8 - Here We Go

1548 Words
“Nothing is lost... Everything is transformed.” – Michael Ende, The Neverending Story  *** Mikha Dev sedang belajar menggambar ketika mendadak bel pintu rumahnya berbunyi. Aneh, jarang sekali ada tamu yang datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Ayah dan ibunya juga terbiasa menyiapkan berbagai hidangan jika akan ada tamu yang berkunjung. Ia pun berdiri, menuruni anak tangga dan membukakan pintu. “Siapa? Eh kak Gilbert!! Ada apa kemari?" Mikha sedikit memekik ketika mengetahui tamunya adalah kakak sepupunya. Plus dua orang asing. “Biarkan kami masuk dulu, ya,” jawab Gilbert dengan nada datar. Tak ingin ambil masalah, Mikha membiarkan ketuga orang itu masuk dan duduk di sofa ruang tamu. “Langsung ke intinya. Mikha, dulu kamu pernah menunjukkan kertas aneh padaku kan?” Mikha menautkan alis. “Kertas ap – Ahh! Kertas itu?!” Gilbert mengangguk cepat. Mikha semakin gugup? Jangan bilang... “Em, s-sudah ku b-buang.” Emily dan Luke sedikit tersentak. Emily berseru, “Tidak mungkin! Kau pasti tahu sesuatu yang aneh tentang kertas itu! Jujurlah.” Gilbert berkepala dingin. Tentunya ia tahu apa yang disembunyikan adik sepupunya melalui suara pikiran yang ia dengar tadi, yang tak lain berasal dari Mikha. “Kamu masih menyimpannya. Benar, kan? Aku tau kamu tak bisa berbohong,” ucap Gilbert tegas. Mikha langsung berkeringat dingin mendengarnya. “Kakak tahu?” Mikha kembali menunjukkan ekspresi bersalah campur gelisah. Gilbert merasa tak enak melihat Mikha sedikit takut dalam situasi ini. Ia pun mencoba mencairkan suasana. Gilbert berdehem, “Ngomong-ngomong, dua orang ini adalah temanku di sekolah. Kenalkan ini Emily Clarkson, kakak kelasku dan adiknya, Luke Clarkson.” Mikha menjabat tangan keduanya ragu. Sesaat telapaknya merasakan sensasi aneh dari keduanya. Semacam sengatan kecil. Mendadak kelibatan gambar potongan peristiwa melintas dalam benaknya. Kepalanya agak berdenyut. Sesuatu dari bagian jiwanya seakan mengambil alih tubuh dan kesadaran Mikha. Mikha Dev bertingkah aneh. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh dahi Emily, disusul dahi Luke, dan Gilbert. Mulutnya mengucapkan sesuatu sambil mengangkat kedua tangan. “Aku melihatnya, wahai kalian yang terpilih. Hidup dan mati dunia berada di tangan kalian. Tiga diantara tujuh belum kalian temukan dan dihubungkan dalam kesatuan. Dua diantara tujuh petunjuk telah menemukan pemiliknya. Bergegaslah, nasib dunia kelak terancam. Sang gelap malapetaka sudah mulai menunjukkan taringnya.” Mikha menghentikan ucapannya. Kesadarannya kembali. [Eh, ada apa ini?] batin Mikha. Ketiga orang yang ditatapnya melongo. Antara bingung dan shock . Perlu beberapa menit hingga salah satu dari mereka berdehem mencairkan suasana. “Jadi, apa itu tadi?" Luke yang masih terkejut mencoba bertanya, membuka percakapan. Emily hanya mengangkat bahu. “Paling petunjuk lagi.” Gilbert memijat pelipisnya. Pusing. [Lagi-lagi petunjuk, ah tunggu! Bagaimana Mikha bisa...] “Mikha?” “Ya?” “Tahu sesuatu bukan? Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kertas itu?” Sejenak gadis kecil itu ragu untuk menjawab, namun pada detik berikutnya ia mengangguk pelan. Dengan sedikit tergagap ia mulai menjelaskan, “I-itu, ehm sebenarnya aku bisa melakukan hal aneh. Tanpa kusadari.” “Lanjutkan Mikha,” sambung Gilbert ketika Mikha menghentikan ucapannya. “Dulu waktu aku menyentuh kertas itu, tiba-tiba saja aku bisa melihat sesuatu.” Mikha mengerutkan keningnya. Penjelasannya pasti susah ditangkap. Ia melirik ketiganya, wajah mereka tidak menunjukkan keterkejutan. Sangat datar, tapi penuh rasa ingin tahu. Luke menegakkan punggung, mulai semakin tertarik dengan pembicaraan ini. “Melihat apa?” “Seperti potongan kejadian. Misalnya jika bersentuhan dengan orang lain, tiba-tiba saja aku melihat kejadian apa yang akan terjadi dengan orang itu di waktu mendatang. Jika aku melihat dia akan terpeleset tepat lima belas detik setelah penglihatanku berakhir maka itu yang akan terjadi. Jika aku melihat temanku akan mendapat nilai jelek ketika tes dibagikan maka itu yang akan terjadi. Singkatnya aku bisa melihat rentetan kejadian seseorang di masa depan, dalam durasi waktu bervariasi dan tidak bisa ku kontrol. Itu muncul dengan sendirinya.” Gilbert mengangguk-angguk. “Bakatmu muncul ketika kau menyentuh kertas aneh itu? Atau sebelum kau menemukannya kau sudah bisa melihat?” “Tepat setelah aku menyentuhnya, Kakak,” ujar Mikha. Semua menoleh ke arah Mikha. Ada yang tidak beres. “Mikha masih menyimpan gulungan kertas itu kan?” Emily bertanya dan memasang wajah penuh tanda tanya. Mikha mengangguk kencang, takut pada aura Emily yang mengintimidasi. “Tunjukkan pada kami, kau pasti bisa membaca isinya.” *** Emily memilih diam ketika pelajaran Biologi berlangsung monoton. Pikirannya melayang ke tempat lain. Tentunya mengenai kejadian kemarin. “Tunjukkan pada kami, kau pasti bisa membaca isinya.” Mikha merogoh laci meja, diambilnya gulungan kertas kecoklatan itu. Namun ketika hendak membacanya, kertas itu terbakar. Semua panik untuk memadamkan api itu. “Apa yang terjadi?!” “Aku tak tahu! Tiba-tiba saja kertas ini terbakar!” sahut Mikha seraya mencipratkan air dari gelas. Emily menarik napas panjang. “Tapi, sudah kamu baca semua kan isinya?” “Tentu saja sudah!!” “Apa kau masih ingat isinya?” timpal Luke . “E-eh, t-tentu,” jawab Mikha. Gilbert mendecakkan lidah. “Jawab yang sebenarnya!" “Aku lupa! Jangan berteriak padaku, Kakak!!” Mikha menjawab dengan suara serak. Sudah bisa dipastikan ia akan menangis di detik berikutnya. Anak kecil mana yang takkan menangis jika didesak seperti itu. Ketiganya merasa bersalah dan berusaha menenangkan. Tiba-tiba Luke merasakan kehadiran seseorang di luar. Ia menengok ke jendela dan sekelibat bayangan melintas. “Kita diawasi. Mikha, tenanglah. Tolong semuanya diam,” ucap Luke sedikit berbisik. Emily dan Gilbert kaget mendengar pernyataan Luke. Luke memberitahu apa yang baru saja dilihatnya. Mikha masih sedikit terisak dan Emily mengusap punggungnya, mencoba menenangkan. Gilbert memberanikan diri mengintip ke luar jendela. Nol. Ia tak mendapati siapa pun. Namun, satu hal yang mengejutkan. Seluruh tanaman di teras hancur. Pot bunga banyak yang jatuh. Benar. Seseorang sedang mengawasi. Tapi siapa? *** “Emil..” “Emily...” “Emily!!” Tubuh Emily tersentak begitu mendengar seseorang memanggilnya dengan keras. Ia menoleh ke pusat suara. “Oh maafkan aku, Giselle,” ujar Emily. Ternyata itu Giselle, teman sekelasnya. Giselle menepuk jidat. “Astaga, ada apa denganmu seharian ini, hmm? Sudah jam istirahat dan kau masih melamun tak jelas. Pandanganmu fokus ke buku tapi nyawamu tak disini. Oh, temanmu si Sarah itu mencarimu. Dia menunggu di luar.” Emily tersenyum kecil. “Ah bukan apa-apa, hanya hal kecil yang menggangguku, terima kasih juga telah memberitahu.” Giselle melambaikan tangan dan tetap berjalan ke pintu keluar, tanpa berbalik lagi menghadap ke Emily. Emily pun menyusul ikut keluar, menemui Sarah. “Oh akhirnya,” ucap Sarah terdengar sumringah. “Ada apa menemuiku?” Ehm, begini, ku dengar kelasmu sudah ulangan Kimia. Nah –” “Kau memintaku memberitahu macam soalnya?” tebak Emily langsung. Sarah tersenyum kecil. “Tepat sekali, Emil. Boleh ya? Ya? Ya?” “No. Bu Wendy melarang kami sekelas memberikan bocoran ke kelas lain.” Sarah mengerjapkan mata berkali-kali. “Ayolah, kunohon. Kudengar soalnya sangat sulit, aku ingin tahu apa saja yang keluar, please?” Emily mengabaikan Sarah. Ia terus berjalan di sepanjang koridor, menuju kantin. Sarah terus memohon dan membuntuti di belakang. Emily tetap fokus dan mengabaikan. Pandangannya menatap sesuatu yang asing. Ada keramaian tepat sepuluh meter di depan mereka. Kerumunan perempuan yang entah apa yang mereka kerumuni. Emily mengamati dari jauh. Tidak tahu siapa dan apa, dia hanya berjalan mengabaikan. SRAT! Mendadak seseorang keluar dari kerumunan. Menggandeng tangan Emily dengan paksa dan pergi menjauh. “Kakak, kupinjam Kak Emily sebentar ya!” Gilbert melambaikan tangan sambil setengah berlari. “Jangankan sebentar, selamanya juga tidak apa-apa kok! Culik sekalian hahaha!!" seru Sarah menanggapi seruan itu. dalam hati, ia sedikit membatin. [Wah Emily diam-diam mematikan ya, haha. Nathano Gilbert lagi, gila.] Emily menyorot tajam ke arah Sarah setelah mendengar seruannya. Namun hanya sebentar hingga ia kembali menghadapi kenyataan dan melirik orang yang menyeretnya. “Apaan ini?! Lepaskan!” Gilbert menyeringai. "Maaf, sepertinya kakak lupa dengan yang waktu itu. Kakak sendiri lho yang memperbolehkanku untuk menggunakan kakak di saat seperti ini.” [Oh, ya itu benar]. Dan Emily kembali mengingat hal itu. Rasanya seperti de javu. Dulu ia pernah diseret seperti ini juga. Benar-benar tak asing. Mereka berjalan menuju halaman belakang. Di sana tidak benar-benar sepi, masih ada kerumunan orang berolah raga, tapi setidaknya takkan ada yang menganggu. “Akhirnya. Terima kasih kak atas pengertiannya,” ucap Gilbert dengan tersenyum lebar. Dia melepaskan pegangan tangannya. Emily mengabaikan cengiran tanpa dosa itu. “Kenapa kamu tidak cari pacar saja? Daripada nanti terus-terusan minta tolong padaku, kan repot.” Gilbert melirik Emily. Sejenak ia menarik nafas dan mengeluarkannya dengan kasar. “Tak ada yang cocok.” Emily melakukan kebiasaannya memutar bola mata begitu mendengar jawaban Gilbert. Alasan klasik. “Apa sih tipemu? Coba sebutkan. Barangkali aku bisa mencarikan,” tanya Emily sambil setengah bercanda di kalimat terakhir. Gilbert mengedikkan bahu. Memilih untuk diam sebelum menjawab. “Yah, entahlah. Mungkin yang pendiam, sedikit galak, dan kaku.” “Tipe macam apa itu, seleramu benar-benar aneh,” komentar Emily. Gilbert menatap lurus ke arah Emily. Emily sedikit gugup dan bertanya-tanya apa yang bocah itu lakukan sekarang. Gilbert terus fokus ke arahnya. Wajahnya dibuat sangat datar dan tak lepas dari Emily. Deg. Emily merasakan getaran aneh. Mendadak wajahnya memanas. Ada yang salah. Jantungnya melompat-lompat tak karuan. Ada apa dengannya? Gilbert tak tahan berlama-lama. Ia kemudian menyeringai puas. “Terdengar aneh, tapi itu belum keseluruhannya. Tipeku mungkin gadis pendiam, galak dan kaku. Namun, begitu berhasil membuatnya salah tingkah dan memerah menahan malu hal itu sangat menggemaskan. Sangat lucu melihat ekspresi kesal seperti itu.” “Contohnya, seperti kakak sekarang ini.” “Wah, barangkali kakak tipeku?” tambah Gilbert tersenyum menggoda. Ini yang ditakutkan Emily. Ketika senyum bisa membuat pikirannya kosong seketika. Ia tak suka tanda-tanda yang terjadi. Tidak, ia tak boleh kelepasan dan membiarkan perasaan aneh mengubah dirinya. [Tapi kau suka, kan?] Bodoh! Hatinya mengkhianati otaknya. Emily mematung. Tak tahu harus menanggapi apa. Otaknya masih sibuk bertempur dengan gejolak kecil di hati. Menyiapkan amunisi dan membunuh target yang merangkak dalam hatinya. Gilbert melihat reaksi Emily. [Apa aku terlalu berlebihan? Tapi, Kak Emily memang menggemaskan.] Gilbert hendak mengusili Emiky lagi namun tiba-tiba bel berbunyi. Tanda istirahat telah berakhir. Gilbert mengurungkan niatnya dan berdehem. “Ah, aku ingin membahas soal Mikha, kami sudah memutuskan untuk mendiskusikan ini. Nanti aku mampir ke rumah kakak ya?” Yang ditanya masih diam seribu bahasa. Gilbert menjetikkan jari tepat di hadapan Emily. “Y-Ya apa? O-oh i-itu? Ah ya, terserah saja.” Emily tergagap-gagap. Gilbert tergelak. Tawanya pun meledak. “Ahahhahaha, ada apa, Kak? Kakak benar-benar lucu, hahaha!!” “Gilbert!!” Emily berteriak menahan malu. Ia hendak memukul bocah kurang ajar sok kegantengan itu, tapi orangnya malah kabur. Langsung lari meninggalkan dirinya sendirian. “Dah, Kak! Sampai ketemu nanti!!” Gilbert berlari sambil masih tertawa kencang. Emily merutuki kepergiannya dalam hati. Oh, perlukah ia pergi ke dukun dan menyumpahi dirinya sendiri supaya cepat dapat pacar? Emily mulai memikirkan solusi yang tidak waras. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD