"Mama Anna, tidak apa-apa?" tanya Denji, wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat sosok Mama Anna yang limbung keluar dari kamar mandi.
"Aku tidak apa-apa," ujar Mama Anna cepat, suaranya goyah namun dipaksakan tetap tenang. "Barusan ... aku hanya dihinggapi kecoa. Aku terkejut saja."
"Pak Hotaru... di mana beliau?" tanya Kazumi, suaranya pelan namun tajam.
"Entahlah," sahut Mama Anna sambil memalingkan wajah. "Dia tidak ada di kamarnya. Mungkin sedang keluar panti."
Mama Anna melangkah mendekat, berusaha meraih bayi yang digendong Denji. "Sebaiknya kita cepat keluar. Sebelum apinya semakin besar."
Namun Denji menarik sedikit tubuhnya ke belakang, menahan Tetsu tetap dalam dekapannya.
"Biar aku saja yang bawa Tetsu. Mama terlihat tidak sehat. Wajah Mama pucat sekali." ujarnya lembut.
Mama Anna terdiam.
Untuk sesaat, tatapan matanya seperti menembus jauh melewati dinding kamar—menyimpan sesuatu yang tak ingin dibagikan.
Lalu ia mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi hati-hati."
Tanpa berkata lagi, mereka semua bergerak.
Kazumi memimpin langkah sambil menggendong Yusuke yang masih terisak pelan, diikuti Denji yang mengayun pelan tubuh mungil Tetsu dalam dekapannya. Mama Anna berjalan paling belakang, memastikan semua anak di depannya selamat.
Namun baru beberapa langkah dari kamar Pak Hotaru, Mama Anna mendadak berhenti.
Kazumi, yang menyadari tidak ada lagi langkah di belakangnya, menoleh cepat.
"Ada apa, Mama?" seru Kazumi.
"Aku lupa mengambil surat-surat penting," jawab Mama Anna tanpa ragu, lalu memutar tubuhnya dan langsung berlari kembali ke arah kamar Pak Hotaru.
Di tengah larinya, ia masih sempat berteriak, "Tutupi wajah bayinya dengan baju kalian! Jangan hirup asap terlalu banyak! Di lorong dekat kamar Seizaki pasti sudah dipenuhi asap! Dan jangan sampai tersandung!"
Kazumi menatap punggung Mama Anna yang semakin jauh, hatinya dipenuhi rasa cemas.
Kazumi dan Denji kembali melanjutkan langkah mereka keluar dari panti, menggendong kedua bayi erat-erat, sementara Mama Anna masuk ke kamar Pak Hotaru—sendirian—dengan tekad mengamankan surat-surat penting sebelum semuanya terlambat.
Sesampainya di kamar, Mama Anna langsung membuka lemari. Tangannya gemetar saat menggeser tumpukan pakaian dan berkas-berkas. Matanya menelusuri setiap sudut lemari, napasnya terengah, panik bercampur takut.
Namun tiba-tiba—suasana berubah.
Suara air yang sejak tadi mengalir dari kamar mandi… menghilang.
Hening.
Terlalu hening.
Tak lama kemudian, terdengar suara basah—seperti sesuatu yang diseret di lantai. Berat. Licin.
Mama Anna membeku sejenak.
Jantungnya berdentum keras seperti genderang perang. Kepalanya tak berani menoleh ke arah kamar mandi.
Dia kembali mencari, lebih cepat. Tangannya mengacak isi laci, membuka kotak kayu, menyibak map tua—dan akhirnya menemukannya: tumpukan surat berharga milik panti. Surat tanah. Sertifikat. Dokumen-dokumen yang tak tergantikan.
Namun saat ia hendak meraih berkas-berkas itu
...
Seseorang menyentuh pundaknya.
Mama Anna terperanjat. Tubuhnya menegang, napas tercekat di tenggorokannya. Ia bisa merasakan jelas—kehadiran di belakangnya. Nyata. Mencekam.
Tiba-tiba—
Klik.
Lampu kamar mati mendadak. Gelap gulita menyelimuti segalanya sejenak.
Mama Anna menggigil. Perlahan, ia memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menahan gemetar di tubuhnya.
Dan saat itu—
"Mama Annaaaaa…." Bisikan berat dan teredam terdengar tepat di belakang telinganya. Suaranya basah, seolah berasal dari dalam tanah yang lembap. Seolah bukan suara manusia.
"Si-Siapa it—" Ucapan Mama Anna nyaris keluar, tapi terputus.
Mama Anna membuka matanya sedikit, menatap ke arah cermin kecil yang menempel di pintu lemari.
Apa yang ia lihat membuat darahnya membeku.
Di dalam cermin…
Di belakang dirinya…
Ada tubuh tanpa kepala!
Mulut Mama Anna terbuka—tapi tak ada suara yang keluar. Hanya napas tercekat, tubuhnya goyah, dan dunia mulai berputar di sekelilingnya.
Bruk.
Tubuh Mama Anna ambruk ke lantai, pingsan tak sadarkan diri. Surat-surat penting terlepas dari genggamannya, melayang jatuh dan berserakan di sekelilingnya.
Dan di balik pantulan cermin itu… sosok itu mendekat ke Mama Anna yang tak lagi bergerak.
Brak.
Suara benturan kayu terdengar, seperti sesuatu yang berat dan keras terbentur dengan keras.
Klik.
Lampu kembali menyala, berkedip sesaat sebelum stabil. Namun suasana sudah berbeda. Udara terasa lebih dingin. Lebih berat.
***
Kazumi membuka matanya—tampaknya baru saja terbangun dari tidur. Ia masih berbaring santai di kasurnya, tubuhnya setengah tenggelam di antara lipatan selimut.
Di tangannya tergenggam sebuah buku petualangan lusuh, yang entah sudah berapa kali ia baca—terlihat jelas dari bentuknya yang sudah usang. Namun tetap saja, halaman demi halaman selalu berhasil membawanya ke dunia lain—dunia yang penuh petualangan tanpa akhir.
Beberapa saat setelahnya, ia mendesah pelan dan menutup bukunya. Ia bangkit, meraih botol air yang tergeletak di atas meja belajar kecil di sudut kamar.
Langkahnya ringan saat ia berjalan menuju jendela yang terbuka lebar.
Kazumi meneguk air dari botol, tenggorokannya yang kering terasa segar. matanya menatap keluar—ke arah hutan yang membentang tak jauh dari panti.
Senyum tipis merekah di sudut bibirnya.
Di antara dahan-dahan yang bergoyang, ia melihat tupai melompat lincah dari satu ranting ke ranting lain, burung-burung berkicau riuh.
Belalang-belalang hijau yang hinggap di pohon pekarangan panti, melompat kecil saat angin menerpa. Bahkan, di kejauhan, tampak sosok beruang besar yang berjalan malas di balik semak-semak.
Semua tampak hidup.
Semua tampak damai.
Kazumi menarik napas panjang, lalu melangkah keluar dari kamarnya. Di ruang utama, dia melihat anak-anak panti berkumpul mengelilingi seseorang, membuatnya mengerutkan kening.
(To be Continued...)