BAB 4 – Rencana Perjodohan

1137 Words
Hari ini mama dan papa mengajak kami liburan ke Alahan Panjang, disana ada rumah saudara mama mertuaku itu. Pada saat acara makan siang keluarga, ada pembicaraan yang tak terduga dari pihak keluarga yang di Alahan Panjang. “Windy apa kabar?“ kata Antan—sapaan untuk kakek di sana. “Alhamdulillah ... sehat, Ntan,“ jawabku singkat. “Pekerjaan lancar? masih kerja di Kontraktor ?“ “Masih Ntan, Alhamdulillah aman sampai sekarang.“ “Usaha Dika siapa yang meneruskan, apakah masih atau berhenti?” “Diteruskan, Ntan. Ponakan Windy yang meneruskan. Sembari kuliah, dia yang melanjutkan bengkel teralis itu. Alhamdulillah, cukup untuk membantu biaya kuliah mereka,“ jelasku. “Syukurlah ...  Oh iya, maaf kalau Antan menanyakan ini, apakah Windy tidak berniat menikah lagi?” Entah mengapa pertanyaan itu membuat degup jantungku yang tadi biasa saja berubah menjadi sangat keras. Pertanyaan itu membuatku gugup. Aku menatap mama, mama pun membalas menatapku dan tersenyum. “Ma—Maaf, maksud Antan apa?” jawabku sedikit gugup. “Begini Windy, Antan tau Dika memang belum lama meninggal dunia, namun tidak baik wanita seperti Windy berlama-lama menjanda. Terlebih Windy cukup cantik dan bekerja pula. Antan dengar Windy juga sering pulang malam kalau ada pekerjaan membuat penawaran di kantor. Memang tidak terlalu larut seperti dulu waktu Dika masih ada untuk menemani Windy, namun itu tidak baik dilihat orang.” Antan menghela napas sebentar, mengisap rokok yang sedari tadi ada di tangannya, aku hanya diam dan menunduk mendengarkan Antan. Keluarga mertuaku semuanya memang sangat baik padaku, bahkan setelah kepergian bang Dika mereka tidak pernah mengganggapku orang lain. Mereka masih mengganggap diriku sama, anak dan menantu mereka. Bahkan untuk hal ini pun mereka membahasnya di pertemuan keluarga. “Begini windy, Antan harap Windy tidak marah, karena Antan dan keluarga ini sudah mengganggap Windy adalah anak kami. Sampai kapan pun Windy adalah anak kami. Jadi begini, Antan berniat hendak memperkenalkan Windy kepada seseorang, ini sudah atas persetujuan mama dan Papa Dika,“ jelas Antan lagi. Aku tetap membisu. “Jadi bagaimana menurut Windy?“ tanya Antan lagi. “Maaf Ntan, bukannya Windy menolak, tapi Windy belum siap,“ jawabku mantap. “Tidak mengapa, antan tau ini terlalu cepat, namun tidak ada salahnya berkenalan  saja terlebih dahulu.“ “Iya, mama dan papa sudah menyetujui. Mama dan papa sudah ikhlas atas kepergian Dika, mama dan papa juga sudah mengizinkan dan mengikhlaskan jika Windy menikah lagi.” Mama berkata dengan sedikit senyum di bibirnya, namun aku lihat matanya berkaca-kaca. “Terserah mama dan papa saja,“ jawabku. “Ya, kalau Windy mau, nanti antan akan mengatur waktu untuk pertemuan kalian. Sungguhpun begitu, semua keputusan tetap di tangan Windy. Antan dan keluarga tidak akan memaksa jika Windy tidak cocok, karena yang akan menjalani adalah Windy sendiri.“ Antan kembali meyakinkan. Aku hanya mengangguk. Semenjak kepergian bang Dika dan mama, aku memang sedikit lebih pendiam. Padahal sebelumnya tidak seperti ini. Windy yang dulu adalah seorang wanita yang aktif dan energik. Supel, mudah bergaul, humoris dan menyenangkan. Namun kini aku lebih banyak diam dan menjaga sikap. Mungkin karena masih sedih atas kehilangan bang Dika dan mama, atau karena menjaga statusku yang kini adalah seorang Janda.   Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah Antan, perkataan Antan selalu terngiang-ngiang di telingaku. Pikiranku menerawang, bahkan aku berpikir apa yang dikatakan antan ada benarnya. Alangkah lebih baik aku menikah lagi untuk menghindari fitnah. “Windy memikirkan apa?“ Suara mama memecah lamunku. “Eh, enggak koq ma, Windy hanya sedikit lelah,“ jawabku sekenanya. “Nak, coba pertimbangkan lagi apa yang dikatakan antan tadi, mama dan papa sudah menyetujui kalau Windy menikah lagi, terlebih lelaki itu juga duda, yang mama tau dia bercerai dari isterinya.” Apa? Aku tertegun mendengarkan penjelasan mama. Entah mengapa aku agak sangsi untuk menikah dengan duda yang berpisah cerai dengan mantan istrinya. “Bolehkah Windy tau alasan beliau bercerai dari istrinya, Ma?“ tanyaku. “Mama tidak tau pasti, tapi kata antan mereka sudah tidak cocok. Anak nya dua dan dibawa oleh mantan istrinya.” “Owh ...,” jawabku singkat dan itu adalah pembicaraan terakhir kami di dalam mobil Kijang Krista milik orang tua bang Dika yang dikendarai oleh suami dari Cindy. Biasanya bang Dika yang selalu mengendarai mobil ini kalau kami pergi-pergi. Aku merindukannya, lagi. Di kantor tempatku bekerja, ada juga salah seorang rekan kerjaku namanya pak Irfan yang selalu memberikan perhatian lebih kepadaku hingga membuat ricuh suasana kantor. Pak Irfan usianya enam tahun lebih tua dariku. Postur tubuhnya cukup tegap dan sedikit berisi. Tinggi sekitar seratus tujuh puluh sentimeter, kulit sawo matang agak terang dan wajah lumayan tampan. Jujur, secara fisik aku cukup terpikat dengan pak Irfan.  Tapi  yang  aku  tau,  dia  sudah  beristri   dan hubungannya dengan istrinya memang kurang harmonis. Aku dengar dari Vivi, rekan kerjaku, pak Irfan berniat mengakhiri hubungan rumah tangga mereka. Ah, itu tidak penting bagiku. Walau aku cukup mengagumi pak Irfan secara fisik maupun sikap, namun aku tak mungkin menambah benalu ditengah ketidak harmonisan rumah tangga pak Irfan. Apalagi aku memang kurang respek dengan lelaki yang berpisah cerai dengan mantan istrinya. - - - - - Malam ini aku cukup lelah. Pekerjaan hari ini menyita banyak tenaga dan pikiranku. Dari jam enam pagi, aku sudah berangkat ke lokasi proyek di jemput pak Irfan. Mentari dan Langit diantar oleh Rian hari ini. Kebetulan Rian tidak ada jadwal kuliah pagi. Lokasi proyek berada di luar kota, sekitar tiga jam perjalanan dari rumahku, dan aku hanya berdua bersama pak Irfan di dalam mobil itu. Itulah yang aku kagumi dari pak Irfan, walau aku tau dia memiliki perasaan terhadapku dan walau dia tau statusku adalah janda, namun dia selalu bersikap sopan terhadapku. Jika di kantor pak Irfan adalah orang yang humoris dan menyenangkan, berbeda jika hanya berdua bersamaku baik di mobil atau di ruangan kantor. Dia begitu menjaga jarak dan ucapan. Bersyukur, setidaknya pak Irfan menghargai pakaianku, begitulah pikirku. Semenjak kejadian tiga tahun yang lalu, aku memang tidak pernah lagi mengenakan celana jeans, kulot ataupun celana luaran. Aku mengenakan gamis longgar, terkadang rok dipadu dengan kemeja agak longgar. Kaus kaki tidak pernah lepas dari kakiku walau di dalam kantor sekalipun. Jilbab longgar dan terkadang pashmina yang kubentuk sedemikian rupa agar bisa menutupi bagian perut dan punggung. Tidak ada lagi makeup yang menghiasi wajahku, hanya sekedar selapis bedak tabur dan liptin itu sudah cukup untuk menutupi kekusaman wajah dan bibir. Sederhana ... Ya, begitulah aku, windy si janda beranak 2. Alunan lagu dari radio yang di setel pak Irfan di mobil tadi pagi mendominasi perjalanan kami. Tidak banyak yang kami bicarakan, kami lebih banyak diam. Sesekali pak Irfan membuka pembicaraan mengenai pekerjaan dan menanyakan kabar anak-anak, tidak lebih dari itu. Aku pun menjawab seadanya. Canggung, padahal ini bukan kali pertama kami berdua saja baik di mobil ataupun kantor. Tapi mungkin kali ini cukup lama, sebab biasanya aku tidak pernah dapat tugas mengontrol proyek keluar kota.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD