LM - BAB 6

2268 Words
Ke esokkan harinya Vania bangun dari tidurnya masih dengan sendiri. Tak ada tanda suaminya Adrian tidur di sampingnya. Vania hanya bisa menghela naafsnya, setelah melakukan kewajibannya ia segera mandi dan turun ke bawah hendak membuat sarapan. Kali ini ia tidak akan membuatkan sarapan untuk Adrian dan Zahra karena percuma tidak akan di makan. Lebih baik ia menyerahkan sarapan kedua orang itu kepada Mbok Ina supaya Adrian dan Zahra bisa sarapan. Ia tak mau karena dirinya kedua orang tersebut tidak sarapan. Karena hanya Aska yang mau memakan masakannya, maka ia memasak khusus buat Aska sampai pada bekal yang mau di bawa Aska. Apa lagi anak laki-lakinya itu meminta lebih agar bisa dibagikan kepada teman-temannya membuatnya lebih semangat. Bagaimana tak semangat kalau Aska ingin memberikan kepada teman-temannya hasil masakan darinya, dari Bunda Aska yang selalu diinginkan Aska selama ini. Aska memang berhasil menjadi penghiburan bagi Vania dikala suami dan anak perempuannya menolaknya secara terang-terangan. Setelah membuat sarapan, Vania tetap menyiapkan baju Adrian di atas tempat tidur. Vania tetap melakukan kewajibannya, kalau Adrian menolak untuk menggunakan pakaian yang sudah disiapkannya ia sudah berlapang d**a menerima penolakan tersebut. Bukankah sudah biasa kalau ia di tolak? Setelah menyiapkan keperluan Adrian ia membangunkan Zahra dan lagi hanya dapat sahutan dari dalam tanpa berniat dibuka pintunya. Paling penting Zahra sudah bangun pikirnya, setelah itu barulah ia membangunkan Aska. “Selamat Pagi anak Bunda. Bangun yuk, hari ini kita sekolah. Bunda udah masak nasi gorengnya, udah siapin banyak juga buat Aska bawa ke sekolah loh dibagiin ke teman-teman.” Aska segera membuka matanya dan bangkit untuk duduk ketika mendengar perkataan Vania. “Seriusan Bun?” Vania menganggukkan kepalanya. “Makasih Bunda.” Aska memeluk Vania erat, wanita itu mengusap punggung Aska. “Sama-sama sayang. Mandi yuk, biar kita sarapan. Bunda mau check dulu bekal Raka sama Kakak Zahra di bawah. Bunda tunggu dibawah ya?” Aska menganggukkan kepalanya. Anak laki-laki itu segera turun dari tempat tidurnya dan segera turun. Vania menyiapkan seragam sekolah Aska terlebih dahulu sebelum ia turun ke bawah. Setelah beres ia keluar dari kamar Aska dan melihat Adrian yang baru juga keluar dari ruangan kerjanya. Vania tersenyum pada Adrian yang sedang memijat lehernya, membuat Vania tersadar kalau Adrian sebenernya tak nyaman tidur disana. Ia bisa tebak diruangan tersebut tidak ada tempat tidur. “Pagi Mas, aku udah siapin air hangat untuk Mas Adrian sama pakaiannya segera mandi ya Mas biar sarapan sama anak-anak.” Kata Vania hanya dibalas anggukan saja oleh Adrian. Pria itu segera masuk ke dalam kamar yang ditempati Vania untuk tidur itu. Ia menghela nafasnya lalu turun ke bawah menyiapkan bekal untuk kedua anaknya.   ***** “Bunda, Aska mau nambah lagi.” Kata Aska yang lebih duluan turun dan sarapan. “Jangan terlalu banyak makannya nanti kalau kamu sakit perut gimana, mau makan bekal lagi nanti di sekolahkan?” Aska jadi cemberut. “Sikit aja ya Bun, sikit aja.” Vania mengusap kepala Aska dengan lembut. “Sedikit aja ya, tunggu Bunda ambilin dulu.” Vania mengambil piring Aska membawanya ke belakang lalu menuangkan nasi goreng lagi. “Ini dimakan pelan-pelan.” Kata Vania sambil ikut kembali duduk memperhatikan Aska makan. Ia belum makan, karena masih menunggu suaminya dan Zahra. Tidak enak makan duluan, Aska tadi udah nggak sabar makanya memilih duluan. Tak lama setelah itu Zahra dan Adrian datang bersamaan menuju ruang makan. Seperti biasa Zahra menatap Vania tidak suka, padahal Vania sudah menyapa dan menyambut Zahra dengan senyuman. Adrian langsung duduk di kepala meja seperti biasa, Zahra duduk di samping Papanya. Vania dengan sigap membuatkan nasi goreng ke atas piring Adrian. Pria itu tidak melihat ada secangkir kopi dan melihat nasi gorengnya sedikit berbeda dari yang semalam. Tetapi Adrian belum mau berkomentar sebelum merasakann. Zahra juga sedikit melihat ada perbedaan dengan isi nasi goreng yang ada di hadapannya dengan punya Aska. Vania tersenyum melihat Adrian menggunakan baju yang sudah disiapkannya. Ia berpikir Adrian tidak akan menggunakan baju yang sudah disiapkannya itu. “Ayo silahkan di makan, ini buatan Mbok Ina kok bukan buatan aku. Mas Adrian sama Zahrakan nggak suka sama masakan aku, dari pada sayang nggak di makan kalau aku yang masak mending Mas Adrian sama Zahra makan masakan Mbok Ina gapapa ya. Aku masak buat Aska aja karena Aska suka. Tapi nanti aku belajar masak sesuai dengan keinginan Mas Adrian sama Zahra kok.” Jelas Vania. Seketika anak dan bapak itu saling pandang dan melihat ke arah Aska yang sangat asyik dengan masakannya. Seketika keduanya menyesal karena tidak menghabiskan semalam masakan Vania, mereka lebih suka masakan Vania dibandingkan Mbok Ina. Tadinya Adrian berharap dibuatkan kopi yang sama seperti kemarin, ternyata Vania malah menyalahartikan sikapnya yang tak menghabiskan kopi dengan pemikiran tidak suka. Begitu juga dengan Zahra yang udah nggak sabar makan masakan Vania tapi malah dapat kembali masakan Mbok Ina. Keduanya kompak bungkam tanpa berniat bertanya dan meminta karena terlalu gengsi. Salah keduanya yang berpura-pura tak suka tapi sebenernya ketagihan. “Huaaa Aska kenyang banget Bunda.” Kata Aska sambil memegang perutnya. “Minum dulu Aska.” Peringat Vania. “Aku udah nggak mood buat makan! Masak aja nggak bisa gimana sih!” Kata Zahra dengan ketus, ia langsung berjalan keluar rumah. Vania hanya bisa tersenyum masam dan beralih melihat Adrian yang juga dari tadi diam belum makan sedikitpun. “Aska Papa berangkat ke kantor dulu. Kamu baik-baik sekolahnya ya.” Adrian sudah berpamitan pada anak bungsunya. “Hati-hati Pa.” Pesan Aska. “Saya berangkat dulu.” Kata Adrian sudah menggenggam tasnya. “Mas.” Panggil Vania, Adrian menoleh dan menaikkan alisnya. Vania mengulurkan tangannya dan menarik tangan Adrian untuk dia cium punggung tangannya sebagai baktinya sebagai istri. Pertama kali ia mencium punggung tangan suaminya saat mereka sudah resmi menjadi suami istri, kali ini Vania mencium kembali punggung tangan imamnya itu. “Hati-hati di jalan ya Mas, semangat kerjanya.” Pesan Vania. Adrian akhirnya sadar dengan keterkejutannya. Jujur ia merasa terkejut saat melihat Vania yang memberikan bakti padanya selaku istrinya. Ada perasaan hangat tapi akhirnya ia kembali sadar. “Ya.” Hanya itu jawab Adrian setelah itu ia pergi meninggalkan Vania. Wanita itu tersenyum simpul, setidaknya kewajibannya sudah dilakukan pikirnya.   ***** Sama seperti sebelumnya Zahra dan Aska minta ke mall dulu sebelum pulang maka Vania mengiyakan saja. Mereka bermain di wahana permainan yang ada di mall tersebut sampai harus menghabiskan uang yang lumayan. Kemudian mereka minta dibelikan ice cream maka Vania juga mengiyakan. Setelah itu mereka minta belikan mainan tapi kali ini Vania menolak. “Enggak Bunda lihat boneka kamu udah banyak. Aska juga mainan mobil-mobilnya udah banyak, ini juga udah ada Aska sama Zahra nggak boleh beli mainan kali ini.” “Tapi Aska mau Bunda.” Rajuk Aska. “Jangan ya sayang kan di rumah udah ada, mending uangnya ditabung beli yang lain aja. Beli yang bermanfaat aja okey?” Bujuk Vania dan diangguki anaknya itu. “Yaudah deh Bun.” Putus Aska. “Aku tetap nggak mau ya! Aku mau beli boneka itu titik!” “Enggak Zahra boneka doraemon kamu di rumah itu udah banyak banget dari yang kecil sampai yang besar. Ini juga sama kayak yang dirumah, jadi mending beli yang lain aja bisa dipake yang lebih bermanfaat nggak usah beli kayak gini.” “Gausah ribet deh! Lagian belinyakan bukan pake uang Tante! Itu pake uang Papakan! Jadi nggak usah ngatur-ngatur dong!” Vania menghela nafasnya. “Tapi uang Papa kamu itu berarti uang suami Bunda. Kamu nggak lupakan kalau Papa kamu itu suami Bunda? Jadi Bunda berhak buat ngatur juga, lagian kamu anak Bunda jadi Bunda berhak buat larang kamu.” Kata Vania masih dengan lembut. “Gausah ngaku-ngaku jadi Bunda yang sok baik deh! Buruan beliin!” “Sekali tidak tetap tidak Zahra! Itu terlalu boros namanya.” Kata Vania dengan tegas membuat Zahra semakin kesal. Ia menghentakkan kakinya dan meninggalkan Vania dan Aska terlebih dahulu. “Bunda, Aska capek ayo kita pulang.” “Okey ayo kita pulang.” Kata Vania sudah menggandeng tangan Aska. “Bunda, gendong Aska capek.” Vania segera menggendong Aska dan menuju parkiran. Sesampainya di mobil Zahra sudah ada di dalam terlebih dahulu. “Ayo, kita pulang Pak.” Kata Vania pada supirnya. Di tengah perjalanan Aska mengeluh kepalanya sakit. “Bunda kepala Aska sakit.” Aska sampai harus menangis karena kepalanya yang sakit membuat Vania khawatir. Zahra yang berada di depan melihat adiknya yang kesakitan sedang memegang kepalanya. “Sakitnya gimana bisa kasih tahu Bunda?” Tanya Vania sambil memegang kepala Aska dan kena kekeningnya ternyata panas. “Kamu demam!” Pekik Vania. “Pak buruan ke rumah Pak!” Teraik Vania panik. “Sabar ya sayang, sampai rumah kita kompres ya kita obatin ya.” Vania berusaha menenangkan Aska sambil memjiat kepala Aska yang katanya sedang sakit. Zahra jadi mengerucutkan bibirnya ke depan melihat Vania. Sesampainya dirumah Vania segera membawa anak laki-lakinya itu ke kamar. Ia meminta Mbok Ina membawakan es di wadah sama obat dan makanan. Sebelum itu Vania sudah menggantikan baju Aska terlebih dahulu dan mengukur suhunya. “Kamu makan sendiri ya Zahra, Bunda mau ngurus Aska. Kamu bisa minta sama Mbok Inakan?” Kata Vania pada Zahra yang ikut serta melihatnya. Setelah mendengar perkataan Vania ia segera menuju kamarnya guna mengganti baju dan makan sendiri. Vania menyuapkan Aska makanan setidaknya supaya ada isi perut Aska sebelum minum obat. Sebelum pulang tadi Vania juga minta disinggahi di apotik guna membeli obat untuk anak-anak yang sering diberikan dulu padanya. Setelah makan Vania memberikan obat dan mengompres Aska dengan air dingin seperti yang dilakukan Ibunya dulu. “Bunda, kepala Aska sakit.” Rengek Aska. “Iya sayang sabar ya, ini udah Bunda pijit ya.” Kata Vania, ia juga panik ketika tahu Aska sakit. Sebenernya udah biasa ia menghadapi orang sakit, apa lagi kedua adiknya kadang mau sakit dan ia yang mengurus. Tapi ini melihat Aska yang sakit sungguh ia tak tega dan entah mengapa ia jadi sangat panik dan ketakutan. Vania tak henti-hentinya menenangkan Aska sampai anaknya itu tertidur. Tapi Vania masih saja panik, ia tetap terjaga dan terus mengompres Aska bahkan ia sudah mengganti air kompresan Aska. Sore harinya Adrian pulang lebih cepat dari biasanya. Karena Adrian pulang biasanya malam hari, tapi kali ini kerjaanya lebih cepat selesai. Ia tak menemukan ke riweuhan anaknya Aska dan mencari Vania yang selalu ada di samping Aska. Ia hanya melihat anak sulungnya Zahra yang sedang menonton TV dengan wajah yang kesal membuat Adrian bertanya-tanya. “Zahra, kamu kenapa wajahnya kayak gitu?” Zahra menoleh dan baru sadar kalau Papanya baru pulang. “Aku kesal sama Tante itu! Aku udah ngerjain PR udah mandi juga tapi masih nggak dibolehin keluar rumah untuk main!” Adrian menaikkan alisnya. “Pasti Bunda punya alasankan?” “Iya karena nggak bisa pantau katanya! Aku kesal sama Tante itu! Tadi pulang sekolah kami ke mall nggak boleh beli mainan! Katanya mainan dirumah udah banyak, boros, beli yang bermanfaat aja! Sekarang juga Aska sakit makanya gabolehin aku main karena nggak bisa pantau.” “Aska sakit?” “Iya Aska demam tadi pulang sekolah, karena makan es krim kayaknya Pa. Tadi kamikan makan es krim. Pokoknya Tante itu nyebelin banget, Aska juga sakit pasti karena Tante itu.” Zahra berusaha memanas-manasin Papanya. “Jadi dimana Aska sekarang?” Kata Adrian dengan rahang yang sudah mengeras. “Di atas Pa.” Adrian segera naik ke atas dan diikuti Zahra dari belakang. Dengan keras Adrian membuka kamar Aska membuat Vania kaget karena kedatang Adrian yang tiba-tiba. Adrian segera mendekati Aska dan melihat wajah pucatnya. Membuat Adrian semakin marah dan langsung menatap Vania dengan tajam. “Kenapa anakku bisa sakit kayak gitu? Kamu apain dia?” “Aku nggak aa—” “Kenapa kamu nggak bawa ke rumah sakit aja kenapa harus di rawat dirumah di kompres kayak gitu! Kamu mau anak saya mati iya! Kamu kayak gitu karena ini bukan anak kamukan! Kamu mau bunuh anak saya secara perlahan-lahan! Bukannya di bawa berobat malah di diemin di rumah maksudnya apa.” Kata Adrian marah. “Mas ak—” “Kamu juga larang anak-anak untuk beli mainan maksudnya apa. Tugas kamu itu ngejaga anak-anak ikutin maunya mereka, jangan coba buat atur masalah keuangan. Kasih aja apa yang mereka minta, kalau uangnya habis kamu bisa minta sama saya. Karena saya kerja buat anak-anak. Kamu nggak usah khawatir untuk itu.” “Mas ka—” “Kamu emang nggak bisa diandalkan! Buat apa saya nikahi kamu kalau kayak gitu!” Seketika Vania bungkam, matanya sudah memanas dadanya serasa sesak. “Papa,” Rengek Aska. Adrian langsung menggendong Aska untuk di bawa ke rumah sakit. “Ayo Zahra ikut Papa ke rumah sakit.” Vania masih dalam keadaan sadar ia juga ikut bangkit berdiri. “Mas, aku mau ikut.” “Gausah di rumah aja!” Kata Adrian dengan ketus, membuat Vania tidak lagi bisa membantah. Jujur hatinya terlalu sakit tadi saat Adrian seperti menuduhnya banyak hal. Ia tak tahu kenapa Adrian bisa berpikiran seperti itu tentangnya. Padahal taka da sedikitpun ia berniat menyakiti Aska, malah ia sangat khawatir dengan Aska. Tapi yang paling menyakitkan perkataan Adrian terakhir. Vania tahu kalau dirinya di nikahi Adrian hanya untuk menyelamatkan tuntutan dari orangtuanya. Selain itu juga untuk mengurus anak-anaknya, tapi entah mengapa sakit menyakitkan mendengar perataan Adrian tadi baginya. “Kamu emang nggak bisa diandalkan! Buat apa saya nikahi kamu kalau kayak gitu!” Perkataan itu terus saja terngiang di kepalanya. Apa Adrian memang tidak pernah menganggapnya sedikit pun sebagai istri pikirnya. Apakah Adrian memang harus bersikap seperti itu? Vania memang tidak mengharapkan banyak, tapi setidaknya ia hanya mau dihargai sedikitpun. Kalau memang seperti itu mau diapakan pernikahan mereka? Apakah akan terus seperti ini? Entahlah ia sendiri tak tahu harus bagaimana.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD