Chapt 2. The Beginning of a Twisty Journey

2404 Words
..**..             Setelah selesai menyiapkan semua bahan-bahan jualannya, Kencana bergegas mandi. Hari ini dia tidak ke kampus lagi, sebab segala urusan kampusnya telah selesai. Dia hanya menunggu jadwal pengumuman untuk ujian skripsinya saja.             Saat dia berjualan siomay tanpa ada jadwal kampus di hari itu juga, Kencana akan memakai pakaian biasa. Seperti saat ini, dia hanya mengenakan kemeja polos berwarna biru dongker dan celana jeans ketat berwarna hitam.             Rambutnya akan digulung ke atas. Penampilannya akan terlihat seperti laki-laki karena dia tidak pernah lupa untuk memakai topi sebagai ciri khasnya diluar kampus.             Riasan di wajahnya hanya sekedar saja. Yang paling penting baginya, wajahnya tidak terpapar langsung oleh sinar matahari. …             Selesai dari ritual berdandan, Kencana kembali ke dapur. Dia melirik gerobak becak siomaynya sudah tersusun rapi.             Yah, seperti biasa sang Bibi akan membantunya membereskan siomay yang akan dia jual keliling kota. Tidak hanya dia, sang Paman juga akan berjualan siomay hari ini. Namun berbeda lapak dengannya. Kencana akan berkeliling di daerah kota, dan sang Paman akan berkeliling desa dan mencari lapak yang pas untuk berjualan di tempat.             Kencana melihat Mbahnya, Sri hendak mengangkat beberapa mangkuk kaca. Dia langsung menghampirinya. “Mbah … biar Ranu saja yang angkat ini.” Ucapnya mengambil alih mangkuk kaca itu dan segera membawanya keluar, untuk disusun di gerobak becak siomay miliknya.             Nilam melihat Kencana sudah rapi dengan pakaiannya seperti biasa. Kedua bibirnya tersenyum tipis. “Apa hari ini kamu gak ke kampus ?” tanya Nilam seraya menginterogasi keponakannya itu.             Kencana yang tengah menyusun mangkuk di bawah gerobaknya, dia melirik sekilas ke arah sang Bibi. “Tidak, Bi. Aku sudah selesai. Tinggal nunggu jadwal sidang aja.” Jawabnya dengan nada lembut dan sedikit pelan. Deg!             Nilam sempat terdiam selama beberapa detik. Entah kenapa jantungnya sedikit nyeri jika mendengar nada bicara Kencana. Sebab nada bicaranya sama persis seperti nada bicara almarhum Kakaknya. Seketika rindu itu kembali mengingatkan dirinya akan sosok Kakak cantik yang selalu membantu perekonomian keluarganya sebelum kecelakaan maut itu merenggut nyawa mereka.             Dia berbalik badan dan masuk kembali ke dalam rumah. “Kalau sudah selesai semua. Jangan lupa bawa ponselmu! Kalau ada bahan-bahan yang tertinggal, kau bisa hubungi kami!” ucap Nilam dengan nada bicara meninggi seperti biasanya.             Yah, Nilam tidak bisa berkata halus. Sebab itu memang kebiasaannya sejak dulu.             Dan terhadap Kencana, dia memang tidak pernah bermain fisik. Dia tidak tahu apakah dirinya iri atau tidak. Tapi dia mengakui jika Kencana memang memiliki paras cantik dan tinggi tubuh yang menurutnya sangat sempurna.             Dia juga cerdas dan memiliki kemampuan bahasa dan berbicara yang baik. Selama berkuliah, dia dan suaminya juga tidak pernah menambah biaya kuliah kecuali memberikan uang saku setiap hari untuk Kencana.             Beberapa point itu mungkin membuat Nilam sedikit iri bercampur kagum. Sebab kedua putrinya tidak secantik Kencana. Bahkan pendidikannya juga hanya sebatas Sekolah Menengah Atas saja.             Bukan dirinya tidak mau membiayai pendidikan lanjutan kedua putrinya. Tetapi karena kedua putrinya yang tidak menginginkan itu. Itu sebabnya dia tidak mau memaksa jika tidak ada niat di hati mereka. Sebab dia takut mengeluarkan uang dengan sia-sia.             Kencana melirik ke arah sang Bibi yang sudah masuk ke dalam rumah. “Iya.” Jawabnya singkat.             Ikhlas, Kencana tidak pernah melontarkan kalimat keluhan dari bibirnya. Dia hanya mengatakannya di dalam hati. Meski rasanya dia sangat lelah dan ingin rasanya istirahat satu hari saja.             Tapi dia sadar, bahwa perkuliahannya belum selesai. Itu artinya dia masih harus memikirkan biaya kuliahnya. Setidaknya biaya untuk wisudanya nanti.             Hal itu yang membuat Kencana semangat dan tidak mudah putus asa. Sebab dia harus menabung sedikit demi sedikit dan membantu Paman serta Bibinya untuk mencari nafkah. ‘Semangat Ranu! Kau tidak boleh lelah! Ingat! Sebentar lagi kau akan ujian skripsi!’ Bathinnya seraya menyemangati dirinya sendiri. …             Setelah selesai membereskan dagangan siomaynya, Kencana pamit pergi berjualan. Tidak hanya dirinya, tetapi sang Paman, Seto juga ikut pergi berjualan siomay.             Kencana tidak malu berjualan siomay bermodalkan gerobak coklat dengan sepeda motor sederhananya. Sebab bagi Kencana, tidak ada kesuksesan jika tidak dimulai dari nol. ***             Sejak pagi dia terus berkeliling kota, menghampiri tempat-tempat yang biasa dia jadikan sebagai tempat berjualannya. Selama hampir 2 tahun dia berjualan siomay, tentu saja dia sudah memiliki beberapa pelanggann meski tidak terlalu banyak.             Saat ini dia tengah berhenti tepat di persimpangan jalan yang tidak terlalu ramai. Sebab ada pembeli yang harus dia layani. Itu sebabnya, mau tidak mau dia harus berhenti di persimpangan ini.             Kencana selalu ramah terhadap para pelanggannya. Senyuman manisnya memang selalu menjadi tujuan utama pelanggann laki-laki untuk selalu membeli siomaynya. “Kamu apa tidak lelah jualan seharian ?” “Tapi ini siomaynya sudah mau habis kan ?” tanya seorang laki-laki padanya.             Beberapa pelanggann tengah menikmati siomaynya. Sedangkan dia tengah membereskan meja kecil di gerobaknya. “Iya nih, Mas. Sudah mau habis. Yah, kalau namanya jualan … pasti lelah, namanya juga cari duit, Mas.” Jawab Kencana sembari tersenyum tipis, dan membersihkan meja kecil disana.             Begitulah dia. Kencana memang selalu ramah. Tapi dia tidak pernah mau menanggapi berlebihan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya berlebihan.             Selain tidak ingin banyak bicara, Kencana juga membatasi komunikasinya dengan pelanggann pria. Apalagi dirinya juga tidak menyukai pria yang banyak bicara. Meski dia tahu jika pria itu hanya mau akrab dengannya.             Selama beberapa menit dia berbincang sebentar dengan mereka yang menikmati siomaynya, Kencana kembali mencuci beberapa mangkuk yang baru saja dipakai jika pelanggannya sudah pergi dari sana. “Hahh …” Dia menghela panjang nafasnya. Entah kenapa, dia sudah sangat lelah. Dagangannya sudah hampir habis dan hanya tersisa beberapa bahan saja. Pulang adalah jalan terbaik agar dia bisa beristirahat, pikirnya. ‘Lebih baik pulang sekarang saja. Rasanya badan ini benar-benar ingin rebahan …’ Bathinnya bergumam lelah.             Setelah selesai membereskan beberapa mangkuk kotor dan merapikannya di tempat semula, Kencana menyatukan beberapa kursi plastik dan melipat kembali dua meja lipat disana.             Dia kembali menghidupkan kendaraannya sederhananya dan hendak melajukan gerobak becaknya. Namun, belum lagi Kencana melajukannya, tiba-tiba mobil dari arah depan melaju sedikit kencang dan hampir menyenggol ujung gerobaknya. Spontan Kencana langsung menjerit. “Heyyy!!!” Jeritnya sembari melihat ke arah belakang. Dia langsung turun dari sepeda motornya, dan melihat ujung gerobak yang hampir saja tersenggol. “Aduh! Orang kaya memang selalu sesuka hatinya aja ya!!” Teriak Kencana sembari melirik ke arah mobil yang ternyata berhenti di bibir jalan. Seorang pria memakai setelan formal hitam dan putih tampak keluar dari dalam mobil. Wajah Kencana berubah datar. Dia membuang wajahnya dan tidak mau lagi melihat pria yang kini mendekatinya. “Maafkan saya, Nona. Apa ada yang rusak ?” tanya pria itu ramah sembari memperhatikan gerobak Kencana.             Kencana masih saja diam dan terus melihat setiap sudut gerobaknya. Tidak ada yang lecet ataupun tergores.             Mungkin hampir saja tertabrak dan belum mengenai gerobaknya, pikir Kencana. Dia menegakkan tubuhnya kembali dan melihat pria di hadapannya. ‘Bajunya rapi. Kayaknya dia pekerja kantoran.’ Bathin Kencana bergumam sendiri.             Dia menghela panjang nafasnya dan sedikit melirik ke arah depan, tepat dimana mobil mewah itu terparkir pada bibir jalan. “Tidak ada yang rusak, Pak. Lain kali hati-hati ya, Pak.” Ucap Kencana sembari mengalihkan wajahnya ke arah gerobaknya.             Meski dalam hatinya menggerutu kesal, dia tidak mungkin mengatakannya. ‘Semua orang kaya selalu merasa kalau jalan umum adalah miliknya!’ Bathinya sebal.             Pria itu masih memandang Kencana dengan ekspresi bingung. Dia bingung harus berbuat apa sebab gerobaknya itu tidak tergores sedikit pun.             Dia melangkahkan kakinya menuju mobil, dan mengetuk kaca pintu mobil dengan tubuh sedikit membungkuk. Tokk… Tokk… Tokk…             Kaca pintu mobil itu bergeser ke bawah. Seorang pria di dalam sana membuka suaranya. “Apa ada masalah ?” tanya pria itu dengan mata masih terfokus pada Ipad yang saat ini tengah  dia pegang.             Pria itu menggeleng pelan. “Tidak ada, Tuan. Gerobaknya tidak rusak. Mobil kita tidak menyentuhnya.” Jawabnya dengan nada seperti belum selesai untuk berbicara.             Pria yang ada di dalam mobil itu meliriknya dengan kening berkerut. “Lalu kenapa kau masih diluar ?” Dia melirik ke depan, melihat supir yang ikut turun dari mobil. “Ada apa ?” tanyanya lagi.             Pria itu menghela panjang nafasnya. “Apa kita beri dia uang sebagai tanda maaf karena telah mengejutkannya, Tuan ?” tanyanya sembari melirik ke arah wanita yang hendak melajukan gerobaknya.             Pria itu menelaah pertanyaan sekretaris pribadinya baik-baik. Tapi mengingat waktu dan hari sudah sore, sebaiknya dia memang harus bergegas. “Dia berjualan ?” tanya pria itu dan direspon anggukan kepala oleh sekretaris pribadinya. “Benar, Tuan. Ada tulisan siomay di gerobaknya.” Jawabnya.             Supir pribadinya tampak berjalan ke arah Kencana, sebab dia merasa tidak enak hati.             Pria yang duduk di dalam mobil, dia sedikit melirik ke arah belakang. “Hahh … ya sudah, beli semua dagangan pria itu. Dan suruh dia bergerak cepat. Karena aku tidak mau sampai mereka menghubungiku lagi.” Ucapnya dan kembali membenarkan posisi duduknya.             Sekretaris pribadinya tampak mengangguk paham. “Baik, Tuan. Tapi, dia wanita bukan pria.” Ucapnya tersenyum tipis, lalu kembali menghampiri gerobak Kencana.             Pria yang ada di dalam mobil itu mengernyitkan keningnya. “Wanita ?”             Dia kembali menoleh ke belakang, dan memperhatikan baik-baik gestur tubuh penjual siomay itu. Setelah memperhatikannya selama beberapa menit, dia mengangguk pelan. “Ternyata ada gunungnya … tapi penampilannya seperti pria. Aneh sekali.” Gumamnya pelan dan kembali menatap layar Ipadnya. “Atau jangan-jangan dia waria.” Gumamnya lagi sambil tertawa geli. … “Nona, tunggu!”             Kencana menoleh ke arah belakang. Dia melihat dua pria itu masih berada di sekitar gerobaknya. “Maaf, ada apa ya ?” tanya Kencana kembali turun dari sepeda motornya.             Pria itu menghela panjang nafasnya dan melihat isi gerobak miliknya. Sikapnya membuat Kencana mengernyitkan kening. ‘Ada apa sih dengan mereka ?’ ‘Aneh sekali!’ Bathinnya.             Pria itu tersenyum. “Nona, maaf sebelumnya … apa dagangan Anda masih ada ?” tanyanya dengan sopan.             Kencana terdiam dan melirik mereka berdua bergantian.             Melihat Kencana yang diam, dia kembali membuka suaranya. “Kami mau membeli dagangan Anda, Nona. Apa masih ada ?” tanyanya kembali melontarkan pertanyaan yang sama.             Kencana masih diam. Apa mereka membeli siomaynya hanya sebagai bentuk rasa kasihan, pikirnya. “Maaf, Pak. Dagangan saya memang masih ada. Tapi jika kalian membelinya hanya karena kasihan sama saya, lebih baik tidak perlu. Gerobak saya baik-baik saja. Saya permisi.” Ucapnya hendak berbalik badan, tapi pria itu kembali membuatnya menghentikan langkah kaki. “Nona, bukan begitu.” Dia kembali membujuk wanita yang belum dia ketahui namanya.             Dia tersenyum dan melanjutkan kalimatnya barusan. “Kami akan pergi ke suatu tempat, tapi belum sempat membeli makanan apapun. Jadi saya pikir, makanan ini pasti khas Indonesia …” “Jadi, mungkin ini makanan yang cocok untuk kami bawa.” Jelasnya lugas dan meyakinkan.             Supir pribadi yang juga berdiri disana. Dia ikut menganggukkan kepalanya.             Kencana sempat terdiam beberapa detik. ‘Hahh … ya sudahlah. Apapun alasan dia, lumayan juga kalau siomay hari ini habis.’ Bathinnya bergumam sembari menaiki sepeda motornya dan hendak menyiapkan jualannya. “Mau beli berapa, Pak ?” tanya Kencana sembari mencuci kedua tangannya sebelum memulai pekerjaannya.             Pria yang mengajaknya bicara sejak tadi, dia sedikit melirik ke arah gerobak Kencana. “Apa bisa beli banyak, Nona ?” tanyanya sopan.             Kencana melihat bahan-bahan yang tersisa. “Sisa 7 porsi lagi, Pak.” Dia melirik pria itu. “Baiklah, Nona. Saya beli 7 porsi.” Sahutnya cepat.             Wanita yang masih memakai topi di kepalanya, dia langsung menyiapkan beberapa mangkuk berbahan styrofoam. “Harga 1 siomay, 10 ribu ya, Pak.” Ujar Kencana seraya memberitahu. “Iya, Nona.” Jawab pria itu cepat.             Pria itu tersenyum mendengar pernyataannya. Bagaimana dia tidak merasa geli. Sebab berapa pun harga siomaynya, pasti akan dia bayar. …             Kencana menyajikan semua siomay dengan cepat dan bersih. Dua pria itu bahkan saling melirik satu sama lain. Sebab mereka sedikit terkejut melihat kelincahan Kencana dalam berjualan.             Yah, Kencana tidak suka hal berbau kotor. Itu sebabnya dia selalu menjaga kebersihan gerobak dan meja masaknya saat melayani pelanggannya.             Setelah selesai melayani mereka, Kencana kembali membersihkan meja masak di gerobaknya. Dia melihat mobil itu masih berhenti disana.             Dia merasa sudah saatnya dia kembali ke rumah. Hatinya sangat senang sekali sebab dagangannya hari ini habis tak bersisa.             Matanya melirik ke arah mobil mewah itu. “Kenapa mereka belum berangkat juga ?” Gumam Kencana mulai merasa curiga.             Dia merapatkan topi di kepalanya dan langsung bergegas melajukan kendaraannya. Tanpa aba-aba, dia melewati mobil mewah itu. …             Supirnya langsung melajukan mobil dan melewati gerobak siomay yang baru saja mereka beli. Tinn… Tinn…             Suara klakson berbunyi, memberi isyarat terima kasih dari mereka.             Pria yang ada di dalam mobil melirik sekilas ke arah wanita bertopi itu. Dia menghela panjang nafasnya dan melirik ke arah depan. “Kita singgah ke masjid sebentar. Dan bagikan makanan itu untuk orang-orang yang ada di masjid.” Ucapnya seraya memberi perintah.             Sekretaris pribadinya menganggukkan kepala. “Baik, Tuan.” Jawabnya dan melirik ke arah supir yang juga mengangguk paham.             Tapi, entah kenapa dia merasa jika makanan itu sangat lezat. “Tapi, Tuan. Sepertinya makanan siomay itu sangat lezat sekali. Apa tidak sebaiknya kita bawa pulang saja ?” tanyanya berbahasa Inggris. Yah, pria itu berbicara sesuai dengan kondisi. Tapi jika berbicara dengan Bossnya, tentu saja dia akan berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris.             Pria yang tengah fokus pada Ipadnya, dia kembali membuka suara. “Kita tidak tahu bagaimana cara dia membuat siomay itu. Dan belum tentu dia mengutamakan kebersihan saat memasak.” Jawabnya bernada dingin.             Mereka berdua saling melirik satu sama lain mendengar kalimat dari pria yang merupakan pria paling jahil dalam keluarganya. “Baiklah, Tuan.” Jawab pria itu singkat.             Tidak lama mereka kembali melakukan perjalanan, ponselnya kembali berdering. Dddrrrttt…             Dia melirik ke arah ponselnya yang dibiarkan tergeletak di sisi kirinya. dr. Zhain is calling…             Dia langsung mengambil ponselnya, dan menggeser warna hijau disana. “Hallo … Assalamu’alaikum, Eyang ? Aku masih di jalan …” “Wa’alaikumsalam … Ini Eyang, Sayang. Kenapa lama sekali ? Kau baik-baik saja kan ?”             Dia tersenyum tipis. “Tentu saja aku baik-baik saja, Eyang Sayang. Sebentar lagi aku sampai …” “Ya sudah. kami tunggu di rumah ya …” “Oke, Eyang Sayang …” “Assalamu’alaikum …” “Wa’alaikumsalam, Eyang. I love you, emuuaahh …” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia meletakkan kembali ponselnya disana. “Lebih cepat lagi.” Ucapnya seraya memberi isyarat pada supir pribadinya. “Baik, Tuan Gamal.” Jawab supir itu semakin mempercepat laju mobilnya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD