BAB 18 - Pernikahan

1047 Words
Hari ini semua tampak sibuk. Semuanya mempersiapkan pernikahanku dengan bang Putra, lelaki yang belum pernah kutemui sama sekali. Entah mengapa aku menurut saja dengan semua perintah mbak Nurul. Dua hari yang lalu harusnya aku bertemu dengan bang putra untuk melakukan ta’aruf. Namun beliau harus pergi keluar kota, sehingga rencana ta’aruf itu dibatalkan. Setelah menikah aku pun akan berhenti bekerja dan tinggal serumah dengan mbak Nurul. Mbak Nurul yang memintaku melakukan itu, agar aku bisa fokus mengurus keluarga saja dan bisa selalu dekat dengannya. Keponakan tertuaku, aku minta untuk tinggal di rumahku menemani Rian dan Dian. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka berdua saja di rumah. Pernikahan akan dilangsungkan nanti siang di salah satu masjid terdekat rumah mbak Nurul. Aku yang masih berada di rumah akan langsung menuju masjid tempat akad akan dilangsungkan. Aku tidak mampu menggambarkan perasaanku saat ini. Masih ada keraguan, dan ingin membatalkan semua ini. Namun aku tidak tega melihat kondisi mbak Nurul. “Masyaa Allah, ummy cantik sekali. Tapi sayang, ummy kami nanti tidak akan di sini lagi.” Tampak raut kesedihan di wajah Dian yang menemaniku mempersiapkan dandanan. “Insyaa Allah nanti ummy akan sering main kesini. Dian dan rian juga, jangan lupa kunjungi ummy terus ya sayang.” Aku mengusap lembut wajah gadis manis itu. “Semoga ummy bahagia ya. Kami semua sangat menyayangi ummy.” Dian memelukku dengan sangat sayang. Setelah aku selesai dengan dandananku, kami sekeluarga bersiap meninggalkan rumah ini menuju lokasi pernikahan. Beberapa saat hendak melangkah masuk kedalam mobil, seorang paruh baya menyapaku dari pintu rumahnya. “Mau kemana Windy? Kok rapi sekali?” “Alhamdulillah tek, hari ini Windy akan melangsungkan pernikahan.” Aku tersenyum ke arah paruh baya tersebut. “Menikah? Mengapa tidak mengundang-undang?” “Enggak tek, sederhana saja. Pernikahan dilangsungkan di rumah mempelai laki-laki dan kemungkinan setelah itu Windy akan tinggal disana. Maaf Tek, Windy pamit dulu ya.” Mobil kami melesat di jalanan aspal yang begitu ramai. Hatiku semakin bergemuruh ketika mobil sudah mulai memperlambat lajunya hingga akhirnya berhenti. Kami sudah berada di perkarangan Masjid tempat acara akan dilaksanakan. Aku langsung disambut hangat oleh mbak Nurul dan keluarga bang Putra. Aku sudah mengenal semuanya dua hari yang lalu. Ketika ta’aruf akan dilaksanakan dan bang Putra tidak bisa menghadirinya, hanya keluarga beliau saja yang bisa aku temui. Mereka menuntunku masuk ke dalam masjid dan duduk di bagian saf wanita. Bagian wanita dan pria ditutupi tirai pembatas, jadi aku tidak bisa melihat calon suamiku dari balik tirai itu. Beberapa menit kemudian, tiraipun terbuka. Aku dituntun menuju meja tempat pernikahan akan dilangsungkan. Aku hanya menunduk, tak kuasa melihat siapa pun apalagi calon suamiku. Hatiku semakin bergemuruh, aku merasa semua ini salah. Namun aku tidak punya pilihan lagi selain meneruskan acara ini. Pernikahan berlangsung dengan sangat khidmat. Bang Putra menyelesaikan ucapan akad hanya dalam satu tarikan napas. Kakak tertuaku menjadi wali nikah kami. Setelah semua selesai aku pun diminta mencium punggung tangan suamiku. Aku memberanikan diri menatap wajah pria yang kini sudah sah menjadi suamiku. Bang Putra cukup tampan, namun tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya. Bahkan ia seperti enggan menatap ke arahku. Dadaku tiba-tiba bergetar hebat, aku semakin yakin jika ini adalah keputusan yang salah. Namun semua sudah terjadi, aku sudah resmi menikah dengannya. “Selamat ya Windy, mbak harap Windy bisa menjaga mas Putra dan Aisyah selepas mbak pergi nanti.” Mbak Nurul membisikkan hal itu ke telingaku yang membuat tetesan bening keluar begitu saja dari mataku. “Mbak, jangan bicara seperti tu. Mbak pasti kuat menjalani semuanya. Windy akan membantu penyembuhan mbak. Kita akan menjalani semua sama-sama. Kita akan mengurus bang Putra dan Aisyah bersama-sama.” Aku memeluk mbak Nurul. Selesai acara di masjid, kami semua meninggalkan pekarangan masjid menuju kediaman mbak Nurul. Di sana akan diadakan acara syukuran sederhana. Hanya dihadiri oleh beberapa tetangga dekat dan anggota keluarga. Mobil pun berhenti di sebuah perkarangan yang cukup luas. Rumah berlantai dua sudah tampak di depan mata. Rumah bergaya minimalis yang terlihat sangat indah. Langit dan Mentari memelukku sebelum kami memasuki rumah ini. Rumah yang akan menjadi tempat tinggal kami setelah ini. Langit dan Mentari mendapatkan teman-teman baru. Saudara sepupu Aisyah cukup banyak dan usianya sebaya dengan Mentari dan Langit. Kedua bocah itu tampak sangat bahagia. Apalagi Mentari, dia begitu bahagia akan memiliki ayah lagi. Mbak Nurul menuntunku ke sebuah kamar yang berada di lantai satu. Kamar yang begitu luas dan sangat indah. Ranjang yang sudah dihias dengan begitu cantiknya. “Ini kamar Windy, kamar mbak ada di sebelah sana. Kalau anak-anak kamarnya ada di atas. Mbak sudah siapkan semua.” Mbak Nurul  tersenyum. “Makasih ya mbak. Seharusnya mbak tidak perlu serepot ini.” Aku kembali memeluk mbak Nurul. “Justru mbak yang harus mengucap terima kasih ke Windy. Sebab windy sudah mau menerima permintaan mbak.” Para tamu undangan sudah meninggalkan rumah ini. Termasuk keluargaku dan orang tua mendiang bang Dika. Aku melihat bang Putra bercengkrama dengan Langit dan Mentari juga Aisyah. Langit dan Mentari begitu senang punya adik baru. Bang Putra tampak menyayangi mereka. Aku rasa kecemasanku tadi tidak beralasan. Bang Putra begitu mencintai anak-anak. Bahkan bang Putra sendiri yang menuntun anak-anak menuju kamar mereka. Aku dan mbak Nurul masih duduk di ruang keluarga. “Windy, seminggu ini bang Putra tidur denganmu ya.” Aku hanya mengangguk menanggapi perkataan mbak Nurul. Aku melihat bang Putra masuk ke kamar mbak Nurul. Mbak Nurul pamit untuk menyusul bang Putra. Aku pun berjalan menuju kamarku yang sudah disiapkan oleh mbak Nurul. Ini sudah cukup larut, aku memang sangat lelah dan mengantuk. Aku duduk di kursi rias yang menghadap ke sebuah cermin besar. Aku berencana hendak berganti pakaian. “Kenakan kembali jilbabmu.” Suara seorang pria mengagetkanku. Aku memang sengaja tidak mengunci pintu kamar karena aku rasa bang Putra akan datang ke kamar ini. Ternyata benar, pria itu datang tanpa memberi salam dan tanpa mengetuk pintu. Yang lebih mengagetkan, beliau dengan suara tidak ramah menyuruhku kembali mengenakan kerudungku. Aku segera mengenakan kerudungku kembali tanpa berani menatap pria itu. Aku begitu canggung. Bang putrapun masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang. Aku tetap mematung di sini. Dia belum mengatakan apa pun tapi aku tau dari cara duduknya, bang Putra menyimpan sesuatu di hatinya. Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Hanya terdengar suara hujan di luar sana yang memecah kesunyian malam.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD