• KAMAR 03 •

1074 Words
Ruang hall. 13:00 pm. NYPD dan ahli forensik rumah sakit menginformasikan hasil otopsi James portman kepada detektif Nicholas melalui sambungan telpon dan korban dinyatakan meninggal akibat pembuluh darah arteri krotisnya yang tersumbat. Setelah mendapat izin penuh dari pihak asrama untuk melalukan penyelidikan, para saksi dan orang yang bersangkutan dengan korban dikumpulkan di hall. Mereka adalah Brittany (kekasih James), Ace dan Luke (sahabat James), Jake (yang menemukan James) dan Alicia (orang terakhir yang melewati lorong menurut data cctv). Nicholas Gray adalah salah satu detektif termuda di NYPD, selain karena usianya yang baru menginjak dua puluh dua tahun, juga karena riwayat keberhasilannya yang 99% sukses dalam mengungkap kasus kriminal yang kompleks. Alasan-alasan itu menjadi titik temu untuk mempererat hubungan dengan beberapa kolega kerjanya termasuk kepala NYPD, Paul scoots dan putrinya, Brittany scoots. Nic menoleh kepada Jake. "Jake, bisa kau jelaskan bagaimana kronologi penemuan mayat James di lorong utama?" Jake mengangguk gugup. Siswa itu membiarkan rambut brunettenya dibentuk undercut, memberi kesan tegas pada wajah ovalnya. "Seseorang mengirimiku pesan." Nic mengernyitkan keningnya. "Apa isi pesan tersebut?" Jake mengeluarkan ponselnya dari saku varsity berlambang mawar emas yang dikenakannya saat itu dan menunjukkan layar ponselnya kepada Nic. "Orang itu mengatakan pacarku ada di lorong bersama Ace," Jake mendelik sinis ke arah Ace di sebelahnya. "Karena dia menyebut nama Elena, aku jadi panik dan tidak sadar bahwa itu adalah nomor asing." Nic melihat Jake lalu Ace, sementara Jake menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jaket. "Bukannya menemukan Elena, aku malah melihat James," tambahnya sedih. "Aku spontan berlari ke hall setelah memastikan keadaannya." Kesaksian Jake yang konkret berhasil meyakinkan detektif muda itu. "Apa kau melihat orang lain selain dirimu di lorong?" tanya Nic. Jake menggeleng. "Hanya ada James. Sebuah jepit rambut perak tertancap di dadanya dan ada darah dimana-mana." membuat Nic menekuk dahinya dalam, aku tidak melihat jepit rambut perak pada tubuh korban. Nic kemudian melihat Ace. "Mr. Blake, kudengar kau tidak hadir di hall saat kejadian, bukankah Mr. Wilson adalah ayahmu?" Ace menyilang kedua tangannya, mengapit jam breitling mewah yang tersemat di tangan kirinya. "Justru karena dia ayahku, aku sudah tahu semua agenda yang akan dibeberkannya di hall. Jadi, untuk apa aku repot - repot bergabung?" Nic menatap Ace curiga, lalu melirik Alicia. Mereka berdua adalah yang paling tenang di dalam penyelidikan ini, ada apa dengan mereka. Nic lalu menunjuk wajah Ace dengan pulpennya. "Nomor asing ini menuduhmu bersama kekasih Jake di lorong. Apa kau memang ada di lorong dengan Elena pada saat kejadian?" Ace menggeleng dan merangkul Luke di sebelahnya. Ia menepuk-nepuk bahu lelaki berambut keriting itu dengan santai. "Aku mengajak Luke ke kamarku untuk bermain video game yang baru kubeli saat acara berkumpul dimulai. Benar, kan, Luke?" Luke yang mendapat tatapan serius dari Ace, lantas mengangguk. Ace menyeringai puas. "Lihat, kan?" Ia mengedikkan bahu acuh saat Nic mengangkat sebelah alisnya. "Lagipula, Elena bukan tipeku. Dia hanya perempuan murahan yang--" Jake tiba-tiba bangkit dan menunjuk wajah Ace geram. "JAGA UCAPANMU, BLAKE!" Ace mencebik dan memutar bola matanya malas. "Dia sudah punya pacar, tapi masih menggodaku. Apa lagi namanya kalau bukan murahan?" tukasnya santai. Emosi Jake kian tersulut hingga ke ubun-ubun saat kalimat itu terucap, wajahnya memerah menahan amarah, sementara tangan kokohnya menarik kedua sisi kerah jaket denim Ace hingga lelaki berambut hazel itu mendongak tepat ke arahnya. Nic segera mendekat untuk melerai, dibantu Luke yang ikut menahan Jake karena lelaki bermata cokelat itu tak kunjung melunak. "Tenanglah!" sergah Nic, dasar remaja labil. Mereka kembali duduk dengan kondisi yang tidak kondusif karena Jake maupun Ace masih menyorotkan amarah di raut wajah masing-masing. Sementara perhatian Alicia masih berfokus pada ponsel, seolah pertikaian barusan bukan hal penting baginya. Nic berdeham, memecah suasana hening yang menyelimuti hall untuk beberapa saat. Ia kemudian memandang Luke. "Luke Hauld, namamu ada di daftar panggilan teratas milik James. Ia menghubungimu pada pukul 09:50, bukan?" Luke mengangguk mengiyakan. "Tapi aku tidak bisa mengatakan apa yang kami bicarakan disini, detektif," katanya memberi tahu, ia melirik Brittany. "Aku akan mengatakannya kepadamu secara pribadi." Nic melihat Brittany lalu Luke, kemudian mengerti. Ia mengangguk. "Kupegang kata-katamu, hauld." Nic melirik Alicia lagi. Ia ternyata masih sibuk dengan ponselnya. Nic yang kesal sontak mendekat dan merebut paksa ponsel Alicia. "Aku akan mengembalikan ponselmu setelah penyelidikan selesai," katanya saat Alicia mendongak datar. Tangan Nic hendak memasukkan ponsel Alicia ke dalam saku celananya, sampai seseorang dengan cengkraman yang kuat menyergahnya. Nic menoleh. Kemudian mendapati Ace dengan ekspresi dinginnya. "Kembalikan ponselnya!" suaranya pelan, tapi terdengar mendesak. Semua orang terdiam. Melihat keduanya dengan tatapan ngeri, tidak ada satupun dari mereka yang bereaksi. Keheningan terjadi saat itu. Cengkraman itu semakin kuat, seolah kuku-kuku Ace siap menusuk garis nadi di pergelangan tangan Nic. "Apa kau tuli?" kata Ace. Nicholas menarik tangannya, berusaha lepas. "Dimana sopan santunmu, anak muda?" Ace tidak merespons dan Nic kembali berusaha melepaskan tangannya. "Sebagai seorang anak CEO, kau tidak mewarisi etika ayahmu, rupanya." kata Nic sarkastik. Pada usaha ketiga, Nic menghela napas berat dan menarik tubuh Ace sekuat tenaga, hingga tubuh lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dan cengkraman yang menyakitkan itu terlepas; meski meninggalkan bekas kebiruan disana. Ace meringis, sementara kedua matanya mendongak menatap Nic yang berdiri di depan wajahnya. Ia buru-buru bangkit dan hendak membalas, kalau saja Luke dan Jake tidak mencegahnya. Keributan terjadi karena Ace masih terbakar emosi. Britt bangkit dan mengangkat tangannya ke udara. "TIDAK BISAKKAH KALIAN MENGHADAPI KASUS JAMES DENGAN LEBIH SERIUS?!" matanya berkaca-kaca, pipinya memanas. "Aku hanya ingin kasus ini selesai," katanya lirih. "Tapi yang kalian lakukan hanyalah membuang waktu!" Secercah rasa bersalah bertaut pada ekspresi yang ditampilkan Nic dan Ace. Bahkan Ace mendesah kasar dan menendang salah satu kursi di depannya saat Brittany menangis dan meninggalkan hall; suasana menjadi kacau. Nic berdeham. "Jake, tolong panggilkan Elena kesini. Aku membutuhkan kesaksiannya," ia menoleh ke arah Luke. "Luke, mari kita bicara diluar." Setelah Luke mengikuti Nic keluar hall dan Jake memanggil Elena ke kamar asramanya, tinggallah Ace dan Alicia berdua dengan kecanggungan maksimal. Ace kemudian memilih duduk di sebelah Alicia yang sama sekali tidak bergerak dari kursinya. "Terima kasih," kata Alicia tiba-tiba. Ace terkekeh. Ia mengangkat dagunya angkuh, hendak berbesar kepala karena yakin Alicia pasti mengaguminya seperti yang lain. Sudah lumrah, jika seorang Ace dipuja-puja oleh wanita. "Kau tahu, aku hanya--" "Tidak usah repot-repot," sela Alicia, membuat Ace menekuk dahinya dalam saat mata biru itu terlihat redup. Tidak ada sorot kekaguman untukknya disana. Alicia tersenyum kecil, lalu bangkit. "Menjauhlah, Blake," tuturnya dingin. Gadis berambut silver itu hendak meninggalkan hall, sebelum akhirnya sebuah tangan dengan kokoh mencegahnya. Alicia berbalik, melihat Ace berdiri di hadapannya. Ace menarik tubuh Alicia mendekat, mempersempit jarak hingga Ace mampu mengendus aroma vanilla dari tubuh Alicia, mata mereka bertemu dan ia bertanya, "Kenapa?" . . . "Karena aku berbahaya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD