Sudah Tak Sejalan

1113 Words
"Ayo nikah!" Bruno hampir tersedak air liurnya sendiri saat mendengar ajakan sang kekasih. "N-Nikah? Yang bener aja, Beib?" Nadia mendengus. Hilang sudah senyum dibibir manisnya saat mendengar jawaban Bruno yang mengecewakan. "Kenapa? Kamu gak mau nikah sama aku?" ketusnya bertanya. Bruno meraih kedua tangan Nadia. "Jangan salah paham dong, Beib. Aku kaget aja dengernya. Gak ada angin, gak ada hujan tiba-tiba kamu ngajak aku nikah." "Kapan kamu mau nemuin Abah?" "Hmm?" "Aku harap kamu gak lupa. Sejak awal kita dekat, aku pernah bilang kalo aku mau punya hubungan yang serius. Aku mau nikah, hidup berumah tangga. Sekarang kita udah jalan setahun, tapi kamu gak pernah menunjukkan keseriusan kamu sama aku. Bahkan kita belum mengenal keluarga masing-masing." Bruno berdecih pelan. Melepas genggamannya, lalu bangun dan berjalan beberapa langkah ke depan. Nadia ikut berdiri, menunggu apa yang akan diucapkan sang kekasih. "Aku cinta sama kamu. Sayang banget. Bahkan rasanya aku gak mau kehilangan kamu. Tapi kalo untuk nikah sekarang, di usia kita yang baru dua puluh empat tahun, itu terlalu cepat. Aku belum siap mental." "Terus kapan kamu siap mau nikahin aku?" "Aku gak tahu," jawabnya lalu berbalik badan menatap Nadia. "Mungkin dua sampai tiga tahun lagi." Nadia memicingkan mata mendengar jawaban Bruno yang terdengar ragu. "Lagian apa sih yang kamu kejar? Nikah sekarang atau nanti, itu gak akan mengubah rasa cinta aku sama kamu. Kita akan tetap bersama. Apa yang kamu takutkan?" Nadia tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng kecil. "Itu gak semudah apa yang ada dalam pikiran kamu." "Terus kamu pikir nikah itu gampang?" "Aku gak bilang gitu." Bruno mendengus. "Ya udah kita jalanin aja kayak biasa. Jangan memperdebatkan hal yang bikin kita ribut." "Kamu paham gak sih? Aku mau punya hubungan yang halal. Aku malu terus terjebak dalam hubungan gak jelas gini." Bruno menautkan alisnya. Melangkah mendekati Nadia. "Hubungan gak jelas?" "Ya. Gak ada hubungan yang jelas diluar pernikahan." Bruno mensejajarkan wajahnya dengan Nadia. Mereka saling menatap satu sama lain dengan jarak yang begitu dekat. "Terus apa jadinya kalo aku gak bisa mewujudkan pernikahan yang kamu inginkan?" "Maka hubungan kita cukup sampai di sini." *** Hujan mengguyur ibukota sejak tiga puluh menit yang lalu. Petir terdengar saling bersahutan. Menemani kesendirian Nadia di dalam apartemen. "Itu yang kamu mau?" "Aku gak bisa nunggu lebih lama lagi." Bruno menarik wajahnya. Mencoba menetralkan emosi yang menggebu dalam hati. Baginya putus dengan Nadia itu sangat sakit. Tapi sungguh ia tak mampu mewujudkan apa yang diinginkan gadis itu dalam waktu dekat. Ia belum bisa melangkah sejauh itu. "Okay. Kalau emang itu yang kamu mau, aku gak akan nahan kamu. Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan bersama laki-laki lain." Tetes demi tetes air mata membasahi pipi Nadia. Ini benar-benar menyakitkan. Kembali ia melepas orang yang dicintai hanya karena tak mampu membawanya ke jenjang pernikahan. "Boleh aku peluk kamu untuk yang terakhir kalinya?" Nadia terpejam. Menerima pelukan hangat dari laki-laki yang Nadia harap bisa menjadi pelabuhan cinta terakhirnya. "Menikahlah, Nad. Jika emang itu yang kamu inginkan. Temukan laki-laki yang bukan hanya siap menikahi kamu, tapi juga siap mencintai dan menyayangi kamu melebihi rasa cinta dan sayang aku sama kamu." Nadia mengigit bibir bawahnya. Mencengkeram kuat kemeja hitam Bruno. Rasanya berat mengakhiri hubungan ini, tapi Nadia tidak bisa bertahan lebih dalam ikatan diluar pernikahan. "I love you, and will always love you. I promise." Nadia berdecak kesal. Membuka matanya yang semula terpejam. Menatap langit-langit kamar dengan perasaan galau mendalam. "Bilangnya cinta, sayang, bahkan gak mau kehilangan, tapi gak siap buat diajak ke pelaminan," gumamnya mencibir. Kemudian Nadia bangun, meraih fotonya bersama Bruno yang ia pajang di atas nakas. Bibirnya mengulas senyum tipis, membelai wajah Bruno pada foto tersebut. "Manisnya ungkapan perasaan kamu gak bisa menjanjikan masa depan buat kita. Tapi aku harap, semesta benar-benar telah menyiapkan bahagia buat aku dan kamu." Nadia kembali berbaring. Membawa foto tersebut ke dalam pelukannya. Walau tak bisa bersama, tapi Nadia senang karena sempat mengenal sosok seperti Bruno dalam hidupnya. *** "Jadi, kalian beneran putus?" Nadia mengangguk lesu. Mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Kini ia ditemani Sandra disalah satu kafe langganan mereka. "Sayang sih, padahal kalian serasi banget. Apa gak bisa dibicarain lagi? Cari jalan terbaik selain harus putus," ucap Sandra, menyayangkan kandasnya hubungan Nadia dengan Bruno. "Enggak, San. Hubungan gue sama Bruno gak punya tujuan yang jelas. Kita udah gak sejalan. Dia cuma mau have fun, sementara gue menginginkan pernikahan." Sandra mengangguk paham. Mereka berteman sejak awal masuk kuliah. Salah satu impian Nadia yang Sandra ketahui adalah menikah muda. Namun, tiga kali menjalin hubungan tak mampu membawanya ke jenjang pernikahan. Nadia bukan tak ingin sabar menunggu pasangannya siap, dia hanya mau memiliki ikatan yang jelas, sah di mata hukum dan agama. Terlebih abahnya selalu memperingati Nadia untuk menjauhi hubungan diluar pernikahan. Setelah menghabiskan makan siangnya, mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Tepat saat tangan Nadia terulur untuk membuka pintu mobil, mata tajam Sandra menangkap sesuatu yang membuatnya terkejut. "Tunggu, Nad!" "Kenapa?" Nadia bertanya sambil mengikuti arah pandang Sandra. Matanya memicing, memastikan kalau ia tak salah lihat. Benar, itu Yolan, sahabatnya. Dia bersama Bruno dengan tangan saling bergandengan. Sandra berdecak. Menggeleng tak menyangka dengan apa yang dilakukan Yolan. "Gila! Ternyata dibelakang lo mereka ada main? Wah! Bener-bener harus dikasih pelajaran!" "Udah ah, gak usah," ucap Nadia menahan lengan Sandra. "Lho, Nad? Gak bisa gitu dong! Dia udah keterlaluan sama lo! Sahabat macam apa yang tega nusuk dibelakang?" balas Sandra menggebu-gebu. "Gue sama Bruno udah gak ada hubungan lagi. Dia bebas jalan sama siapa aja, termasuk Yolan sekalipun." Sandra mengernyit bingung. Tak habis pikir dengan yang dikatakan Nadia. Bagaimana bisa dia setenang itu? Memang hubungannya dengan Bruno sudah berakhir, tapi itu baru kemarin, dan sekarang Bruno terlihat mesra bersama Yolan. Apa Nadia tidak curiga kalau selama ini mereka bermain api dibelakangnya? Mungkin juga alasan Bruno tidak mau menikahi Nadia karena ada Yolan di hatinya? "Nad-," "San, udah ya? Gue gak apa-apa kok kalo itu yang lo khawatirin," ucap Nadia sambil mengulas senyum. Kemudian masuk ke dalam mobil. Sandra menoleh ke arah dimana Bruno dan Yolan berada tadi, tapi sekarang mereka sudah tak terlihat, mungkin sudah masuk ke dalam kafe. "Sialan! Dasar sahabat gak tahu diuntung," gumamnya menahan kesal. Dibalik senyum yang Nadia tampilkan ada luka yang menggores hatinya. Melihat laki-laki yang dicintai pergi bersama sahabat sendiri membuat dadanya sesak seperti ditimpa batu besar. Namun apapun itu sudah bukan lagi hak Nadia untuk marah. Justru harusnya ia bersyukur karena telah lepas dari seorang pengkhianat seperti Bruno. Kata-kata manisnya bagaikan racun yang hampir membunuh Nadia. Sandra mendengus saat melihat mata Nadia berkaca-kaca. "Munafik lo, Nad. Lo gak baik-baik aja. Lo sakit." Nadia memalingkan wajahnya ke luar jendela. Saat itu juga air mata luruh dengan sendirinya. Sandra berdecak. Menyala mesin mobil lantas membawa pergi meninggalkan kawasan kafe. "Lo bener, San. Gue munafik. Sakit banget."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD