Asap yang Menyisakan Tanya

850 Words
"Baik, kalau begitu Bapak bisa langsung ke loket administrasi untuk mengisi berkas dan menyelesaikan proses pembayarannya," ujar dokter itu "Baiklah. Saya mengerti, Dokter," kata Pak Hotaru, lalu menoleh ke arah Mama Anna dan yang lain. "Aku keluar dulu, ya," lanjutnya dengan nada tenang. Mama Anna mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak Hotaru, Hati-hati." Angel, yang sejak tadi duduk di sisi ranjang, tersenyum sopan dan ikut mengangguk. Ia sempat berdiri sejenak, lalu kembali duduk saat Pak Hotaru melangkah keluar. Pak Hotaru tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah keluar. Seizaki mengangguk juga, namun matanya menatap punggung Pak Hotaru hingga sosoknya lenyap di balik pintu. Klik. Pintu menutup rapat. Dokter pria itu melangkah maju, membuka tas kecil berisi alat pemeriksaan medis. Suaranya terdengar ramah. "Baiklah, Bu Anna. Saya periksa sebentar, ya," ucapnya sambil menarik stetoskop. Mama Anna yang sejak tadi berbaring lemas, mencoba bangkit. Kedua tangannya menekan perlahan kasur, tubuhnya sedikit terangkat. Namun, kepalanya langsung limbung—dunia terasa berputar. Ia terhuyung ke samping. "Mama!" seru Seizaki refleks. Angel yang sejak tadi duduk di samping, dengan sigap menyambar lengan Mama Anna sebelum sempat jatuh. Ia menahan tubuh wanita itu dengan kedua tangannya yang gemetar, namun kuat. "Bu Anna, tak perlu memaksakan diri untuk duduk. Kalau masih lemah, lebih baik tetap berbaring," ujar dokter dengan suara tenang. "Iya, Dokter... maaf," gumam Mama Anna lemah. Angel dengan hati-hati membantu Mama Anna kembali berbaring di atas bantalnya. Dokter mulai menjalankan pemeriksaan—mengecek detak jantung, tekanan darah, serta mengevaluasi respons fisik Mama Anna. Angel dan Seizaki hanya bisa berdiri di sisi ranjang, menyaksikan dalam diam. Mata mereka sama-sama memancarkan kecemasan yang tak mereka ucapkan. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Setelah selesai, dokter melepaskan stetoskop dari lehernya dan mulai merapikan peralatannya. "Hmm..." gumamnya pelan, sambil menulis sesuatu di berkas catatan medis. Kemudian ia menoleh pada Mama Anna dengan ekspresi serius. "Begini, Bu Anna..." kata dokter itu, "tekanan darah Anda cukup rendah. Ini bisa menjelaskan kenapa Anda masih merasa lemas dan sempat linglung tadi." Angel langsung menunduk, khawatir. Seizaki menggenggam erat jemari tangannya sendiri. "Ini ada obat yang saya berikan untuk Ibu, ya. Obat ini membantu menstabilkan tekanan darah," ucap sang dokter sambil menyerahkannya pada Angel. Angel segera mengulurkan tangan dan menerima obat itu dengan hati-hati. "Tapi yang paling penting, Ibu harus benar-benar jaga pola makan—perbanyak makanan bergizi, cukup istirahat, dan jangan lupa minum air putih. Jangan sampai dehidrasi, ya, Bu," lanjut sang dokter dengan nada hangat. Mama Anna mengangguk kecil dan tersenyum lemah. "Baik, Dokter. Terima kasih..." ucapnya lirih, suaranya masih serak namun hangat. Dokter mengangguk, lalu menambahkan sambil menyelipkan map ke dalam tasnya, "Kalau malam ini tidak ada keluhan tambahan, besok Ibu sudah boleh pulang." Seizaki berseru kecil, lega, "Syukurlah, Mama bisa pulang besok!" "Terima kasih, Dokter," ujar Angel dengan nada hormat. "Sama-sama…" Dokter lalu menoleh sebentar ke Angel dan Seizaki, memberi anggukan ramah, sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan. Sejenak hanya terdengar detak pelan jam dinding. Angel duduk di sisi tempat tidur Mama Anna, sementara Seizaki mengambil kursi dan mendekat. Mereka berbincang ringan, mencoba mengisi waktu. Percakapan mengalir tentang bayi-bayi di panti—Tetsu yang kini mulai bisa berdiri sendiri—dan tentang si kembar Lilicya dan Lalaquin yang semakin aktif dan sulit diam, serta perlakuan Pak Hotaru untuk Asahi House. Pandangan Mama Anna tiba-tiba kosong, saat mendengar tentang perlakuan Pak Hotaru. Ada sesuatu yang menggetarkan dadanya. "Angel..." panggil Mama Anna pelan, suaranya lembut namun mengandung makna. "Kamu bawa tasmu, kan?" ucap Mama Anna, menatap Angel dengan penuh harap. Angel mengangguk perlahan. "Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanyanya, mencondongkan tubuh sedikit. Mama Anna menatapnya sejenak, lalu berkata, "Kamu masih simpan amplop surat dari pria kemarin... di dalam tasmu, kan?" Nada suaranya pelan, tapi tajam menembus gugup Angel. Seketika wajah Angel memerah. Tangannya yang memegang lutut jadi gelisah. "P-pria yang mana, Ma...?" tanyanya tergagap, mencoba terdengar santai—namun jelas gagal menyembunyikan kegugupannya. Seizaki langsung menyeringai dan menyela cepat, "Cieee... pura-pura gak tahu. Itu loh, yang kemarin Kak Angel rawat lukanya tuh..." ucapnya dengan nada menggoda. "Diam kau, bodoh!" bentak Angel cepat sambil menoleh tajam ke Seizaki, wajahnya kini merah padam, entah karena malu atau marah. "Hahaha!" Seizaki tertawa puas, menikmati reaksinya. Mama Anna hanya tersenyum kecil melihat keduanya. "Jadi... masih ada, kan?" tanya Mama Anna lagi. Angel menarik napas, lalu menunduk perlahan. "Ada, Ma..." jawabnya pelan, hampir berbisik. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri, dan wajahnya semakin tenggelam dalam rona merah. Mama Anna mengangguk pelan dengan senyum hangat. "Tenang saja..." ucapnya lembut. "Mama nggak berniat membaca isi suratnya. Segel pada amplopnya belum dipakai, kan?" tanyanya dengan lembut. "Enggak kok, Ma. Belum. Memangnya... Mama butuh untuk apa?" tanya Angel, mencoba menenangkan diri, meski suara gugupnya belum sepenuhnya hilang. Di balik kalimat itu, Angel teringat saat pria itu menyerahkan surat padanya, tepat di depan pintu keluar panti, luka di lutut pria itu baru saja diobati. Perlahan Angel menelan ludahnya sendiri. “Jadi... Mama ada di sana melihatnya?” pikirnya. Wajah Angel langsung merona lagi, rona merah menjalar sampai ke telinga. Ia menunduk dalam-dalam, seolah ingin menghindari dunia. Mama Anna memandang Angel, kali ini lebih dalam. "Mama ingin kirim surat," ucapnya pelan. "Mama boleh minta amplop itu?" (To be Continued...)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD