Setelah berhasil menemukan tampat kosan yang cocok untuk dirinya, Kara memutuskan untuk cepat-cepat pindah keesokan harinya. Tadinya, Aldan berniat datang untuk membantu Kara. Namun karena Kara merasa tak enak telah banyak merepotkan cowok itu, ia pun memutuskan untuk mengurus pindahannya sendiri tanpa dibantu oleh Aldan. Alhasil, Kara pun sedang sibuk berkutat dengan koper-koper dan backpack besarnya di Minggu pagi ini.
"Ini koper isinya baju atau gajah sih?" gerutu Kara. Cewek itu menarik kopernya keluar kamar dengan susah payah. Punggungnya terasa hampir patah gara-gara menarik dua koper besar dan menggendong satu backpack penuh berisi buku-buku.
Bersamaan dengan itu, sebuah pintu di belakang Kara berderit terbuka. Menampilkan sosok cowok dengan tampang kusut dan rambut berantakan sedang menguap lebar. Melihat Kara dengan koper-kopernya, mata Redy sukses membelalak besar.
"Dora, lo mau ngapain?" tanyanya sambil berjalan mendekat lalu menatap Kara dan kopernya bergantian.
"Pindah," jawab Kara jutek. Cewek itu memalingkan wajah sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Hah?" Redy menganga dan menatap Kara tak percaya. Cowok itu langsung panik sendiri begitu mendengar jawaban dari Kara. Duh, mampus! Kalau Si Dora pindah, siapa yang bakalan masak sama beres-beres rumah, batin Redy.
Masalahnya, saat ini Redy cuma bisa mengandalkan Kara dalam urusan rumah. Mengingat Kara adalah seorang cewek, ia pasti bisa, bukan, sedikitnya menggantikan posisi Si Bibi dalam hal memasak? Kalau urusan beres-beres rumah sih, bisa dijadikan nomor dua. Redy yakin kalau ia masih bisa bertahan hidup walaupun rumahnya sudah mirip kapal pecah.
"Mulai sekarang, lo enggak bakalan terganggu lagi dengan adanya gue disini, oke?" Kara mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan tertawa bahagia. Cewek itu seneng banget begitu tahu kalau dalam beberapa langkah ke depan ia bisa keluar dari kandang kebo yang sensian macem Redy.
"Kok gitu? Siapa bilang lo ngeganggu?" Redy semakin panik. Tanpa sadar, cowok itu menarik koper Kara menjauh dari si empunya koper tersebut.
Kara memutar bola matanya. "Waktu itu lo bilang. Masa lupa sih?"
Tepat sedetik setelah ucapan Kara barusan, perkataan Redy kemarin malam kepada Kara mendadak melintas di benak cowok itu lambat-lambat.
Dasar ngeganggu...
Redy berdecak. Kenapa gue malah ngomong gituan sih?! umpatnya. Redy juga merutuki ingatan Kara yang kelewat bagus dibanding ingatan dirinya.
"Enggak, ah. Gue enggak pernah bilang." Redy pura-pura memasang tampang polosnya. "Emang kapan gue bilangnya?"
"Kemarin malem," sahut Kara cuek. Cewek itu mengeluarkan dompet dari dalam backpack lalu mengambil beberapa lembar uang di dalamnya. "Ini buat makanan kem--"
"Gue nggak butuh itu. Gue butuh lo," potong Redy cepat. Cowok itu menatap Kara penuh harap. "Jangan pindah, ya?"
"Ke--kenapa?" Kara sedikit gelagapan sewaktu mendengar ucapan Redy barusan. Cewek itu dengan kikuk memasukan kembali uang-uangnya ke dalam dompet.
"Bibi lagi pulang kampung kemarin. Gue enggak tau sampai kapan dia disana. Lo jangan pindah, ya?" bujuk cowok itu sekali lagi.
Kara mendengus keras. Ternyata, niat Redy mencegah Kara pergi adalah karena cowok itu takut sendirian, bukannya karena benar-benar butuh Kara. Ck! Kara jadi keki sendiri karena sempat berpikiran yang enggak-enggak sewaktu Redy bilang bahwa cowok itu membutuhkannya.
"Enggak. Gue tetep pindah," tandas Kara final. Ia menarik kopernya dari tangan Redy namun cowok itu menahannya.
"Yah, Kara jahat banget." Redy memasang muka sedihnya. Kara sempat tertegun selama beberapa detik. Baru kali ini Redy memanggil Kara bukan dengan sebutan Dora. "Lo tega ninggalin gue?" sambung cowok itu kemudian.
"Tega lah!" sahut Kara galak. "Minggir, minggir! Gue mau pergi!"
"Kar, entar kita nonton film horror lagi! Gue janji nggak bakalan bikin lo jantungan deh," seru Redy sembari berjalan cepat ke ambang pintu dan mengangkat kakinya, mencoba menahan Kara.
"Minggir!"
"Gue juga bakalan beli banyak makanan. Lo mau apa? Makanan favorit lo apa?"
"Gue bilang minggir!"
"Entar biar lo duluan deh yang mandi setiap pagi!"
"Ming--"
"Gue anterin lo ke sekolah!"
"Mi--"
"Lo cantik deh!"
"MINGGIR!"
Redy kontan menurunkan kakinya dari kusen pintu lalu menutup kuping. "Kara, bisa dikecilin volume suaranya, enggak?" ujar Redy lembut. Cowok itu sebisa mungkin bersikap manis pada Kara karena keadaannya yang kepepet.
"Enggak!" Kara melotot dan menjawab ketus. Cewek itu sempat menendang tulang kering kaki Redy sebelum akhirnya melangkah keluar rumah.
"Anjrit, sialan." Redy mengumpat pelan, sengaja supaya Kara tak bisa mendengarnya. Cowok itu mengaduh kesakitan dan melompat-lompat sambil terus memegangi kakinya. "Kar, barang lo ada yang ketinggalan tuh," pancing Redy kemudian. Sambil berjalan pincang, cowok itu menghampiri Kara yang tengah terduduk di lantai, sedang mengikat tali sepatunya.
"Mana?" Kara menghentikan pergerakannya lalu menoleh.
Dalam waktu sepersekian detik, Redy cepat-cepat menarik sebelah sepatu yang ada di kaki Kara ketika cewek itu lengah. Senyum kemenangan langsung tercetak sempurna di bibir Redy. Cowok itu tertawa setan sambil memutar-mutar sepatu Kara dengan jarinya.
"Balikin sepatu gue!" desis Kara tajam.
Redy memasang muka minta di gamparnya dan menggeleng. "Bilang Redy ganteng dulu!"
Kara menganga dan menatap Redy tak percaya. Tadi, cowok itu sempat bilang kalau Kara cantik. Dan sekarang, kebo sensian itu malah minta Kara buat balas bilang Redy ganteng? Apa-apaan, nih?! Darah Kara naik sampai ke ubun-ubun. Idungnya kembang kempis dan wajahnya merah padam.
"Balikin sepatu gue atau kaki lo patah?" Kara memberi pilihan dengan penuh penekanan.
Redy berhenti memainkan sepatu Kara lalu menatap cewek di hadapannya dengan wajah datar. "Jangan pindah," ucapnya serius.
"Jawaban salah!"
Kara langsung menerjang ke arah Redy dengan ganas. Kaget, Redy pun refleks melempar sepatu Kara ke atas genteng.
• • •
"Makasih banyak, Nek!"
Redy menaruh tangga bambu yang tadi dipinjamnya ke tempat semula. Cowok itu baru saja turun dari genteng untuk mengambil sepatu Kara yang tadi sempat dilemparnya tanpa sengaja.
"Iya, Cu, iya! Kalau masih ada perlu, datang ke rumah Nenek lagi, ya! Jangan malu-malu," ucap Nenek itu ramah.
Redy balas tersenyum manis pada Si Nenek yang tengah menatapnya dari balik jendela kamar. "Gampang, Nek. Maaf ya, Redy sering ngerepotin."
Si Nenek yang beberapa bulan belakangan ini telah menjadi tetangga Redy langsung menggeleng. "Nggak, Cu! Kamu enggak pernah ngerepotin Nenek!"
Setelah berbasa-basi sebentar, Redy pun pamit dan pulang ke kontrakannya yang terdapat di samping rumah Si Nenek. Cowok itu memasuki rumah dan mendapati Kara sedang duduk bosan di sofa ruang tamu.
"Nih." Redy menyerahkan sepatu milik Kara tepat di hadapan wajah cewek itu. "Janji enggak pindah 'kan?"
Kara melirik Redy malas lalu mengambil sepatunya kasar. Cewek itu enggak menjawab apa-apa, cuma duduk dengan kedua tangan yang menopang dagu dan wajah tertekuk dalam. Sekarang ini, Kara benar-benar bete berat sama Redy. Kenapa cowok itu selalu bikin jengkel sih?! Contohnya aja tadi. Kara terpaksa harus janji nggak akan pindah kalau mau sepatunya kembali dengan selamat. Alhasil, cewek itu pun enggak jadi meninggalkan kandang si kebo sensian.
Melihat Kara dengan tampang kusutnya, Redy mengembuskan napas kecil lalu duduk di sebelah cewek itu. "Ngambek, ya?"
Kara memalingkan wajahnya tanpa menjawab.
"Lo lihat sendiri 'kan? Kalau lo enggak ada, gue cuma bisa ngobrol bareng nenek-nenek tadi," curhat Redy tiba-tiba. Cowok itu menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit dengan tatapan menerawang. "Kalau lo pergi, rumah ini bakalan sepi lagi kayak dulu."
Perlahan, Kara mulai melirik Redy penuh minat. Walaupun masih tetap diam dan tak bersuara, Redy tahu jelas kalau Kara mulai tertarik pada ucapannya itu.
"Tau gini, mending gue ikut bonyok pindah sekolah," ucap Redy lagi.
Daaan... berhasil! Kali ini, Kara sepenuhnya menoleh dan menatap Redy polos.
"Kenapa?" tanya cewek itu hati-hati.
Redy terdiam cukup lama. "Gue udah enggak punya lagi alasan buat tetap tinggal disini," jawabnya.
"Alasan lo tinggal disini... pasti karena seseorang, ya?" tebak Kara. Cewek itu menatap Redy yang sedang menengadah.
Redy mengangkat bahunya. "Mungkin."
"Siapa? Cewek lo, bukan?" Kara mulai kepo.
Redy tertawa mendengus. "Mantan," ralatnya.
"Oh." Kara bergumam pelan lalu kembali bertanya. "Kenapa kalian putus?"
"Temen deket gue naksir dia," ujar Redy santai. Namun Kara bisa melihat dengan jelas kalau mata cowok itu berkilat-kilat sedih.
"Bukannya kalau kita sayang sama seseorang, kita harus perjuangin mereka, ya? Tapi kenapa lo malah ngelepasin dia gitu aja?"
Redy menoleh dan tersenyum tipis. "Itu yang saat ini lagi ada di pikiran gue. Gue bakalan berusaha buat ngedapetin dia lagi, Kar."
Mau tak mau, Kara pun ikut tersenyum. "Oh ya? Kasian banget ya, itu cewek harus dikejar-kejar lo," candanya.
Redy tertawa. "Dasar Dora."
Entah sejak kapan, atmosfer yang ada di sekitar Kara dan Redy perlahan menghangat. Enggak seperti biasanya, kali ini mereka berdua justru terlihat akur. Pandangan Kara terhadap Redy pun perlahan berubah. Ternyata, Redy itu enggak selalu nyebelin kok. Ada waktu dimana cowok itu bisa bikin jengkel dan ada waktu dimana dia asik diajak ngobrol.
Tapi tetap aja, Redy lebih banyak bikin sebel ketimbang asiknya.
"Sepupunya Aldan, kalau lo butuh bantuan, gue bisa bantu kok!" seru Kara semangat.
Redy mengernyit bingung. "Bantuan apa?"
"Buat ngedeketin cewek yang sial itu," ujar Kara sembari menaik turunkan alisnya menggoda.
"Cewek yang sial?"
"Iya, cewek yang lagi lo kejar itu. Nasibnya sial banget, ya?"
Redy tertawa bangga. "Justru dia beruntung karena gue ngejar-ngejar dia," katanya pede. "Jadi, lo berniat buat bantuin gue, nih?"
Kara mengangguk antusias. "Iya! Apapun itu bakalan gue bantu kok."
Redy terkekeh sebentar dan menatap Kara. Tampak cewek itu tengah balas menatap Redy dengan sepasang bola mata yang dibingkai oleh bulu mata lentik. Senyum lebar tercetak di bibir Kara dan matanya sedikit menyipit.
Ternyata, Kara enggak seburuk apa yang ada dalam pikiran Redy. Tadinya, Redy pikir kalau kerjaan Kara setiap hari cuma bisa ngomel-ngomel dan minta makanan. Tapi nyatanya, saat ini Kara tengah tersenyum ke arah Redy dan menawarkan bantuannya.
"Bagus deh kalau lo mau bantu," sahut Redy santai. "Lo sendiri gimana? Masih kelas sepuluh kok ngekos?"
Mendengar perkataan Redy barusan, bahu Kara mendadak terkulai lemas. Cewek itu menunduk dan tersenyum tipis. "Gue... lagi pengen mandiri, hehehe," ucapnya bohong.
"Bukan karena ada masalah 'kan?" tanya Redy yang sontak membuat kepala Kara mendongak cepat.
"Ng?"
Redy mengangkat bahu cuek. "Bibi yang bilang. Dia pasti dikasih tau Aldan."
Kara mengerjap beberapa kali lalu menoleh dan memandang Redy lekat. "Kak Redy, emang kita harus selalu nurut sama orangtua, ya? Walaupun apa yang jadi kemauan orangtua itu bertentangan sama kita?"
Redy merengut dan menatap Kara penuh selidik. Tumben pake Kak, batinnya. Dalam waktu beberapa detik, Redy bisa langsung menyimpulkan kalau Kara sedang ada masalah dengan orangtuanya. "Tergantung. Urusan apa dulu?"
"Masalah hobi sama cita-cita..."
Redy diam sejenak. "Kalau menurut gue, untuk masalah itu, lebih baik lo turutin apa yang jadi kemauan lo," katanya bijak. "Kenapa? Bonyok lo nentang, ya?"
Kara mengangguk dengan senyum kecutnya. "Bokap gue yang enggak ngizinin. Dan sekarang gue lagi berantem sama dia."
Redy tertawa lalu mengacak rambut Kara. "Terus, lo minggat dari rumah, gitu?" tebak cowok itu. "Lo beneran mau ngikutin jejak Dora, ya? Dia 'kan hobinya keliaran mulu."
"Ish," desis Kara sambil menepis tangan Redy di kepalanya. "Gue bukan Dora yang keliaran! Gue diusir, ngerti? Seumur-umur, gue nggak pernah liat momen Dora lagi diusir dari rumahnya, oke."
Redy termangu selama beberapa detik. "Diusir?" tanyanya tak percaya.
"Iya." Kara menjawab ketus. Cewek itu kembali menunduk dengan wajah betenya.
"Sampai detik ini, gue selalu berharap Dora diusir dari rumahnya gara-gara sering keluyuran nggak jelas," gumam Redy, cukup keras untuk di dengar oleh Kara. "Tenang aja. Lama kelamaan juga kalian bakalan baikan, kok," ucapnya kemudian, berniat menghibur Kara.
Kara menggeleng. "Bokap gue itu kepala batu. Dia bilang A, kita juga harus A."
"Kalau dia ngeliat anaknya sendirian di luar, cepat atau lambat bokap lo pasti bakal luluh kok," ujar Redy sambil tersenyum menenangkan. "Entar, kalian bisa omongin masalah hobi sama cita-cita itu pake kepala dingin."
Kara enggak menjawab. Cewek itu masih menunduk. Sibuk meremas-remas ujung bajunya.
"Ya, nggak?" Redy menyenggol bahu Kara dengan bahunya. "Iya, dong?"
Kara mendelik dan mendengus. "Iya," sahutnya malas-malasan.
"Nah, gitu." Redy tertawa kecil lalu menarik lengan Kara bangkit dari sofa. "Senyum, dong. Gue udah keseringan liat lo cemberut, bosen."
"Bawel, deh," cibir Kara. Cewek itu memutar bola matanya lalu mendengus dan memaksakan senyum unjuk giginya.
Melihat senyum ogah-ogahan yang dipasang Kara, Redy kontan tersenyum geli. Ia menarik Kara menuju dapur lalu membuka kulkasnya. "Kemarin, gue baru beli banyak makanan. Ambil, nih. Lo mau yang mana?"
Melihat isi kulkas Redy yang dipenuhi oleh banyak camilan, mata Kara langsung membelalak takjub. Dengan cepat, cewek itu langsung mengambil beberapa snack dan biskuit yang ada dalam kulkas dengun senyum bahagia.
"Kok lo tumben baik sih?" Kara nyengir sambil membuka bungkus biskuitnya.
Redy mendengus. "Kok lo udah bisa nyengir lagi sih?" sindirnya.
Kara tertawa lalu menepuk pundak Redy sok asik. "Gue 'kan tipe mood--"
"Ya, ya," Redy memotong cepat. "Tipe cewek moody."