Alegra dan Tregon tak mengutarakan penolakan saat pria penjual daging itu meminta mereka masuk ke dalam sebuah tong drum yang diletakkan di atas kereta. Ada beberapa tong drum dalam kereta tersebut.
Alegra masuk pertama kali ke dalam tong drum, tong itu cukup besar hingga manusia bertubuh ramping seperti Alegra dan Tregon bisa masuk ke dalamnya. Alegra memahami rencana pria baik hati itu, karena itu tanpa diperintah pun dirinya berjongkok agar tubuhnya tak terlihat.
“Putri, mohon maaf jika anda harus mencium bau tak sedap, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk membawa anda keluar dari sini dengan selamat,” ucap si pria penjual daging.
Alegra tak menyahut, dia mengernyitkan dahinya bingung karena tak mengerti arah pembicaraan pria itu. Hingga detik ini, Alegra tak mencium bau apa pun.
Putri kerajaan yang bertransformasi menjadi buronan itu baru mengerti arah pembicaraan si pria saat tiba-tiba tong yang ditempatinya ditutup dengan kotak terbuat dari kayu. Ada sedikit celah pada kotak itu hingga Alegra masih bisa melihat keluar. Alegra terperanjat ketika beberapa daging segar berbau anyir diletakkan di atas kotak kayu tersebut. Seketika dia tutup hidungnya, rasanya dia ingin muntah mencium aroma tak sedap itu.
Tong drum berisi Alegra di bagian bawah dan tumpukan daging segar di bagian atas itu pun ditutup dengan kain.
Menyaksikan pemandangan itu, Tregon meringis dalam hati. Membayangkan adiknya harus mengalami hal seperti ini sungguh menyakiti hatinya. Tapi dia tak bisa melakukan protes apa pun, dia tahu hanya ini satu-satunya cara agar mereka bisa keluar dari pasar ini dengan selamat.
Mengikuti adiknya, Tregon pun masuk ke dalam tong drum lain yang masih kosong. Hal yang dialaminya pun sama persis seperti yang dialami Alegra. Berbeda dengan Alegra yang membekap hidungnya rapat, Tregon justru membiarkan bau tak sedap itu merasuk ke dalam indera penciumannya. Dia akan mengingat kejadian ini, kejadian memilukan yang harus mereka alami hanya demi bisa bertahan hidup. Kenangan ini akan Tregon jadikan sebagai pemicu semangatnya nanti bila mana rasa putus asa mulai menghinggapi hatinya.
Pria penjual daging itu naik ke atas kereta, duduk di bagian depan untuk memberikan perintah pada kuda yang menarik kereta itu agar mulai berlari. Kereta itu pun mulai melaju menuju gerbang dimana banyak prajurit istana yang tengah berjaga.
“Berhenti!!” teriak salah seorang prajurit seraya merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat pada pria penjual daging agar menghentikan laju kudanya.
“Selamat sore, Tuan,” sapa pria itu, ramah.
“Mau kemana kau?”
“Pulang, Tuan,” jawab pria penjual daging.
“Ini masih sore, kenapa buru-buru pulang?”
“Penjualan hari ini kurang bagus, Tuan. Saya sudah minta izin pada Tuan ...” Pria penjual daging itu menjeda ucapannya, dia menggulirkan matanya memandang sekeliling pasar. Tersenyum lega saat mendapati orang yang dicarinya terlihat berdiri dengan rekannya di salah satu pojok pasar.
“Tuan itu, saya sudah meminta izin pada tuan itu untuk pulang cepat hari ini,” lanjutnya seraya menunjuk ke arah prajurit istana yang tadi memeriksa stand dagang miliknya.
“Oi, Albert!!” teriak prajurit itu tiba-tiba.
Prajurit bernama Albert yang merupakan prajurit yang diberi sekantong daging oleh si pria penjual daging pun menoleh. Berjalan menghampiri rekannya yang baru saja memanggil namanya.
“Ada apa?” tanya Albert begitu berdiri di dekat kereta.
“Orang ini mengatakan dia sudah meminta izin padamu untuk pulang cepat. Apa itu benar?”
Albert memperhatikan wajah pria penjual daging yang masih duduk manis di atas kereta. Menganggukan kepalanya dikala mengingat sosok pria penjual daging yang beberapa menit yang lalu memberinya sekantong daging segar.
“Iya, benar. Aku sudah mengizinkan dia pulang cepat,” jawab Albert. Si pria penjual daging mengembuskan napas lega tanpa mereka sadari.
“Jadi saya sudah boleh lewat, Tuan?”
“Tunggu, kami harus memeriksa isi keretamu dulu,” jawab sang prajurit.
Pria penjual daging itu tengah memutar otaknya sekarang. Albert, prajurit yang melihat putri Alegra menyamar sebagai putrinya yang gila, ada di sini sekarang. Memikirkan alasan apa yang harus diberikannya jika Albert menyadari sosok putrinya yang seharusnya duduk di dalam kereta kini lenyap begitu saja. Peluh mulai bercucuran dari keningnya.
“Ayo turun, cepat perlihatkan isi keretamu,” titah prajurit itu.
Pria penjual daging mengangguk patuh. Lantas dia pun turun dari keretanya. Berniat membuka pintu belakang keretanya yang sengaja dia tutup.
“Aku lanjutkan dulu patrolinya,” ucap Albert tiba-tiba.
Saat Albert melangkah pergi dari sana, lagi-lagi si pria penjual daging mengembuskan napas lega. Keberuntungan tengah memihaknya kali ini.
Sekarang tanpa perlu takut lagi, pria itu bergegas membuka pintu keretanya.
“Apa isi tong itu?” tanya sang prajurit begitu mendapati ada sekitar empat tong drum berukuran besar di dalam kereta.
“Daging dagangan saya, Tuan. Ada daging rusa, sapi, kerbau dan kambing.”
“Buka. Aku akan memeriksanya.”
“Baik, Tuan.”
Pria penjual daging itu tak membantah. Dia buka satu demi satu kain yang menutup tong drum tersebut.
Sang prajurit naik ke atas kereta dan mulai memeriksa. Melongokkan kepalanya memeriksa isi tong drum yang paling dekat dengannya. Seketika dia bekap hidungnya saat aroma anyir dari daging tercium olehnya.
Niatnya untuk memeriksa semua isi tong drum itu dia urungkan, masing-masing dari tong drum itu terisi penuh oleh daging segar. Cukup melihatnya sekilas pun, sang prajurit tahu pria penjual daging itu tak berbohong. Lantas prajurit itu pun bergegas melompat turun dari atas kereta.
“Kau boleh pergi,” titahnya.
“Terima kasih, Tuan,” sahut pria penjual daging. Cepat-cepat dia tutup pintu kereta tanpa repot menutup kembali tong drum itu dengan kain. Dia ingin secepatnya pergi dari pasar itu. Dia lajukan kudanya melewati gerbang pasar dengan jantungnya yang perlahan mulai berdetak normal, tak secepat tadi lagi.
***
Alegra menghirup udara sebanyak-banyaknya. Paru-parunya yang terisi udara beraroma busuk ingin cepat-cepat dia isi kembali dengan udara bersih.
Kini kedua bersaudara itu sudah tiba di rumah sang penjual daging. Rumah sederhana namun cukup layak untuk ditempati.
Begitu masuk ke dalam rumah, Alegra tersentak kaget saat gadis seumurannya tiba-tiba berlari dari dalam rumah dan memeluknya erat. Padahal dia tidak mengenal gadis itu.
“Ibu,” ucap gadis itu, masih memeluk Alegra erat.
“M-Maaf, Putri Alegra. Dia putri saya, Rosalie,” ujar si pria penjual daging, menjelaskan. Alegra mengangguk, tak merasa keberatan putri orang yang telah menyelamatkannya dan Tregon, kini memeluknya erat.
“Rosalie, jangan seperti itu. Dia bukan ibumu. Dia Putri Alegra dari Kerajaan Vincentius.”
“Tidak apa-apa, Paman. Aku tidak keberatan dia memelukku seperti ini,” sahut Alegra seraya tersenyum tulus.
“Nama saya, James, Tuan Putri. Silakan duduk Pangeran Tregon, Putri Alegra,” ujar si pria penjual daging seraya mempersilakan Tregon dan Alegra untuk duduk di ruang makan.
“Kalian pasti lapar. Saya akan menyiapkan makanan untuk kalian. Mohon tunggu sebentar.” James melenggang pergi tanpa menunggu terlebih dulu Tregon dan Alegra meresponnya.
Rosalie duduk di kursi yang tepat berada di samping Alegra, dengan kedua tangannya yang memeluk erat lengan Alegra.
“Ibu,” gumam Rosalie lagi. Alegra dan Tregon saling berpandangan. Lalu keduanya terkekeh geli setelahnya.
“Apa aku terlihat setua itu kak sampai dipanggil ibu olehnya?”
Tregon mengedikkan bahu, tak mengerti juga kenapa Rosalie begitu betah menempel pada Alegra seolah dia benar-benar menganggap Alegra sebagai ibunya.
“Kak, apa aku terlihat tua sekarang? Sejak kabur dari istana, aku memang tidak melakukan perawatan pada wajahku.” Tregon terkekeh geli mendengar pertanyaan Alegra yang terdengar konyol menurutnya.
“Tidak. Kau tetap cantik seperti biasanya. Malah terlihat semakin cantik,” sahut Tregon, jujur. Namun, jawabannya itu sukses membuat Alegra merona hebat.
“Maafkan Rosalie, Tuan Putri. Dia jadi seperti itu sejak ibunya tiada.” James yang tanpa sengaja mendengar obrolan Tregon dan Alegra tadi tiba-tiba menyahut, dia berjalan menghampiri meja makan dengan membawa sepanci sup daging di tangannya.
“Silakan dimakan. Semoga Yang Mulia Pangeran dan Tuan Putri menyukai rasanya.”
James terpaku saat melihat Tregon dan Alegra tidak menanggapi ucapannya. Mereka justru bergegas memasukan sup itu ke dalam piring mereka masing-masing, lalu menyantapnya dengan lahap. Begitu kentara mereka sangat kelaparan. James meringis dalam hati, melihat keadaan keluarga kerajaan yang tak ada bedanya dengan gelandangan.
“Ibu.”
“Dia bukan ibumu, Ros. Dia itu Putri Alegra,” ucap James, cepat-cepat melarang putrinya yang hendak memeluk lengan Alegra lagi.
“Putri Alegra?”
“Ya, dulu kau selalu ingin bertemu dengannya, kan? Sekarang lihat, Putri Alegra yang kau kagumi itu ada di hadapanmu.”
Alegra yang mendengar ucapan James pada sang putri pun menghentikan aktivitas makannya. Dia menatap pilu pada Rosalie yang tampak kebingungan di sampingnya. Mental gadis itu sepertinya benar-benar telah rusak hingga tak mengenali lagi orang-orang di sekitarnya.
“Istri Anda meninggal kenapa, Paman?” tanya Alegra tiba-tiba. Mengernyitkan dahinya dikala menemukan raut wajah James yang seketika berubah sendu karena pertanyaannya ini.
“Bunuh diri,” jawab James, pelan.
Alegra tersentak kaget, begitu pun dengan Tregon yang langsung menghentikan aktivitas makannya.
“Bunuh diri kenapa?” tanya Tregon.
“Saat saya sedang berburu di hutan tiga bulan lalu. Istri saya pergi berjualan di pasar untuk menggantikan saya. Rosalie juga ikut menemaninya saat itu. Di perjalanan pulang, mereka dihadang beberapa perompak. Mereka merampok dan memperkosa istri saya dan Rosalie.”
Alegra membekap mulutnya, kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan berulang kali kentara begitu terkejut mendengar cerita memilukan itu.
“Istri saya merasa dirinya telah kotor. Lalu dia bunuh diri dengan menggantung dirinya di dalam kamar. Sedangkan Rosalie yang masih trauma menjadi depresi berat saat menemukan jasad ibunya menggantung dirinya di kamar,” lanjut James.
“Sebenarnya bukan hanya karena masalah itu saja yang membuat istri saya memutuskan bunuh diri. Tapi keadaan ekonomi kami yang semakin sulit, membuat dia akhirnya menyerah untuk hidup.”
“Apa maksudnya dengan ekonomi kalian yang semakin sulit? Dari yang aku lihat, kalian memiliki penghasilan dari dagangan kalian di pasar.” Tregon menyahut. Sang pangeran mengernyitkan dahi saat melihat James tengah tersenyum sinis sekarang.
“Ekonomi kami semakin sulit sejak pihak kerajaan menetapkan pajak yang sangat besar pada rakyat apalagi pada pedagang seperti kami. Hampir setiap hari prajurit istana mendatangi pasar, bersikap kasar pada kami saat kami terlambat membayar pajak. Tidak jarang para pedagang itu dibunuh di tempat dengan cara yang kejam. Pajak terlalu besar itu juga membuat pasar menjadi sepi. Jarang ada orang yang mau berbelanja lagi karena ekonomi mereka yang semakin sulit dari waktu ke waktu. Jangankan untuk membeli bahan makanan yang harganya melonjak naik, sekadar untuk membeli bahan pokok saja mereka tak sanggup.” James bercerita panjang lebar.
Tregon dan Alegra menundukan kepala mereka. Merasa iba mendengar keadaan rakyat mereka yang ternyata sangat menderita. Sungguh mereka tak pernah mengetahui kenyataan menyakitkan ini. Para menteri kepercayaan Raja benar-benar sudah menipu keluarga kerajaan selama ini.
“Jadi, semua ini karena keluarga kerajaan. Seharusnya kau membenci kami karena kami bagian dari keluarga kerajaan. Tapi kenapa kau justru menyelamatkan kami?” Tregon kembali menyahut. Dia mulai heran sekaligus curiga dengan kebaikan James, padahal keluarganya hancur karena ulah Kerajaan Vincentius.
“Saya tidak percaya bahwa Raja Argon yang menetapkan pajak tinggi ini. Saya meyakini Raja Argon itu merupakan penguasa yang jujur, bijaksana dan sangat menyayangi rakyatnya,” jawab James, kedua matanya menyorot serius pada Tregon dan Alegra. Mulai menyadari bahwa dirinya tengah dicurigai.
“Karena itu saya menolong kalian. Saya menaruh harapan besar pada kalian berdua untuk menegakkan keadilan di kerajaan ini. Baik untuk kami, para rakyat. Maupun untuk Raja Argon dan Ratu Liliana yang telah difitnah sekejam itu.”
“Tentu saja. Itulah tujuan kami,” jawab Tregon yakin, tanpa sedikit pun keraguan.
“Artinya saya telah melakukan tindakan tepat karena menyelamatkan kalian dan membawa kalian kesini. Selamatkan seluruh rakyat di kerajaan ini karena jika tidak, kami semua pasti akan mati mengenaskan.”
“Terima kasih sudah mempercayai ayahanda dan ibunda. Terima kasih juga sudah menyelamatkan kami. Kami tidak akan mengecewakan harapan besar paman pada kami. Benar kan kak?” Tregon mengangguk cepat, menyetujui ucapan sang adik.
Setelah terlibat perbincangan itu, mereka pun melanjutkan aktivitas makan mereka. Kali ini James dan Rosalie pun ikut menyantap sup daging, hingga tak membutuhkan waktu lama sup daging sepanci itu pun habis tak bersisa.
***
Ketika malam tiba, Tregon dan James sedang berbincang santai di ruang tengah. Sedangkan Alegra tengah menyisir rambut panjang Rosalie yang berantakan, mereka duduk di dekat jendela di ruangan yang sama dengan Tregon dan James berada. Berniat mengepang rambutnya agar gadis yang sakit mental itu bisa terlihat cantik dan rapi.
Alegra sendiri kini tak lagi mengenakan pakaian kebesaran milik pria, dress selutut milik Rosalie lah yang kini membungkus tubuh ramping Alegra.
“Sakit tidak?” tanya Alegra lembut pada Rosalie. Tangannya kini gesit mengepang rambut Rosalie yang sudah dia sisir rapi.
“Kalau sakit, bilang ya.” Rosalie yang tengah memeluk boneka beruang mengangguk tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibir tipisnya.
Suasana malam itu tampak hening dan damai. Untuk sejenak rasa khawatir dan takut di hati Tregon maupun Alegra menguap entah kemana.
“Ada cahaya. Di sana ada cahaya.”
Hingga suara cempreng Rosalie mengalun di dalam ruangan itu. Seketika membuat pandangan Alegra, Tregon dan James tertuju ke arah luar yang ditunjuk Rosalie dengan jari telunjuknya.
Tregon berlari menghampiri jendela, melongokkan kepalanya untuk melihat keadaan di luar rumah. Dia pun tersentak kaget saat menyadari cahaya yang dimaksud Rosalie merupakan cahaya yang berasal dari api obor. Rombongan prajurit istana tengah berjalan menuju rumah yang mereka tempati.
“Itu rombongan prajurit istana,” ucap Tregon, dia tarik tangan Alegra agar menjauh dari jendela. Kepanikan pun seketika menghantam semua orang di dalam rumah kecuali Rosalie yang tak mengerti apa pun.
“Kenapa mereka bisa ke sini?” tanya Alegra, tak kalah paniknya.
“Mungkin ada yang melaporkan ini pada mereka. Pasti saat di pasar atau saat kalian masuk ke rumah, ada orang lain yang melihat dan menyadari identitas kalian. Sekarang ini banyak rakyat yang lebih mempercayai kebohongan itu dibandingkan kalian.” James mengutarakan pemikirannya yang sepertinya disetujui Tregon. Kemungkinan itulah yang paling masuk akal.
Derap langkah sepatu besi yang dikenakan para prajurit itu semakin terdengar kencang, pertanda mereka semakin mendekati rumah.
“Bagaimana ini, Kak? Kita harus lari dari sini. Mereka tidak boleh menangkap kita,” pekik Alegra, panik luar biasa.
“Percuma kalian pergi sekarang, rumah ini pasti sudah dikepung.” James berargumen.
“Lalu bagaimana? Tidak mungkin kami hanya berdiam diri di sini.”
Tregon mendesis frustasi di akhir ucapannya. Selalu seperti ini, pelarian mereka rasanya terlalu sulit untuk dihadapi. Berulang kali mereka nyaris tertangkap prajurit istana yang sialnya selalu berhasil menemukan tempat persembunyian mereka.
Tregon dan Alegra terpaku di tempat mereka berdiri, saat menyaksikan James yang tiba-tiba menarik sesuatu dari lantai. Lantai yang terbuat dari kayu itu seketika terbuka, menampilkan sebuah lubang cukup dalam.
“Bersembunyilah di sini,” titah James, yang langsung diangguki Tregon maupun Alegra.
Satu menit berlalu sejak Alegra dan Tregon masuk ke dalam lubang rahasia di bawah lantai. Pintu rumah itu diketuk kencang dari luar. Daun pintu langsung terbanting, dibuka paksa bahkan sebelum James sempat membukanya.
“Selamat malam, Tuan-tuan,” sapa James, berusaha seramah dan bersikap senormal mungkin. dia hampiri Rosalie yang gemetar ketakutan di sudut ruangan.
“Dimana mereka?!” tanya salah seorang prajurit.
“Kedua buronan itu. Kau pasti menyembunyikan mereka di sini, kan?”
“Saya tidak mengerti maksud Tuan,” sahut James, berpura-pura tak memahami maksud perkataan sang prajurit.
“Jangan berbohong. Kami mendapatkan laporan dari tetanggamu. Kau menyembunyikan kedua buronan itu di rumahmu.”
“Tidak ada yang saya sembunyikan Tuan. Tetangga saya itu pasti membohongi kalian.”
James masih berusaha mengelak. Namun, saat seorang prajurit bertubuh kekar tiba-tiba menarik kerah bajunya. Lalu memukulinya bertubi-tubi hingga wajahnya babak belur dan darah menyembur keluar dari mulutnya, James tak mampu lagi berkata-kata. Meskipun dia masih menutup rapat-rapat mulutnya, tak berniat membocorkan tempat persembunyian Tregon dan Alegra.
Para prajurit sedang menggeledah seisi rumah selama James tengah tersungkur memegangi perutnya yang memar, di lantai.
“Cepat katakan dimana mereka? Atau kau mati sekarang juga!” ancam prajurit bertubuh kekar itu seraya menginjak kepala James dengan sepatu besinya.
“Mereka tidak ada di sini, sungguh.”
“Ck, keras kepala. Berani kau membohongi kami?!!” teriak sang prajurit, kali ini dia tendang wajah James dengan ujung sepatu besinya.
Rosalie menjerit ketakutan saat menyaksikan ayahnya disiksa sedemikian rupa di hadapannya. Suara jeritan gadis itu mengundang dengusan kasar dari para prajurit yang merasa terganggu.
“Tutup mulut gadis gila itu. Bunuh dia jika perlu.”
James melotot dan tubuhnya gemetaran hebat dikala menyaksikan putrinya kini dikepung oleh lima orang prajurit.
“Lepaskan putriku. Jangan sakiti dia. Lepaskaaan dia!!!” Teriak James berusaha bangun dari posisi menelungkupnya. Namun apa daya, dia tak mampu menyelamatkan putrinya ketika prajurit bertubuh kekar itu kini kembali menginjaknya. Menginjak punggungnya, hingga James tak mampu bergerak.
“Rosalieeeee! Lepaskan putriku. Ampuniii diaa!!”
James tak hentinya berteriak. Begitu pun dengan Rosalie yang kini tengah terentang di lantai dengan kedua kaki dan tangannya yang dipegangi keempat prajurit. Sedangkan satu prajurit kini tengah menyingkap ke atas rok yang dikenakannya.
James merasa tubuhnya lemas menyaksikan putrinya dilecehkan dan dinodai oleh lima prajurit istana sekaligus. Saat Rosalie berhenti berteriak dan tubuh gadis malang itu berhenti meronta. Ketika Rosalie terlihat bagai seonggok mayat tak bernyawa, James tak bisa lagi menahan teriakannya. Putrinya telah tewas.
“Kau akan bernasib seperti anakmu kalau kau masih bungkam. Katakan pada kami, dimana kau sembunyikan kedua buronan itu?”
James tak menyahut. Dalam posisinya yang masih menelungkup erat di lantai, dia rentangkan satu tangannya berniat menyentuh jasad putrinya yang terbujur kaku cukup jauh darinya. Kedua matanya meneteskan air mata bak hujan deras.
“Sialan. Cukup sudah kesabaranku!”
Sang prajurit bertubuh kekar menggeram murka. Dia jauhkan kakinya dari punggung James. Lalu tanpa belas kasihan dia penggal kepala James dengan pedang besar di tangannya, hanya dengan satu ayunan kepala pria penjual daging yang berhati malaikat itu menggelinding, terpisah dari lehernya.
Tregon membekap mulut Alegra saat menyadari sang adik tengah terisak pilu menyaksikan pemandangan sadis dari tempat persembunyian mereka. Tregon memejamkan matanya ketika kepala James yang menggelinding, berhenti tepat di lantai tempat mereka bersembunyi. Darah dari kepala James itu menetes turun melalui celah lantai kayu yang menyembunyikan sosok Tregon dan Alegra.
“Mereka tak ada di sini.”
Beberapa prajurit istana yang selesai melakukan penggeledahan memberikan laporan pada prajurit bertubuh kekar yang sepertinya pemimpin mereka.
“Kita pergi dari sini. Terus lakukan pencarian di sekitar daerah ini. Jangan kembali ke Istana sebelum kalian menemukan mereka!!”
“Baik Komandan!!”
Lalu suara derap langkah para prajurit yang meninggalkan rumah pun terdengar mengalun hingga ke telinga Tregon dan Alegra.
Hampir satu jam lamanya, Tregon dan Alegra masih terdiam di tempat persembunyian mereka. Alegra yang tak hentinya meneteskan air mata, dan Tregon yang mengepalkan tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Merasa lemah karena mereka tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan James dan Rosalie. Lagi ... nyawa orang-orang yang tak berdosa jatuh demi menyelamatkan mereka.
Alegra berlari menghampiri jasad Rosalie begitu keluar dari tempat persembunyian. Dia peluk erat jasad Rosalie yang dipenuhi luka lebam di bagian wajahnya, dan darah yang sudah mengering di sekitar pahanya. Kelima prajurit itu pasti begitu brutal memperkosa gadis malang itu hingga dia tewas seketika.
Tregon sendiri tengah berjongkok dengan mata terpejam tepat di samping jasad James tanpa kepalanya. Kepala James dibawa pergi oleh para prajurit istana. Mungkin akan digantung di gerbang pasar seperti kepala Aresta.
“Kak.”
Tregon menoleh ke arah sang adik yang memanggilnya lirih.
“Ayo kita pergi ke Isle Village!”
Tregon membulatkan matanya dengan mulut menganga tak percaya mendengar ucapan sang adik.
“Kita tidak bisa melarikan diri terus menerus seperti ini. Kekejaman ini harus segera diakhiri. Keadilan harus segera ditegakkan. Kerajaan Vincentius harus segera kita rebut. Nama baik ayahanda dan ibunda harus segera kita bersihkan. Para pengkhianat dan penjahat itu harus segera diberikan hukuman yang setimpal. Sudah saatnya kita menyelamatkan rakyat kerajaan Vincentius yang menderita dan mengembalikan kepercayaan rakyat yang tersesat hingga lebih mempercayai para pembohong itu dibandingkan kita.”
“Alegra, apa maksudmu?”
“Seperti yang dikatakan Bibi Aresta, kita tidak akan sanggup melawan musuh-musuh kita hanya dengan kekuatan kita berdua. Kita membutuhkan bantuan dari dunia lain.”
Tregon berdiri dari berjongkoknya saat kini dia mulai menyadari arah pembicaraan Alegra.
“Kita lakukan persekutuan lagi dengan kerajaan siluman ular.”
“Alegra, kau sudah gila. Tidak mungkin kita bisa bersekutu lagi dengan mereka.”
“Serahkan aku sebagai persembahan untuk Raja Renz Tazio Sylvain. Aku rela, Kak. Aku rela menjadi persembahan untuk sang raja ular.”
Dan Tregon pun tak bisa mengatakan apa pun lagi selain berdiri terpaku.