Kelahiran

1319 Words
Tangan kecil menggeliat berusaha keluar dari kain flanel yang membungkusnya. Matanya terpejam menikmati buaian yang diberikan Sang Ibu. Mulutnya mengerucut dirasakannya Sang Ibu meletakkan dirinya di sebuah tas besar. Sang ibu tersenyum lembut terhadap gerakannya menghibur hatinya yang gundah. "Kita pergi sayang." Ditatapnya sekali lagi untuk terakhir kalinya ia berada di tempat ini. Kamar kecil yang sudah ditempati selama setahun terakhir. Air mata menetes membasahi pipi tirusnya. Menatap foto yang ada di dinding tampak foto pernikahannya dan seorang laki-laki yang diinginkannya sekaligus memujanya tapi tidak menginginkannya sejak awal pernikahan. Cepat dihapus air matanya, sang ibu segera mengangkat tas besar itu hati-hati supaya bayinya tidak terbangun dari tidur pulasnya. "Tidur sayang, jangan bangun dulu." bisiknya pelan sambil sesekali berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada yang menyadari atau mendengar langkahnya. Kakinya terkadang goyang terlalu lemas dikarenakan kondisi dirinya belum 24 jam melahirkan, tak seorangpun tahu. Peluhnya menetes membasahi baju yang mendekap erat tas besarnya. Wajahnya pucat pasi menghitung setiap langkahnya seperti yang biasa ia lakukan dirumah ini. Ingatannya melayang di saat ia melahirkan seorang diri dikamar, rasa sakit dirasakan sejak sore tapi tak satupun orang yang membantu dirinya. Air ketubannya pecah diatas tempat tidur, darah mengalir disela-sela pahanya. Ia berteriak sekuat tenaga mengeluarkan anaknya yang keluar, untungnya ia sempat membaca tutorial di YouTube cara melahirkan. Cepat digunting ari-arinya kemudian dibersihkan anak dan dirinya dengan susah payah. Hujan deras diiringi suara petir menyambar meredam suara teriakan dan tangisan. Hari ini ada resepsi pernikahan yang diatur sedemikian rupa oleh keluarga Van de Blu. Suaminya Rafael Van de Blu sendiri menyetujui permintaan ibunya yang menginginkan untuk menikahi putri keluarga terpandang di kota ini dengan imbalan 30% kekuasaan jatuh ke tangan Rafael. Sang ibu yang berasal dari keluarga biasa, kaget mendengar berita itu, Sang Ibu berusaha mencegah Rafael tapi sia-sia karena kebodohannya sendiri yang baru menyadari ternyata pernikahan tak tercatat dimanapun. Sang Ibu tak menduga bahwa keputusan untuk menikah tanpa mengecek status pernikahan berakhir fatal. Keluarganya sendiri memutuskan hubungan dengannya karena nekad menikahi Rafael. Namun, lagi-lagi Sang Ibu harus menelan pahit, kenyataannya ia ditipu. Ingatannya sangat jelas bagaimana ibu mertuanya menolak kehamilannya karena dikatakan bukan cucu dari Rafael jika selama ini dirinya melakukan hubungan suami istri bukan bersama Rafael. Bahkan Rafael tidak membantah kenyataan itu. Rafael diam saja melihat dirinya diperlakukan semena-mena. Untuk makan saja, ia terpaksa harus hati-hati karena takut. Sejak kehamilannya ia tinggal dirumah samping, Rafael tidak peduli dengan dirinya. Rafael malah senang Sang Ibu disingkirkan oleh ibu mertuanya dari rumah utama. Matanya melotot melihat kearah sebuah ruangan yang terbuka, tak sengaja ia melihat yang tidak seharusnya ia lihat. Rafael berubah menjadi sosok yang menakutkan. Kakinya menghilang begitu saja, digantikan dengan badan ular. Rasa takut mulai masuk kedalam hatinya Perubahan itu sempurna menjadi manusia berbadan ular kemudian berubah lagi menjadi sosok tak kasat mata. Wanita dibawahnya seperti terhipnotis dengan gerakan ular tersebut. Suara wanita itu berteriak keras di setiap tarikan nafasnya sebelum pelepasan yang keluar cepat dari tubuhnya. Rasa takut mencengkeram kuat-kuat dirinya sendiri bahkan nyaris tidak dapat menahan teriakannya. Hujan deras mengguyur kota sejak sore bahkan semakin kencang menambah suasana suram disekitarnya. Sang ibu tidak dapat mengerakkan kakinya untuk melangkah. Terlalu takut. Gerakan halus di tas membuatnya tersentak menyadari niat awalnya. Pelan ia melangkahkan kakinya ...satu...dua...tiga... kakinya gemetaran hebat, tubuhnya bertambah lemah begitu lewat pintu itu. Diaturnya nafas yang mulai sesak. Cepat-cepat Sang ibu berjalan menuju pintu keluar dari samping kiri. Tangannya memegang gagang pintu dan membukanya pelan sambil mengamati sekitarnya sekali lagi. klik! Sang ibu belum bisa bernafas normal, kakinya melangkah menyusuri jalan setapak menuju taman menghadap rumah utama. Nafas sang ibu mulai memburu, tasnya bergerak-gerak meminta perhatian darinya. Tangannya mengelus perlahan menenangkan, dilihatnya pintu gerbang masuk khusus untuk pelayan sedikit terbuka. Beberapa pelayan terlihat keluar masuk membawa barang. Sang ibu berhenti sejenak mengatur nafasnya sebelum melanjutkan, tepat diluar gerbang, langkahnya terhenti. "Kamu siapa?." tanya seorang pelayan berdiri di hadapannya membawa kotak besar, "Aku pelayan rumah samping, diminta nyonya muda membeli obat." jawabnya pelan tak ingin membuat curiga orang didepannya. "Cepatlah, sebentar lagi nyonya besar akan datang menghitung jumlah pelayan." katanya sambil pergi meninggalkan sang ibu seorang diri. Sang ibu berjalan cepat mencari tumpangan, ada taksi yang lewat, cepat dihentikannya. "Tolong ke stasiun kereta api terdekat." kata Sang Ibu. Taksi meninggalkan rumah besar itu dengan cepat diiringi rintikan hujan turun. Sang ibu turun di terminal yang dimaksud. Setelah membayarnya, ia berlari kencang mencari tiket tercepat yang bisa ia temukan. Ketakutannya belumlah usai karena ia masih berada di wilayahnya. Wilayah Noretedam milik keluarga Van de Blu. *** Nyonya besar berdiri tegak didepan jendela kamarnya yang menghadap langsung rumah samping, ia bukan tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah itu. Sorot matanya suram penuh kesedihan. "Wanita itu sudah pergi, James." katanya mengusap kucing Persia, terdengar suara mengeong menjawab pertanyaannya. Diambilnya ponsel yang ada di atas meja. Dikirim pesan kepada salah satu orang kepercayaannya kemudian ia membaringkan badannya di atas ranjang beludru berwarna emas dengan James disisinya. Senyum lelah menghiasi wajahnya yang masih terlihat cantik. Matanya menutup seiring bunyi hujan yang terdengar indah bagaikan musik ditelinga tuanya. *** Ditariknya rokok dari kotaknya untuk mengantikan rokok yang tersisa sedikit di mulutnya. Ia menghisap kuat-kuat, menghembuskan asapnya sekali keatas. Gospar menoleh kearah balkon ketika mendengar pintu digeser. Perlahan keluar dari arah balkon kamarnya, Rafael berdiri di depannya hanya mengenakan jubah tidur yang tidak ditutup memperlihatkan otot-otot tubuhnya. "Apa kamu menyukainya?." tanya Gospar malas. Tangannya mengambil rokok yang dipegang Gospar, matanya merah menahan kantuk. "Tidak terlalu, barang bekas." jawab Rafael kesal lalu duduk di kursi balkon dekat Gospar. Gospar tak dapat menahan tawanya hingga terbahak-bahak mendengar kalimat itu, bibirnya mengejek membuat lawannya ingin memukul wajahnya yang tampan. "Kau!." Rafael malu tapi mau bagaimana lagi sudah terlanjur. "Jangan kamu sentuh wanitaku!." ucap Gospar memperingatkan kepadanya untuk pertama kalinya, Rafael menoleh tidak suka jika ia diancam. "Tenanglah aku tidak berminat." katanya pelan memandang Gospar disampingnya. Hujan masih turun walaupun tidak seperti tadi. Mereka berdua terdiam menikmati angin yang berhembus kencang di balkon kamar. Tak seorangpun tahu kalau sebenarnya mereka berdua bersaudara tiri. "Tuan." Mereka berdua menoleh kearah suara yang muncul di belakang, pria itu berdiri. Warna hitam pakaian yang dikenakan membuatnya tak satupun menyadari keberadaannya. Gospar dan Rafael mendengus dingin melihatnya secara bersamaan. Rafael bangkit berdiri dan masuk kedalam kamar pengantinnya. "Ada apa?" tanyanya dengan santai berjalan mendekati pengantinnya yang tertidur pulas tanpa sehelai pakaian menempel ditubuhnya, sekali lagi nadinya berdenyut nyeri pada bagian bawah tubuhnya. "Nyonya muda pergi meninggalkan rumah." jelas kepala pelayan mengikuti gerakan majikannya. Matanya sekilas menatap wanita itu, iapun tergoda untuk mencobanya tapi menunggu perintah darinya. "Biarkan saja, itu urusan rumah utama." katanya pelan melihat kearah bawah miliknya yang mencuat tegak sempurna bagai pedang yang siap untuk bertempur melawan kejahatan. "Aku bosan, lakukan seperti biasanya." perintahnya kepada kepala pelayannya untuk mengantikan dirinya. Rafael duduk di sofa dekat tempat tidurnya. Kepala pelayan itu menundukkan kepalanya lalu melakukan apa yang diminta oleh tuannya. Desahan keluar dari mulut ketika hisapan itu menyentuh titik saraf sensitif miliknya. Lenguhan panjang terdengar dari mulutnya mengusik ketenangan tidur pengantinnya. Matanya membuka tapi ia memejamkan lagi ketika ia merasakan sesuatu yang nikmat dibawahnya. "Kamu menyukainya?." tanyanya menyalakan rokoknya yang baru saja dinyalakan lagi. Kepala pelayan asyik menikmati, "Ya tuan, apa dibuang seperti biasa tuan, akh...ah..." tanyanya mengeluarkan cairan miliknya kedalam tubuhnya. "Ya seperti biasa, aku tidak suka barang bekas, buat segalanya rapi." jawabnya berdiri hendak membersihkan diri di kamar mandi. Rafael Van de Blu menyeringai malas melihat istri barunya tidak dapat membedakan siapa yang menyentuhnya. Iapun seketika jijik. Permainan seks yang dilihat sang ibu sebenarnya bukanlah dirinya melainkan kepala pelayan yang melakukannya, dia tidak suka wanita bahkan jijik berdekatan dengan wanita. Kepala pelayannya selalu menyamar menjadi dirinya untuk melakukan tugas itu. Kalau tidak diingatnya demi mendapatkan kekayaan, mana mau ia menyentuh bagian-bagian tubuh wanita itu. Hidup menjadi b***k harta dan nafsu adalah sebuah cara Rafael untuk tetap hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD