Aya

1758 Words
POV Aya Dingin, kurasakan air yang nyaris beku perlahan menenggelamkanku. Samar terdengar gemericik air yang mengalir perlahan, dan juga suara tetesan air yang meluap dari pinggir bak mandi lalu jatuh ke lantai. Perlahan-lahan kurasakan suhu tubuhku perlahan menurun sampai sedingin es.  Kugerakkan jemari tangan kananku satu persatu, kuhitung, lalu kurasakan apakah benar ada lima jari disana. Kulakukan hal yang sama pada jemari kiriku, lalu perlahan-lahan kubuka mataku. Aneh sekali  rasanya saat kulihat lampu di langit-langit kamar mandi. Hal itu mungkin karena aku sudah terbiasa melihat hanya dengan satu mata. Kesadaranku masih belum pulih sempurna, akan tetapi aku bisa menyadari bahwa aku kini tengah bersandar di dalam bak mandi dengan wajah nyaris tenggelam. Setelah memejamkan mataku beberapa menit, kurasakan kesadaranku telah penuh. Kugunakan sisi bak mandi untuk menopang tubuhku agar aku bisa keluar dari air yang serasa menahan tubuhku. Lalu ketika tubuh telanjangku berhasil keluar. Kulihat sesosok bayangan pada cermin yang entah kapan terakhir kulihat. Rasanya ganjil melihat betapa tubuhku kini memiliki rambut panjang hitam lurus dan kulit pucat sementara selama ini tubuhku adalah mayat membusuk yang tak sedap dipandang. Seolah rasanya sekarang aku berada di tubuh orang lain. Semakin lama, rasa dingin yang membekukan ini semakin menusuk tulang. Mau tak mau aku harus keluar dari tempat ini. Kubuka pintu kamar mandi yang tak terkunci. kurasakan sedikit keraguan dalam diriku. Apakah anak laki-laki itu menungguku diluar kamar mandi ini? Aku bimbang apakah aku harus merasa malu pada kondisiku sekarang, selama ini aku telah melupakan apa itu rasa malu. Karena apa yang bisa dinikmati pandangan laki-laki dari seonggok mayat? Kubuka pintu biru itu. tak ada siapa-siapa yang ada di kamar anak laki-laki itu. Aku hanya menemukan sebuah gaun putih berenda di atas meja kecil, apakah anak laki-laki itu ingin agar aku memakainnya? Aku tak menemukan pakaian lain sebagai pilihan yang lain, terpaksa aku memakainnya untuk menutupi tubuhku. Gaun itu cukup panjang, menjuntai sampai kebawah lututku. Namun bagian d**a dan pinggang terlalu sempit dan membuat lekuk tubuhku terlihat begitu jelas. Ah... Tiba-tiba aku teringat sesuatu, nama anak laki-laki itu... Kalau tidak salah, Aji bukan? Apakah dia yang menyembunyikan pakaianku? Kubuka pintu kayu jati cokelat di depanku, pintu itu juga tak terkunci. Tak kudengar suara apapun selain samar-samar suara yang datang dari arah lantai bawah. Kulangkahkan kakiku dengan perlahan pada tangga. Meskipun kini aku berada dalam tubuh manusiaku, tapi aku masih belum bisa membiasakan diriku, beberapa kali aku hampir kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kulihat tidak ada siapapun di lantai bawah. Ruangan tengah rumah ini kosong, hanya ada sofa biru dan tv tua yang bisu. Kulangkahkan kakiku ke sebuah tempat yang kupikir adalah dapur, samar-sama suara semakin terdengar jelas, suara itu adalah suara air mendidih. "Aya?" Langkahku terhenti, suara yang memanggilku itu... Kini terasa menentramkanku...     ############# POV Aji Saputra Perasaan canggung, pernahkah kalian merasakannya? Perasaan itu sangat jarang kurasakan. Aku tak tahu mengapa, tapi mungkin hal itu karena aku jarang sekali peduli pada orang-orang di sekitarku. Namun kali ini, perasaan itu benar-benar kurasakan. Perasaan grogi bercampur aduk dengan perasaan yang tak terjelaskan, dan perasaan ingin terus tersenyum tapi tertahan oleh sesuatu hal yang tak kuketahui. Semua perasaan itu muncul dan kurasakan hanya karena gadis berambut panjang yang baru saja kukenal beberapa saat itu. Ia kini duduk tak jauh dariku, di sofa yang sama denganku. Ia terlihat benar-benar berbeda dengan dirinya yang sebelumnya, dengan wajah dan sepasang mata yang utuh, rambut lurus wangi semerbak kamboja, dan juga kulit putih bersih kemerahan. Ia duduk sedikit membungkuk, sepasang kakinya menjuntai lemah ke tanah, sementara itu kedua tangannya menggenggam kain gaun putihnya, wajahnya tertunduk menatap lantai, dan rambut hitam lurus panjangnya tergerai lalu terjatuh di atas permukaan empuk sofa merah. Ia hanya terdiam, setelah mengucapkan rasa terima kasih karena air kembang dalam cangkir yang kuberikan padanya... Ia lalu terdiam... Diam membatu dan membisu tanpa sepatah kata pun... Aya... Kuntilanak yang kutusuk kepalanya dengan Paku Puntianak Wesi Abang... Kini ia terlihat benar-benar seperti gadis remaja biasa... Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya... Ahh Aya... Kenapa ia mendadak terdiam membisu? Kenapa ia tidak protes? Kenapa ia tidak mencoba kabur? "Aji..." Kata-kata yang kutunggu akhirnya tiba, tersampaikan bagaikan angin sejuj yang datang dengan tiba-tiba... "Eh... Hmm... Ya... Aya?" Aya akhirnya mau bicara, suaranya lembut, sambil malu-malu mencuri pandang melihatku. Poni rambutnya menutupi sebagian wajahnya, hanya mata hitam jernihnya yang terlihat menatapku sembunyi-sembunyi. "Sekarang bagaimana? Apa yang akan kau lakukan padaku? Sekarang tak ada yang bisa kulakukan... Bahkan meskipun kupenggal kepalaku berkali-kali sekalipun, kau pasti bisa menghidupkanku kembali bukan? Selain itu... Kaburpun percuma... Dalam wujud manusia ini, aku benar-benar lemah... Aku tak akan bisa hidup diantara manusia dengan tubuh yang cepat membusuk seperti ini..." Kata-kata Aya membuat raut wajahku berubah menjadi muram. Kakek tua itu benar-benar menyerahkan tanggung jawab Paku Puntianak kepadaku, dan dengan itu otomatis Aya akan menjadi tanggung jawabku juga. "Entahlah... Untuk saat ini, yang aku bisa lakukan hanyalah memberimu tempat tinggal. Karena aku tak bisa meminjamkan kamar adik perempuan, atau kamar orang tuaku kepadamu... Kau boleh menggunakan kamarku, aku akan memindahkan barang-barangku yang ada disana." "Jangan... Kau tak perlu melakukannya, aku tak memerlukan semua hal itu... Yang aku butuhkan sekarang hanyalah alasan untuk hidup... Aji... Karena kamu telah mengubahku menjadi manusia... Kamu juga harus bertanggung jawab untuk memberikanku alasan untuk hidup!" Alasan untuk hidup? Tanpa sadar aku tertawa dalam hatiku, selama ini aku tak pernah memikirkannya... Kenapa aku hidup? Alasan aku dilahirkan? Tak ada satupun yang terpikir olehku... Karena aku hidup mengalir bagaikan air... Aku tak ada bedanya dengan jam dindingku yang kini menunjukkan pukul satu dini hari. Aku hanya terus bergerak, mengulangi setiap kejadian dalam hidupku begitu saja... Tanpa pernah memikirkan apa arti dari semua hal itu... Karena begitulah aku... "Tujuan hidup ya? Bagaimana kalau... Menjadi temanku selamanya?" Aku menatap sepasang mata hitam menawan milik Aya, ia balas menatapku penuh tanda tanya. Satu persatu helai rambutnya bergerak menunjukkab wajahnya. Terlihat manis dan polos, tidak seperti wajah-wajah penuh kemunafikan dan kepura-puraan yang selalu kulihat disepanjang perjalanan hidupku... "Eh? Menjadi seorang teman bagi Aji" Aku tertawa lepas, membiarkan Aya berada dalam kebingungannya "Bercanda... Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa tidak memiliki tujuan hidup? Bukankah sebelum ini kamu juga hidup sepertiku? Tak inginkah Aya bertemu teman atau keluarga Aya?" Pertanyaan spontan itu... Mungkin aku akan sedikit menyesalinya... Setelah mendengar pertanyaanku itu, Aya kembali menunjukkan wajah sedihnya. Wajah sedih yang ia tunjukkan di jendela kamarku setiap aku melihatnya sedang duduk di dahan pohon beringin. "Aku... Aku tidak tahu... Apakah aku punya keluarga... Atau pernah hidup seperti Aji... Hal itu... Karena aku tak memiliki ingatan apapun dalam diriku... Selama ini aku hidup hanya dengan mengandalkan insting bertahan hidupku. Bahkan saat aku meminum darahmu, aku hanya berpikir kalau aku hanya sedang merasa kelaparan dan ingin memakan sesuatu... Aku.. Aku benar-benar tak ada bedanya dengan monster bukan?" Aya tersenyum kecut sambil menundukkan wajahnya, ia melihat kaki panjangnya yang terayun-ayun di bawah meja hitam. "Tidak Aya... Tak ada yang salah dengan bertahan hidup... Jika kau terpaksa menyakiti orang lain agar tetap hidup... Takkan ada yang menyalahkannya... Yang terpenting adalah rasa penyesalan dan usahamu agar kau tidak menyakiti orang lain lagi... Lalu kemudian... Kalau kau memang tak biasa menahannya lagi... Kalau kau terpaksa menyakiti orang lain... Lakukanlah, lakukanlah pada seseorang yang akan selalu memaafkanmu. Dan mengerti perasaanmu yang sebenarnya. Mengerti perasaanmu bahwa sebenarnya kamu tidak ingin menyakiti siapapun..." Aya terdiam, entah apakah ia mengerti kata-kata yang kuucapkan padanya atau tidak. Aku terlalu banyak bicara, itu menurutku. Seharusnya aku tak terlalu ikut campur dalam urusannya... Kami masih belum saling mengenal. Aku mungkin hanyalah orang asing yang masuk dengan paksa pada kehidupannya. "Apakah... Apakah di dunia itu ada orang yang bisa selalu memaafkan kesalahan dan juga memahamiku dalam waktu yang sama? Disakiti terus-menerus olehku itu, pastinya akan terasa sangat menderita..." Aya terdiam, ia terlihat mengharapkannya... Ia bukanlah orang yang jahat. Aya hanyalah seorang gadis yang entah bagaimana, terjebak dalam kondisinya kini... "Kalau Aya memang mencari orang yang seperti itu... Mungkin Aya sudah menemukannya..." Aku merasa bodoh telah mengatakannya... Aku yang biasanya bersikap cuek kini mencoba bersikap keren, rasanya benar-benar terasa aneh. "Maksud Aji?" Aku hanya terdiam, lalu tersenyum... Apakah perasaanku yang tak dapat terungkap oleh kata-kata ini akan tersampaikan padanya? Aku rasa tidak. Aya hanya terus menatapku, ia menanti jawaban yang terkunci dalam bibirku. Akan tetapi sayang... Aku tak mampu mengatakannya... "Tidak... Tidak ada apa-apa. Pokoknya, mulai sekarang yang terpenting adalah mencari ingatanmu yang hilang itu..." "Hmm... Aku mengerti..." Aya mengangguk, untuk beberapa alasan kami tersenyum bersama. Setelah itu aku menceritakan banyak hal. Pertemuanku dengan Kakek Slamet, Paku Puntianak, dan juga cerita tentang Agnia yang misterius. Aya mendengarkan cerita itu dengan seksama. Ia terus menatapku, membuatku merasa bahwa ia benar-benar mendengar ceritaku. Sesekali Aya mengangguk, menanggapi ceritaku dengan menanyakan hal yang tidak ia mengerti, atau mengomentari beberapa hal yang ia sukai. "Sepertinya, Aji mendapatkan banyak masalah karena mendekatiku..." "Tapi aku tak keberatan dengan semua hal itu..." Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ahh ya pesan kakek tua itu tentang makanan untuk Aya... "Tunggu sebentar Aya. Ada sesuatu yang harus kulakukan..." Kuanjakkan tubuhku dari sofa, mengambil cangkir gelas Aya yang telag kosong, lalu berjalan menuju dapur melewati meja hitam. Aku kembali setelah mengambil air kembang tujuh rupa yang sudah kuseduh dengan air hangat dan juga sepiring makanan untuk camilan Aya. Kuhidangkan air seduhan itu dan makanannya dengan nampan. Aya hanya menatapku kebingungan, ia sepertinya sedikit trauma dengan air yang kuberikan padanya tempo hari... "Kakek Slamet.. Si tua itu berkata padaku, kalau kamu hanya boleh minum air kembang tujuh rupa dan makanan sesaji. Aku kesulitan mengingat apa saja jenis makanannya, tapi untuk kali ini aku akan memberikanmu telur ayam kampung rebus." Telur rebus tanpa garam dan tanpa cangkang kulit terhidang di atas piring kaca, jumlahnya ada delapan buah. Baunya harum beradu dengan bau seduhan kembang tujuh rupa dalam sebuah cangkir putih gading. Aya mengambil cangkir putih gading terlebih dahulu, menikmati aromanya lalu menyeruputnya perlahan. "Bagaimana Aya?" "Rasanya tubuhku menjadi hangat setelah meminumnya..." Aya meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja, kemudian dengan perlahan ia mengambil salah satu telur ayam kampung rebus dan memegangnya dengan kedua tangannya. Ia tiup uap yang masih mengepul di atas telur seputih s**u itu, Aya lalu mencoba menggigitnya. Samar-samar kulihat gigi taring mungil yang pernah ia gunakan untuk menggigitku. Gigitan pertama Aya berhasil membuat wajahnya menjadi cerah, sepertinya ia benar-benar senang karena dapat memakan makanan manusia, setelah selama ini meminum darah... "Ini enak sekali Aji... Rasanya benar-benar gurih. Ah... Sudah kuputuskan, telur ayam kampung rebus ini akan menjadi makanan kesukaanku..." Gadis berambut panjang yang pernah kulihat dengan tatapan menyedihkan itu kini tersenyum... Tersenyum lepas seolah tanpa beban... Entah kenapa aku merasa lega... Akhirnya sekarang aku bisa menghapus kesedihannya... Untuk sementara waktu...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD