BAB 6 – Pertemuan

1469 Words
Hari sudah menujukkan pukul dua belas siang, saatnya jam istirahat. Aku mulai berbenah untuk segera makan siang. Namun tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan dari mama mertua. “Assalamu’alaikum ma, apa kabar?” tanyaku “Wa’alakumussalam ... kabar baik, Nak. Windy sibuk tidak? Mama tidak mengangggukan? Sebab mama sengaja menelepon di jam istirahat agar tidak menganggu.” “Enggak koq ma, Windy sedang tidak sibuk, rencana mau makan siang. Ada apa, Ma?.” “Begini Windy, pagi tadi antan menelepon tentang rencana perkenalan Windy dengan Anto, Windy masih ingatkan, Nak?” “Iya, terus kenapa, Ma?” “Nanti malam selepas Maghrib Anto mau datang ke rumah katanya, mau ke rumah mama saja atau ke rumah Windy langsung?” “Ke rumah mama saja ma. Tidak patut rasanya Windy menerima tamu laki-laki di rumah Windy, Ma.” “Baiklah, nanti selepas Maghrib Windy langsung kerumah mama ya, bawa anak-anak sekalian. Assalamu’alaikum.” Mama mengakhiri telepon. “Wa’alaikumussalam.” Huft ... Entah kenapa aku masih berat menerima tawaran perkenalan ini. Aku juga tidak tau kenapa, padahal aku sama sekali belum mengenal pria yang disebut mama, Anto tadi. Bahkan aku belum tau bagaiman rupa lelaki itu. Yang aku tau dari mama, beliau bercerai dengan istrinya. Dengan posisi masih berdiri dan kedua telapak tangan terpaku ke meja kerja di iringi kepala yang merunduk kebawah, aku masih berpikir mengenai perkenalan yang akan berlangsung nanti malam. “Lagi ngelamunin apa, Buk.” Suara yang tidak asing itu seketika memecah lamunku. “Eh, Pak Irfan, ada apa, Pak?” jawabku gugup. “Maaf Windy, ini sudah lewat lima belas menit dari jam istirahat, rekan-rekan yang lain sudah pada makan siang, Windy kenapa masih di sini, sendirian? Kita makan keluar yuks, kebetulan nanti jam dua ada rapat dikantor PU. Windy ikut ya.” Begitulah pak Irfan, tanpa segan selalu memperlihatkan perhatian  berlebih padaku di kantor. Namun tidak pernah berbuat lebih jauh, bahkan tidak bersalaman denganku karena dia tau, aku akan menolak. “Windy bawa bekal kok pak, Windy makan di kantor saja.” Aku menolak dengan sopan. “Baiklah, nanti Windy siap-siap ya. Kita berangkat jam satu lewat seperempat, siapkan berkas-berkas gambar, backup data, MC, dan lainnya. Semua itu nanti akan kita bawa. Pak doni akan ikut untuk membantu membawa berkas-berkas itu.” Pak Doni adalah salah seorang supir di kantorku. “Siap, Pak.” Jawabku sembari tersenyum lebar dan mengangkat tangan kiri kesamping wajah serta jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O pertanda Oke. “Baguslah, segera makan ya, nanti sakit perut.” Pak Irfan mengakhiri perkataannya sembari mengedipkan sebelah mata ke arahku dan berlalu dengan senyum manisnya. Aduh ... apa sich yang ada dipikiranmu Windy. Jangan kotori otakmu lagi. Pak Irfan itu suami orang, ingat suami orang. Berkali-kali kucoba tepis kekagumanku pada sosok gagah itu. - - - - - Hari ini cukup melelahkan, aku sampai di rumah sudah hampir jam setengah tujuh sore, teringat janji dengan mama untuk bertemu dengan lelaki yang akan dikenalkan padaku. Sebenarnya aku malas untuk kemana-mana, aku benar-benar sangat lelah. Fisik dan pikirianku terkuras habis waktu rapat tadi, belum bertemu titik penyelesaian untuk salah satu proyek yang dipimpin oleh pak Irfan itu. Masih buntu. Namun selepas rapat, ada sedikit angin segar dari Supervision Engineer yang sekilas aku dengar sedang mengobrol ringan dengan pak Irfan. Semoga saja proyek itu baik-baik saja, pikirku. Sampai di rumah aku disambut hangat oleh pelukan Mentari. Gadis kecil manis berlesung pipit ini selalu membuatku kembali b*******h. Ocehannya yang tidak berkesudahan membuat rumah ini  dipenuhi canda dan tawa. Mentari seperti biasa, kalau aku terlambat pulang, maka dia akan dimandikan oleh Dian. Dian cukup telaten menjaga adik-adiknya. “Kak, hari ini ummy mau izin keluar lagi ya, mau ke Ikur Koto, rumah nenek dan kakek Tari,” kataku pada Dian, sementara Rian masih sibuk di bengkel depan rumah kami menyelasaikan pesanan teralis dari pelanggan. “Ya my, koq tumben ummy pergi di hari kerja, bukannya weekend? Emang ummy gak capek, kan baru saja pulang,” jawab Dian. “Ummy sudah janji tadi sama nenek Tari. Kayaknya nenek Rindu Mentari dan Langit. Segan ummy kalau membatalkan. Tidak apa-apa, ummy mau mandi dulu ya. Tolong ganti baju Tari ya, Kak.” “ Langit, Ganti baju nak, kita mau kerumah nenek habis maghrib,” kataku pada langit. Adzan maghrib pun berkumandang. Aku segera mandi, shalat dan berganti pakaian. Tepat jam tujuh malam, kami bertiga pun bergegas menuju rumah orang tua bang Dika di Ikur Koto, jaraknya lebih kurang dua puluh menit dari rumah kami. Sesampai di sana, kami di sambut hangat oleh nenek dan kakek Mentari. Tari segera mengejar dan merangkul sepasang paruh baya tersebut, sementara Langit hanya menyalami mereka sembari memberikan bungkusan yang berisi martabak bandung kesukaan neneknya. Di luar aku lihat sudah terparkir sebuah motor Vario Hitam. Ini pasti motor lelaki itu. Setelah helmku lepas, aku segera menemui dan menyalami mama dan papa yang sudah berdiri didepan pintu sedari tadi. Aku lihat di dalam sudah duduk seorang pria. “Assalamu’alaikum, Ma, Pa.” Aku pun menyalami mama dan papa dengan takzim, tak lupa kupeluk mama sembari menanyakan kabarnya. “Wa’alaikumussalam, mama dan papa sehat. Ayo masuk, Nak. Anto sudah menunggu di dalam.” Mama menggiringku masuk dan mengajak duduk di sebelahnya, sementara Mentari dan Langit diajak oleh papa keruang tengah nonton televisi. Aku lihat seorang pria duduk di depanku. Kulitnya sawo matang agak gelap. Perawakannya biasa saja, tidak terlalu tampan. Mengenakan topi berwarna dongker, baju kemeja kotak-kotak dan mengenakan celana jeans berwarna biru muda. Di depannya terletak segelas teh hangat dan sekotak rokok surya berserta macis. Aku merasa tatapannya agak tajam dan liar, entahlah mungkin perasaanku saja. Jujur, aku tidak menyukainya. “Windy, kenalkan ini nak Anto.” Kata mama memecah lamunku. “Anto, ini namanya Windy.” Mama memperkenalkan pria itu padaku dan memperkenalkan diriku pada pria itu. “Hai.” Anto menyapaku sembari mengulur tangannya untuk menyalamiku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk seraya mendekap kedua tanganku ke d**a pertanda aku menerima salamnya tanpa menyentuh tangannya. Anto tampak kecewa jabat tangannya aku tolak. Aku memang tidak berani menyentuh yang bukan mahramku walau hanya sekedar berjabat tangan. “Kalau begitu mama tinggal ya. Silahkan nak Anto dan Windy mengobrol-ngobrol dulu.” Mama pun meninggalkan kami di ruang tamu sambil tersenyum . Ini memang bukan pertama kalinya aku berdua saja dalam suatu ruangan dengan seorang pria semenjak kepergian bang Dika. Tapi kali ini perasaanku berbeda, ada perasaan risih dan tidak nyaman. Aku juga tidak tau mengapa. Masih hening, dan akhirnya Anto berpindah duduk kekursi panjang yang ada di sebelahku. Aku semakin gelisah dan tidak nyaman dengan ini. Selama ini aku sangat sering berdua saja di dalam satu ruangan dengan pak Irfan atau rekan kerja laki-laki lainnya. Tidak jarang berada dalam 1 mobil bahkan pada perjalanan keluar kota yang cukup lama. Tapi tidak pernah aku serisih ini. “Dek Windy, boleh minta nomor WhatsApp.” Suara berat Anto memecah keheningan. “Owh, Ya.” Kataku sembari memberikan nomor WhatsAppku padanya. “Dek Windy kerja di kontraktor ya,” tanya Anto “Ya,” jawabku singkat. “Wah, dek Windy hebat ya. Dek Windy bagian apa di sana,” tanyanya lagi, tangannya masih posisi  mengepal, cara duduknya kulihat kurang tenang. Dia selalu menggerak-gerakkan kakinya dan tangannya sesekali memainkan ujung topinya. “Windy administrasi proyek bang,” jawabku singkat. Aku lihat dia mengambil sebatang rokok surya dan menghidupkannya. Ketika asap rokok itu mengenaiku, aku pun terbatu-batuk. Aku memang alergi dengan asap rokok. “Maaf bang, Windy alergi asap rokok.” “Oh Ya.” Diapun meletakkan batang rokoknya di asbak tanpa mematikannya. “Abang apa kegiatannya,” tanyaku singkat. Ia pun menjelaskan panjang lebar mengenai pekerjaanya. Dia mengatakan kebun bawangnya cukup luas di kampung. Ia hanya memantau saja, ada anak buah yang mengerjakan kebunnya itu. Sementara aku hanya sebagai pendengar yang baik. Aku bertanya mengenai anak-anaknya. Dia malah mengatakan tidak mau membahas masalah itu. Dia hanya ingin membicarakan mengenai masa depan. *** *** *** Hai, Kesayangan ... Makasih lho buat yang udah mampir dan baca cerita ini. Buat teman-teman yang mampir ke sini, jangan lupa ya, intip ceritaku yang lainnya juga ... jangan lupa FOLLOW agar teman-teman dapat notifikasi setiap aku up cerita baru atau Up bab baru. Ada banyak pilihan cerita lho. #Romance (Mas Rei Series) 1. Hubungan Terlarang (Best Seller) (TAMAT) 2. [Bukan] Hubungan Terlarang (Sekuel Hubungan Terlarang) - TAMAT 3. Bukan Hubungan Terlarang 2 (Coming Soon) #Romance (Cinta beda agama) 1. Mentari Untuk Azzam (TAMAT) #Komedi Romantis Asyik 1. When Juleha Meets Bambang (On Going) #Romance (Kekuatan Cinta & perselingkuhan) 1. Bukan Mauku (TAMAT) 2. Bukan Mauku 2 (Sekuel Bukan Mauku) - Coming Soon 3. Menikahi Mantan Suami (TAMAT) 4. Putrimu Bukan Anakmu (TAMAT) 5. CEO'S Secret Marriage (Coming Soon) #Thriller (seru & mendebarkan) 1. EYES (TAMAT) 2. TERROR & OBSESSION (coming soon) #Fantasy 1. Pandora Kingdom (Coming Soon) Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ... ## Vhie ##
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD