sinis. Rea pasrah. Seusai matahari bersembunyi diufuk timur dua hari lagi, ia telah menjadi milik orang lain. Itu artinya kisahnya bersama Fahri akan berakhir. Semua impiannya akan sirna. Kuliahnya yang baru ia mulai dua tahun lalu akan di berhentikan dulu meskipun akan dilanjutkan nanti. Itu semua karena lelaki di sebelahnya kini. Itu semua karena Danis Karandio anak ketiga dari Gandi Subroto dan Karla Subroto.
.
.
To be continued.