Edward yang duduk di sebelah Ansel menatap takut ketika Violet masuk ke dalam kelas. Raut wajah gadis itu terlihat garang. Ia jadi penasaran apa yang terjadi di luar kelas barusan. Pandangan mata Edward bergeser ke meja Ansel. Matanya tidak lepas dari tas bekal berwarna merah muda di meja Ansel.
“Kau tidak akan memakannya bukan, Ansel?” tanya Edward.
Tanpa menjawab, Ansel menyingkirkan barang tersebut ke samping tepat di depan Edward.
Edward senang bukan main saat ia menyentuh tempat yang masih hangat itu. Gadis itu memang tidak berbohong, makanannya masih terasa hangat dari luar tas makanan. Edward tidak sabar menunggu jam istirahat pertama dan menghabiskan bekal Ansel.
“Terima kasih, Kak Ansel!” Edward berseru dengan panggilan yang sama seperti diucapkan Poni membuat Ansel menatap Edward dengan pandangan jijik.
“Simpan.” Ansel berkata pendek membuat Edward mengangguk cepat.
“Aku akan menyimpannya di dalam tasku biar tetap hangat.”
Ketika Edward hendak menaruhnya di dalam tas sesuai dengan perkataannya sendiri, tiba-tiba saja tangan Ansel menahannya.
Edward menatap Ansel dengan pandangan bertanya. “Jangan bilang kau mau juga...”
Sementara itu, Ansel terlihat sedang menatap cukup lama tas bekal merah muda tersebut sebelum dengan perlahan menarik tangannya. Dan membiarkan Edward memasukkan ke dalam tasnya dengan cepat. Dia tidak ingin jika Ansel meminta kembali bekal makanan yang sudah menjadi miliknya.
***
Ketika jam istirahat, Ansel dan teman-temannya berkumpul di rooftop sekolah. Jika mereka tidak bermain basket, mereka selalu kemari hanya untuk bersantai, tidur sebentar, atau makan bersama. Tempat yang sepi dan tenang walau banyak peralatan sekolah yang tidak lagi terpakai berada di sudut. Mereka menyukai tempat ini.
Daniel menyalakan salah satu rokoknya, begitu pula Gio. Sedangkan Edward yang tidak merokok, duduk menjauh dari teman-temannya dan fokus pada makanan di pangkuannya.
“Aku baru tahu, selain bisa membuat cokelat yang enak, Mikhayla juga bisa memasak makan siang. Serius, ini benar-benar enak!” seru Edward dengan mulut penuh kemudian mengangkat kotak makan siangnya dan menunjukkan isinya kepada yang lain. “Lihat! Mikhayla juga membuat bentuk kelinci untuk nasinya. Ini sangat lucu! Andaikan dia menyukaiku, aku pasti akan lebih senang bisa memakan masakannya.” Edward tertawa keras hingga tersedak makanannya. Ia segera mengambil botol minuman merah muda lalu menghabiskan setengah dari isinya.
Gio dan Daniel hanya terkekeh melihat tingkah konyol Edward.
Menghembuskan asap, Daniel melirik Ansel. “Sepertinya dia serius mendekatimu, Ansel.”
Tampang Ansel terlihat tidak peduli ketika bermain dengan ponselnya. “Lalu?”
“Kau akan membiarkannya? Membiarkan dia terus mengejarmu tanpa harapan?”
Gio menggelengkan kepalanya terkekeh. “Kau lebih berengsek dari pada diriku... Kau tahu?”
“Hei, bicarakan dengan dia baik-baik. Atau setidaknya tolak dia segera sebelum perasaanya semakin berkembang.” Daniel berkata dengan serius. “Biar bagaimanapun dia masih seorang perempuan. Hati dan perasaannya lebih lembut dari milik kita. Jika kau membiarkan dia melakukan ini terus-menerus, dia akan sakit hati.”
“Begitukah?” tanya Ansel kepada Gio.
Gio mengedikkan bahunya. Ia membuang puntung rokok lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana sekolahnya. “Wanita selalu menangis jika sedih atau sakit hati. Mereka akan tertawa dan tersenyum sepanjang hari jika bahagia. Hanya itu yang aku tahu.”
Mendengar penjelasan dari Gio yang berpengalaman hanya membuat Ansel mendenguskan tawa.
“Tapi, apa yang dikatakan Daniel memang benar. Tolak dia segera sebelum semuanya semakin sulit dikendalikan.”
“Kalian yakin aku akan menolaknya?” Ansel mengangkat sebelah alisnya.
“Kau tidak ingin menolaknya?” Gio menyeringai ketika tertawa. “Lalu kau ingin bermain dengannya sebelum waktunya tiba?”
Bukannya menjawab, Ansel hanya menatap misterius mereka bergantian dalam diam. Daniel dan Gio tahu ekspresi itu, jadi mereka tidak bisa berkata lagi. Toh, mereka sudah menyampaikan pikiran mereka.
Dalam diamnya mereka bertiga, suara Edward mengganggu mereka, “Aku akan menikahi Mikhayla setelah dia lulus sekolah. Hahaha!”
Selesai tertawa mendadak Edward terdiam. Ia bisa merasakan tatapan aneh kepadanya. Ketika dia melirik di mana para temannya berkumpul yang menatapnya dengan datar, membuat dia tersenyum seperti orang aneh.
“Masakan Mikhayla sangat lezat. Kalian mau coba?”
***
“Mikhayla?”
Poni menoleh ke belakang dan melihat Alex sedang berjalan ke arahnya. “Oh Alex.”
“Apa yang kau lakukan di sini? Sopirmu tidak menjemputmu?” tanya Alex.
Saat ini mereka sedang berada di area parkir sekolah. Karena Alex selalu memarkirkan motornya di area parkir makanya dia tahu siapa-siapa saja yang membawa kendaraan ke sekolah. Namun ia baru tahu jika Poni juga membawa kendaraan hari ini.
Poni menggeleng. “Aku sedang menunggu Kak Ansel.”
Suasana mendadak canggung ketika mendengar jawaban Poni.
”Oh begitu...” Alex menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia mendongak dan pandangannya jatuh ke kepala Poni. Ia bergerak mendekat dan mengambil daun kering yang tersangkut di rambut Poni. Ketika Poni mencoba menghindar, ia berbisik pelan, “Jangan bergerak.”
Refleks Poni tidak bergerak dengan tubuh tegang.
Halus dan harum. Itu yang Alex rasakan ketika menyentuh rambut Poni. Ia bahkan berlama-lama di sana hanya untuk memilin rambut Poni. Ketika Alex menunduk, ia melihat Poni menutup matanya dengan sedikit kerutan di dahinya. Terlihat tidak nyaman. Sontak Alex segera mundur dan memperlihatkan hasil tangkapannya tadi.
“Ada ... daun di atas kepalamu, Mikhayla.” Alex bergumam gugup.
Poni mengerjapkan matanya. Ia sama gugupnya dengan Alex. “.... Oh. Terima kasih.”
“Sudah selesai?”
Tiba-tiba saja sebuah suara menginterupsi mereka. Baik Poni maupun Alex segera menoleh ke sumber suara. Di sana, Ansel sudah berdiri di depan mereka dengan wajah sedikit kesal. Seolah mereka baru saja mengganggunya.
Melihat Ansel, Poni seketika tersenyum lebar. “Kak Ansel! Kak Ansel sudah dari tadi di sini? Poni tidak mendengar kedatangan Kak Ansel.” Poni maju selangkah mendekati Ansel.
“Minggir.”
“Oh oke.” Poni mengangguk. Ia menatap Alex yang masih di sana lalu berkata, “Sampai jumpa besok, Lex! Bye...”
Ketika Poni mengitari mobil dan membuka pintu mobil Ansel, Ansel menatap gadis itu dengan wajah datar. “Apa yang sedang kau lakukan?”
Dengan raut wajah polosnya Poni menjawab, “Mau duduk di mobil. Kak Ansel sudah mau pulang, 'kan?”
“Apa kaitannya dengan kau duduk di mobilku dan aku ingin pulang?”
“Yah, Poni pulang sama Kak Ansel.”
“Sopirmu tidak menjemputmu lagi?” Ansel sedikit mengernyitkan dahinya.
“Pak Jal sedang cuti jadi Poni tidak ada yang mengantar jemput sampai beberapa hari ke depan.” Poni menggigit bibir bawahnya saat berbohong. Sebelum Ansel bisa menanggapi kebohongannya, ia segera menyela, “Lagi pula kita tinggal di satu atap! Jadi, kita bisa pulang bersama. Iya, kan Kak Ansel?”