BAB 3 – Insiden Kumbang

1307 Words
Mentari sudah Sekolah, dan Mentari di Sekolahnya memiliki ustadzah-ustadzah yang baik yang mau membantu menjaga Mentari. Mentari sekolah di yayasan dan lingkungan yang sama dengan abangnya sekolah. Langit—abangnya Mentari—fullday school, sementara Mentari jam 2 aku masukkan kelas Tahfidz hingga jam 4 sore. Sehingga Mentari pun secara tidak langsung juga fullday school. Sementara mama, ada kakak iparku yang datang setiap hari menemani sekaligus menjaga mama, jadi hatiku aman dan mantap untuk bekerja lagi. Ketika hidupku terasa begitu sempurna, ketika aku merasa keberuntungan berpihak padaku, seketika itu pula tiba-tiba semua sirna di luar kendaliku. Suami yang baik, perhatian dan penuh cinta. Anak-anak yang sehat, dengan prestasi dan hafalan qur’an yang membanggakan, kondisi mama yang selalu stabil dan perekonomian yang mulai membaik, membuatku jarang sedih apalagi menangis. Namun kini, semenjak dua orang yang begitu berarti dalam hidupku pergi untuk selamanya, membuat aku hancur, remuk dan nelangsa. Jika tidak karena Mentari dan Langit, mungkin aku sudah menyerah pada takdir, karena kaki ini mulai goyah. Teringat betapa phobianya aku dulu pada seekor kumbang, kumbang apa saja aku pasti sangat takut, terlebih kumbang cirik (kumbang tai’) begitulah orang sini menamai jenis kumbang itu, ada warna hitam dan warna abu tua yang ukurannya lebih besar dari kumbang biasanya. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding, apalagi melihatnya. “Ma ... mama ... tolong ... tolong ...,“ teriakku dari dalam kamar. Dengan sigap mama mengambil tang atau kain atau apa pun yang bisa digunakan untuk mengambil kumbang itu, karena mama sudah tau apa yang terjadi padaku saat itu. “Tenang, biar mama buang ya,” katanya dengan senyum merekah “Makanya Windy jangan lupa tutup pintu jendela, kumbang ini kalau sudah gelap akan nyari lampu, makanya masuk kamar windy.” “Iya mama, makasih,“ kataku sembari memeluk mama. Huft ... kembali air mata ini menetes setiap teringat kejadian itu. Sekali waktu kedua ponakanku sedang tidak berada di rumah, keduanya Izin pergi ke pesta temannya dan pulang jam sembilan malam. Pada waktu itu Mentari berteriak keras dari dalam kamar. “Ummy ... tolong ... tolong ... ummy ....“ Aku segera menghampiri Mentari dan kulihat Mentari menggigil menunjuk-menunjuk pada sesosok makhluk yang begitu aku takuti. Phobiaku turun kepada Mentari. Langit waktu itu juga tidak di rumah, sedang ikut nenek dan kakeknya—orang tua mendiang suamiku. Mereka pergi ke kampung karena ada acara keluarga. “I—Iya sayang ... Mentari sabar ya ... Ummy akan buang kumbang itu.“ Aku tak kalah menggigil dari Mentari. Huft.... Kenapa, kenapa aku setakut ini pada makhuk kecil bersayap itu. Seketika aku menangis, teringat mendiang suamiku dan mama. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Sesaat aku kelu, aku dan Mentari berpelukan sejenak dan aku kumpulkan keberanian untuk mendekati makhluk itu. Baru saja aku hendak mendekat, kumbang itu terbang yang membuat aku dan Mentari sama-sama berteriak dan melarikan diri keluar kamar. Dengan cepat kututup pintu kamar dan berusaha menyibak rambut dan pakaian, siapa tau mahkluk itu menempel di pakaianku. Dan kami sama-sama menggigil. Hingga kedua keponakanku pulang, aku dan Mentari tidak berani memasuki kamar. Hari sudah menunjukkan pukul delapan tiga puluh malam, Mentari sudah tertidur di ruang tengah dan aku masih belum mendengar tanda-tanda kepulangan ke dua keponakanku itu. “[Dek, jam berapa pulang, Nak?, di kamar ummy ada kumbang, ummy tidak berani masuk kamar, tolong cepat pulang ya, Sayang].” Aku mengirim pesan WA ke Rian. Aku memang terbiasa menyapa anak-anak maupun semua keponakanku dengan ucapan sayang seperti itu. Dian yang lebih tua beberapa menit dari Rian kami panggil kakak, sementara Rian biasa dipanggil Dedek. Selang tiga menit WA pun berbalas “[ Ya ummy, ini kami sudah mau siap-siap pulang, sebentar lagi sampai rumah].” Kedua keponakanku itu sedang kuliah semester pertama di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Padang. Rian mengambil jurusan Teknik Mesin, sama seperti apaknya—mendiang suamiku. Rian memang mengidolakan apaknya itu dan mendiang suamiku pun begitu menyayangi Rian. Sementara Dian mengambil jurusan Teknik Sipil sama sepertiku. Papa mereka sudah menikah lagi dan tinggal di Bukittinggi, ada usaha disana. Kakak pertama mereka sudah menikah dan mengontrak tidak jauh dari rumah kami. Kakak keduanya juga sudah menikah dan ikut suaminya ke Medan.  Alhamdulillah, Allah titipkan rezeki untuk kedua keponakanku itu melalui diriku. Gajiku lumayan untuk menghidupi kami berlima, membayar uang sekolah Langit dan Mentari dan membantu sedikit biaya kuliah Rian dan Dian. Rian sembari kuliah meneruskan usaha bengkel teralis apaknya. Alhamdulillah, mendiang suamiku meninggalkan sebuah bengkel teralis lengkap dengan semua peralatannya. Beliau semasa hidup memang pekerja keras, sepulang bekerja beliau akan melanjutkan mengerjakan pesanan teralis dari pelanggannya. Sementara Dian aku modali untuk membuka usaha online. Dian menjual baju-baju rumah, celana olahraga, dan apa saja yang bisa dia jual dan dia live setiap malam lewat akun sosial medianya. Rian dan Dian juga begitu menyayangiku dan kedua adik mereka, jadi tidak patut rasanya aku berlarut dalam kesedihan dan merasa kesepian. Namun kehilangan kedua orang yang begitu berarti dalam hidup tetap saja tak mampu membuang rasa kesepian dan kesedihan ini. Rindu ... itulah yang aku rasakan. Tak lama, sekitar pukul delapan lewat lima puluh malam, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Ah, itu pasti Rian dan Dian, fikirku. Dan benar saja, kedua keponakanku itu sudah pulang. “Assalamu’alaikum ....” “Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah kalian sudah pulang.” jawabku dengan senyum merekah. “Hahaha ... takut kumbang ni ye ....“ Rian mencoba menggodaku sembari melepas helm dari kepalanya. “Tulah ummy ni, segala kumbang di takuti.“ Dian malah ikutan meledek. Spontan aku pukuli bahu kedua keponakan itu, tidak keras tapi cukup sakit aku rasa, sebab kesal diledekin seperti itu. “Ampun ... ampun ... ampun ... iya, aduh sakit ummy ... maaf, ini kami bawain ayam goreng untuk ummy dan Mentari.“ Jawab Dian sembari memberikan bungkusan berwarna putih bening. “Alhamdulillah, makasih ya, Sayang ... “ Jawabku sambil mencubit pipi berlesung pipit itu. “Jadi gak ni mau dibuang monster yang sudah menganggu ummy dan adik kami ini.” Goda Rian lagi. “Eh, iya la, tapi ummy gak tau posisi kumbangnya dimana, sebab pas mau ummy coba dekati untuk buang, kumbangnya terbang dan kami histeris lari keluar.“ Jawabku dengan serius. “mmppphhhh hahahaha ....” Kedua keponakanku melepas tawa mereka, keras sehingga membuat Mentari terbangun. “Kak, besok kita pasang CCTV aja dirumah, biar bisa nontonin ekspresi ummy ketika ketemu monster di rumah ini.“ ledek Rian sembari menyikut bahu Dian dengan bahunya. “Bang Dedek dan Kak Dian sudah pulang? Kumbangnya udah dibuang ummy.“ Suara kecil Mentari yang khas membuat mata kami semua mengarah kepadanya. “Mentari sudah bangun sayank, ini tadi kak Dian dan bang Dedek bawain Ayam goreng upin ipin kesukaan Mentari.“ Jawabku sembari memeluk Mentari dan memberikan bungkusan tadi kepadanya. Mentari memang sangat menyukai ayam goreng tepung bagian paha.  Ayam upin ipin, katanya. “Oke Tari sayang, bang dedek si manusia super ini akan membuang monster itu dari dalam kamar Mentari.“ Rian menirukan gaya pahlawan super sehingga membuat Mentari tertawa terbahak-bahak, menampakkan lesung pipit dan sederet gigi putihnya. Selang beberapa menit aku, Mentari dan Dian menunggu di luar kamar, akhirnya Rian nampak keluar kamar. “Oke bos kecil, semua beres, monsternya sudah abang buang dan abang lempar tinggi sampai ke langit.” Katanya sembari menggendong Mentari dan mengayunnya. “Wa ... Alhamdulilah, yeyeye ... Makasih bang Dedek.“ Mentari tampak begitu senang dan memeluk erat kakak sepupunya itu. Begitulah, hari demi hari yang aku lalui hingga tak terasa sudah lima bulan saja bang Dika meninggalkan kami. Orang tua bang Dika begitu baik kepada kami, walau bang Dika sudah tiada, mereka tidak pernah melupakan kami. Cindy juga sering mengajak Mentari ke arena permainan bersama Aura— putri Cindy—yang usianya terpaut satu tahun di bawah Mentari. Sesekali mama dan papa mengajak aku dan anak-anak berkunjung ke rumah saudara di kampung.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD