Prologue

2015 Words
Wanita itu tersenyum miris dengan air mata yang membasahi wajahnya. Hari ini adalah hari bahagianya, seharusnya, dia menatap pantulan dirinya di cermin, memuji kecantikannya sendiri dalam balutan gaun pernikahan impiannya. Namun hari ini justru sangat menyakitkan untuknya, hatinya tidak merasakan kelegaan walau akhirnya menikah dengan pria yang dicintainya.   “Aku tidak akan menyerahkan hidupku untuk pria sepertimu, Grisham. Anggap saja ini adalah pembalasanku atas semua rasa sakit hatiku yang aku tahan selama tiga tahun kita menjalin hubungan. Selamat tinggal. Tentu ini akan menjadi penghinaan terbesar untukmu, namun akan menjadi kebahagiaan untukku. Mari jangan saling bertemu lagi setelah ini.” Gumamnya, lalu menarik lepas crown di kepalanya, merobek kasar baju pengantinnya hingga sebatas lutut. Menarik mantel hitam di atas kursi –yang entah milik siapa- lalu, tanpa alas kaki, wanita itu pergi diam-diam dari rumahnya. Dengan senyum sinisnya meninggalkan rumahnya tanpa kata, bahkan keluarganya sekali pun.   Julliete Ainsley sekali lagi menatap ke belakang di mana rumahnya berada sesaaat setelah menaiki taksi yang akan mengantarkannya ke bandara. Dia mengggam sebuah tiket ke London, menjauh dari Amerika untuk melupakan pria b******k yang sialnya ia cintai dan mereka akan menikah, namun dia memilih membatalkannya hari ini.   Dia melepaskan mobile card di ponselnya, mematahkannya menjadi dua bagian dan melemparkan kembali kartu itu ke dalam tasnya. Lalu melihat lagi wallpaper ponselnya di mana potret dirinya dan Grisham tengah tersenyum ke kamera. Itu diambil tahun lalu, saat mereka kencan dan bermain ice skating.   “Seharusnya aku tau, sejak awal kita memang tidak seharusnya bersama. Aku bukan wanita yang bisa bersabar dan mengalah, Grisham. Berkali-kali aku mencoba menoleransi semuanya, namun nyatanya aku tidak sekuat dan sebaik itu. Kini hatiku dengan jahat akhirnya memilih jalan ini, meninggalkanmu dan membalaskan semua rasa sakit yang kurasakan, tentu kau akan membenciku. Tapi setidaknya itu setimpal dengan semua rasa sakit yang kupendam selama ini.” Jullie tersenyum miris, lalu sekali lagi mengusap wajah Grisham di ponselnya sebelum akhirnya kembali memasukkan ponsel itu ke tasnya dan memilih memejamkan matanya, menekan dadanya yang terus berdetak kencang dengan perasaan yang campur aduk.   ***   Sang mempelai pria terus mendesah gusar di ruangannya saat waktu terus berjalan namun mempelai wanitanya masih belum juga menunjukkan batang hidungnya. Dia melirik lagi arloji di tangan kirinya dengan desahan panjang dan hati yang gelisah. Acara sudah mundur tiga puluh menit namun Julliete masih belum terlihat. Dia berusaha untuk menghubungi wanita itu juga keluarganya, namun semua nomor itu sibuk, bahkan nomor Jullie juga tidak aktif.   “Grisham, bagaimana? Mommy sudah meminta supir untuk menjemput Jullie dan keluarganya. Mommy takut jika sesuatu terjadi pada mereka di jalan, tapi semoga saja semua baik.” Esme menatap khawatir pada Grisham yang sudah terlihat frustasi. Wanita paruh baya itu juga terlihat khawatir, untuk anaknya dan calon menantunya.   Seorang wanita yang sejak tadi terus mendampingi Grisham di ruang tunggu itu langsung mengusap bahu Grisham dan berusaha menenangkannya.   “Tenanglah, Jullie pasti datang, mungkin memang sedang ada kendala dalam perjalanan. Tapi semoga mereka semua baik-baik saja dan segera tiba.” Ucapan Agatha membuat Grisham mendongak dan mengangguk dengan senyum tipis, berterima kasih pada sang sahabat yang selalu ada untuknya.   “Aku takut sesuatu terjadi padanya.” Bisik Grisham membuat Agatha kembali menepuk bahu pria itu.   “Buang pikiran burukmu itu, tidak ada yang berubah untuk hari ini. Tenanglah.” Bisik Agatha lagi, membuat Grisham mengangguk dan kembali menatap ponselnya yang menampilkan wajah penuh tawa Jullie yang selalu bisa menenangkannya. Dia lalu kembali berusaha untuk menghubungi nomor Jullie walau lagi-lagi hanya suara operator yang menjawabnya.   Waktu terus berlalu, bahkan para tamu undangan juga sudah terlihat resah, banyak yang bergunjing ini dan itu dan suasana semakin tidak kondusif. Grisham benar-benar terlihat kacau pun dengan Esme dan Jordan yang ikut khawatir tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Jullie.   Hingga kedatangan orang tua Jullie namun tanpa Jullie di ruang tunggu pemberkatan itu membuat semuanya berdiri. Grisham langsung menghampiri Philip dan Jane yang menatapnya dengan raut sendu dan bersalah.   “Mom, Dad, kenapa kalian datang sendiri? Ke mana, Jullie? Dia baik-baik saja kan?” Tanya Grisham dengan tatapan kalutnya.   “Grisham, kami … kami minta maaf, Jullie … dia … dia pergi dan tidak meninggalkan pesan apapun, kami… kami berusaha mencarinya namun … namun dia sudah pergi entah ke mana.” Tatapan berkaca-kaca Jane dan suara wanita paruh baya itu seketika meruntuhkan dunianya. Membuat Grisham hampir oleng jika saja ayahnya tidak menahannya.   “Bubarkan undangan sekarang!” Ujarnya dengan dingin, membuat Esme sang ibunda menatapnya prihatin dan berusaha meraih putranya, namun Grisham langsung menghindar dan memejamkan matanya. “Tolong tinggalkan aku sekarang! Pernikahan ini tidak akan pernah terjadi dan aku tidak akan menikahi Julliete.” Nada suaranya begitu rendah dan dingin, lalu dia berbalik dengan hati yang hancur, tangannya mengepal kuat dan perasaannya tidak bisa dideskripsikan.   Pelan-pelan semua orang keluar dari sana dengan hati yang sama hancurnya, pun dengan Esme dan Jordan yang tidak pernah menyangka Julliete akan melakukan hal sekeji ini, mempermalukan Grisham dan keluarga Austin. Padahal Esme dan Jordan memiliki hubungan yang baik dengan Jullie, namun bagaimana wanita itu bisa melakukan hal ini, melempar kotoran ke wajah mereka. Esme dan Jordan pun tak kalah kecewa atas tindakan Jullie   Hanya Agatha yang masih bertahan di sana, berjalan mendekat pada Grisham yang kini duduk dengan wajah tertunduk, dia lalu ikut duduk di samping Grisham dan membawa sahabatnya itu ke dalam rangkulannya.   “Aku tau ini sangat berat dan menyakitkan. Menangislah, bukan hal yang memalukan untuk menangis sekarang. Kau terluka dan hancur, jangan lagi menahan emosimu, keluarkan semuanya.” Bisik Agatha membuat Grisham menarik napasnya panjang dan mengepalkan tangannya kuat-kuat dan meninju kursi yang didudukinya. Melepaskan rangkulan Agatha dan membanting vas bunga di depannya.   “Arghhh!” Grisham berteriak sangat keras, lalu menjambak rambutnya frustasi, membuat Agatha langsung membawa pria itu ke dalam pelukannya dan ikut menangis.   “Grisham, jangan seperti ini, aku tau kau hancur, tapi jangan melukai dirimu seperti ini. Kita akan menghadapi ini bersama, aku akan membantumu menyembuhkan semua luka ini. Entah apa alasan Jullie, tapi tidak seharusnya dia melakukan hal keji ini.” Bisik Agatha lalu kembali membawa Grisham duduk, melihat darah di telapak tangan Grisham dan menggenggamnya.   Grisham mendongak dan menatapnya dengan penuh luka. “Kenapa, Tha? Kenapa dia melakukan hal keji seperti ini? Kita saling mencintai dan tidak ada masalah sebelumnya. Bagaimana dia bisa sebrengsek ini melempar kotoran ke wajahku dan menghancurkan hatiku?” Grisham merintih pilu, membuat Agatha kembali membawa pria itu ke dalam pelukannya.   “Apapun alasan Jullie, itu artinya dia tidak layak untukmu, dia tidak benar-benar mencintaimu dan memberikan lelucon bodoh ini untuk kita semua. Kau harus bangkit, Sam. Lupakan wanita yang tidak berharga itu. Kau harus menunjukkan padanya bahwa dia juga bukan apa-apa di hidupku. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia. Jangan kalah oleh perasaanmu pada wanita itu.Dia tidak berharga untuk kau tangisi.”   ***   Sudah satu bulan sejak dirinya tiba di London, tinggal dan berbagi flat dengan teman kuliahnya yang kini menetap di London, dia juga telah memiliki pekerjaan, mengurus visa untuk bisa tinggal di London dengan status sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di sana.   Hidupnya satu bulan ini? Sangat berat dan menyesakkan, tiga tahun yang dia lewati bersama Grisham tidak semudah itu bisa dia lupakan, walau ada luka, namun Grisham memberikan banyak kenangan indah juga. Dia tau kini Grisham pasti membencinya, dia juga telah bertekat untuk melupakan pria itu dari hidupnya. Berusaha memulai hidupnya yang baru dan mencari cinta yang baru di negeri ini.   Pagi ini dia kembali mengalami pening dan mual yang hebat, hingga membuat Lily kembali menghampirinya di kamar mandi dan membantunya memijat tengkuk Jullie dan menatapnya prihatin.   “Tidak ada bantahan, kita ke rumah sakit hari ini. Jika kau tidak mau aku akan memanggil dokter saja.” Lily yang sudah tidak tahan melihat Jullie mengalami gejala yang sama setiap pagi sejak satu minggu yang lalu memutuskan akan melakukan apapun untuk menyeret Jullie ke rumah sakit. “Apa kau memiliki pemikiran yang sama denganku?” Tanya Lily dengan nada rendah, membuat Jullie langsung mendongak dan menatap Lily dari cermin di depannya.   “Apa?” Tanya Jullie dengan hati yang bertalu keras, dia juga memikirkan hal itu akhir-akhir ini.   “Mungkin saja kau hamil.” Bisikan Lily membuat tubuh Jullie menegang, tubuh wanita itu lalu menegang dengan tatapan terkejut.   “Haha, tidak mungkin. Ini hanya maag, aku memang tidak makan teratur karena pekerjaanku banyak akhir-akhir ini.”   “Maka dari itu kita harus memastikannya hari ini. Jangan membantah! Ganti bajumu sekarang.” Lily menatapnya dengan tatapan tidak ingin dibantah, membuat Jullie akhirnya mengangguk, dia juga sedikit penasaran.   Lily sudah melenggang pergi untuk mengganti bajunya, Julliete sekali lagi menatap pantulan dirinya di cermin, lalu tersenyum sinis dan mengusap lagi perutnya.   “Tidak mungkin. Jangan membuatku terus terikat denganya, Tuhan. Aku benar-benar ingin melupakannya dan memulai hidup baru. Kumohon, jangan melakukan ini.” Bisiknya dengan tatapan lelah, dia sudah lelah dengan siksaan batinnya selama dua bulan ini untuk melupakan Grisham, jika memang benar dia hamil. Maka dia akan terikat dengan pria itu seumur hidup, sekali pun dia berusaha untuk melupakannya dan move on.   Beruntung hari ini adalah minggu, sehingga membuat Lily dan Julliete lebih leluasa bepergian. Keduanya tiba di rumah sakit dan mendapat antrian pertama.   Jantung Jullie berdetak keras begitu memasuki ruang pemeriksaan, Lily ada di sana dan terus menemaninya, berusaha memberi tahu Jullie jika wanita itu tidak sendirian.   “Baik, kita periksa dulu ya, ada keluhan sebelumnya?” Tanya dokter wanita itu ramah, Jullie hanya terdiam kaku, kata-katanya seolah hilang begitu saja.   “Iya, Dok. Gejalanya persis seperti orang hamil, sudah berlangsung selama seminggu ini. Mual hebat di pagi hari, pening, napsu makan bertambah, bahkan dia bisa makan malam dua kali.” Justru Lily yang terlihat bersemangat, membuat dokter itu tersenyum dan meminta Jullie berbaring di ranjang pemeriksaan.   “Anda bisa melihat ini? Anda akan menjadi seorang ibu, selamat.” Ucapan dokter itu menatap pada Jullie dan layar monitor secara bergantian. Sedangkan Julliete sekali lagi kehilangan kata-katanya, jantungnya berdegup kencang, perasaannya tidak bisa dideskripsikan, melihat gumpalan kecil di layar monitor membuat perasaannya bahagia, hingga tanpa sadar dia tersenyum, namun dia juga merasa sesak, kenapa Tuhan justru menggariskan hidupnya seperti ini. Untuk terus selalu bersinggungan dengan seorang Grisham Austin? Menitipkan milik Grisham seumur hidup padanya.   “Anda harus menjaga pola makan anda mulai sekarang, saya akan meresepkan obat mual dan beberapa vitamin.” Dokter lalu beranjak menuju mejanya kembali, Lily membantu Jullie untuk turun.   “Berapa usia kandungannya, Dok?” Tanya Jullie membuat dokter itu tersenyum.   “Usianya delapan minggu. Selamat sekali lagi.” Ucapan dokter itu membuat Jullie hanya bisa mengangguk dengan senyum kaku.   ***   “Kau tidak bahagia dengan kehadirannya?” Tanya Lily saat mereka dalam perjalanan pulang, Jullie menatapnya sekilas lalu kembali mengusap perutnya yang masih datar.   “Aku … aku tidak tau … kehadirannya terlalu mengejutkan dan … dan tidak pernah kuharapkan.” Lirih Jullie meneteskan air matanya. “Tapi … tapi hatiku menghangat saat melihatnya, dia … dia bagian dari diriku.” Jullie tidak lagi bisa menahan tangisnya, membuat Lily langsung menepikan mobilnya lalu membawa Jullie ke dalam pelukannya. Sedikit banyak dia sudah mendengar cerita tentang Jullie dan mantan calon suaminya dan memahami kondisi wanita itu. Lalu dia melepaskan pelukannya dan menatap dalam mata Jullie.   “Apapun dan bagaimanapun kau berusaha menghapus Grisham dalam hidupmu. Kau boleh melakukannya, tapi tidak dengan dia, Jullie. Dia adalah kado terindah yang akan menyempurnakan hidupmu. Kehadirannya adalah hadiah dari Tuhan untukmu, dia yang akan membuatmu bahagia dan memiliki tujuan hidup, iya, kan?” Lily menatapnya dengan tatapan tulus, membuat Jullie pelan-pelan mengangguk dengan senyum tipis dan kembali memeluk Lily.   “Aku … aku tidak tau rencana Tuhan untuk hidupku, tapi … tapi yang aku tau, setelah melihatnya ada di dalam diriku, aku … aku menginginkannya menyempurnakan hidupku.” Bisik Jullie dengan rasa haru dan bahagia yang tidak bisa ia deskripsikan.   “Bagus, itu baru Jullie-ku. Kita akan merawatnya bersama, jangan pernah takut untuk menghadapi semua ini, kau memilikiku untuk bergantung. Okay?” Lily menatapnya dengan mata berkaca-kaca namun bibirnya tersenyum, membuat Jullie ikut menangis dan mengangguk.   “Terima kasih, Lily. Terima kasih, mungkin aku akan hilang arah jika tidak ada dirimu.” Jullie menggenggam erat tangan Lily dengan perasaan yang lebih lega sekarang. 

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD