Aku baru saja sampai rumah setelah melewati kisah panjang dalam reuni memuakkan itu. Bayang-bayang kemesraan dan tawa dua manusia tak tahu diri itu masih terus mengganggu. Seolah selalu mengejarku tiap waktu.
"Sar ... tunggu! Aku akan menjelaskan sesuatu padamu," ucap Mas Indra dengan terengah-engah.
Tak selang lama kulihat perempuan itu pun mengejarnya. Bajunya sedikit koyak di bagian lengan, rambutnya pun acak-acakan bahkan make upnya cukup berantakan. Entah habis perang darimana dia bisa sehancur itu.
"Nggak perlu menjelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah jelas! Lihat perempuanmu itu, kasihan sehancur itu!" Gegas aku masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Marto untuk meninggalkan parkiran cafe.
Namun belum sampai keluar parkiran, mendadak Mas Indra menghadang mobil yang kunaiki. Dia merentangkan kedua tangannya seolah pasrah untuk kutabrak. Wajahnya tampak begitu memelas sembari mengucapkan puluhan maaf.
Ngapain lagi sih! Apa dia memang sudah bosan hidup hingga berdiri di depan mobil yang hendak melaju seperti ini?
"Pencet klaksonnya, Pak. Kalau dia nggak mau pergi, tabrak aja sekalian!" Ucapku geram.
"Astaghfirullah ... istighfar, Bu ...." Pak Marto melirikku dari spionnya.
Mataku mulai berair. Kututup wajahku dengan dua telapak tangan seraya mengucap istighfar bsrkali-kali. Oh Allah, sakit hati ini memang terlalu dalam. Cinta dan kesetiaan yang selama ini kugenggam, justru dia balas dengan pengkhianatan.
Kurang apa aku? Kuterima semua kekurangan dan kelebihan yang dia punya. Kutinggikan derajatnya di mata manusia. Kuhormati dan kusayangi dia dengan sepenuh jiwa namun justru dia balas dengan mendua.
Dulu aku selalu memujinya, menceritakan kebaikan-kebaikannya bahkan memilihnya untuk kujadikan sebagai pasangan hidup demi meraih cintaNya meski berulang kali almarhum ibu memintaku untuk menikah dengan pilihannya.
Puluhan kali kuyakinkan ibu bahwa Mas Indra adalah laki-laki terbaik yang pernah kukenal. Dia sangat sopan, perhatian dan bertanggungjawab. Tak lelah kurayu ibu untuk menerimanya sebagai menantu karena aku tulus mencintainya. Karena itulah kemudian ibu merestui pernikahanku meski dalam hatinya tersimpan kecewa.
Ya ... aku tahu ibu kecewa karena aku telah memilihnya. Bukan memilih laki-laki pilihan ibu yang bernama Rama. Tapi ibu tetap menghargai pilihanku meski tetap ada rasa tak suka tiap kali ibu berbicara dengan Mas Indra.
Apa kurangnya aku? Urusan wajah, aku juga tak terlalu buruk. Urusan badan, aku pun tak terlalu gemuk juatru cukup ideal. Soal harta, aku memiliki harta yang cukup lumayan karena kakakku Attar memiliki bisnis batu bara di luar jawa bersama kawannya. Dan di kota ini, dia membangun usaha di bidang properti khusus pembangunan perkantoran atau kost-kostan. Kini Mas Indra yang kupercaya memegang usaha Kak Attar, itu pun atas persetujuannya.
Mas Indra yang dulu hanya penjaga toko grosiran tempatku berbelanja dengan gaji biasa, kini memiliki jabatan penting di kantor kakakku dengan gaji yang tak bisa dibilang biasa. Namun saat dia sudah di atas justru pengkhianatan yang kuterima.
Lagi-lagi aku hanya mengucap istighfar berkali-kali hingga kudengar suara ketukan di kaca mobilku. Mas Indra sudah berada di sana dengan wajah memohon. Kubuka setengah kaca mobil dengan tatapan benar-benar tak bersahabat. Di belakangnya, perempuan gatel itu berusaha menarik lengannya pelan namun Mas Indra berusaha menepisnya. Ada tatapan kesal yang terlihat di wajahnya.
"Sarah ... aku bisa menjelaskanmu apa yang sebenarnya terjadi diantara aku dan Siska. Kita bicara di rumah, ya? Aku ikut ke mobilmu, karena mobilku masih di bengkel. Entah mengapa tadi tiba-tiba mogok saat mau ke sini," pintanya dengan wajah memelas.
"Mobilmu, Mas? Itu juga mobilku!" Ucapku ketus.
"Ya ... ya. Oke, itu mobilmu. Kita bicarakan masalah ini di rumah agar kita sama-sama tak gegabah mengambil keputusan," lanjutnya.
Aku hanya tersenyum sinis. Mau apa lagi dia? Sudah kubilang tak perlu ada yang dibicarakan lagi namun dia tetap memaksa.
"Mas, kamu mau ke mana? Jangan tinggalkan aku dong, Mas" Perempuan itu mulai berani bicara. Dia kembali menarik lengan Mas Indra, aku pura-pura tak melihatnya. Kututup kembali kaca mobil saat gerombolan teman-teman SMA itu setengah berlari menuju ke arah kami.
Kutinggalkan Mas Indra begitu saja saat dia berusaha membuka pintu mobilku yang sudah terkunci. Tak kupedulikan panggilan Mas Indra yang berulang kali.
Jarum jam menunjuk angka empat, namun Mas Indra belum juga datang padahal tadi dia bilang dengan wajah cukup serius ingin membahas masalah ini di rumah. Apa dia kembali luluh dengan tatapan iba dan manja perempuan itu? Aku tak mengharapkannya kembali, hanya sekadar ingin tahu seberapa besar keseriusannya tadi.
Kudengar deru mobil Mas Indra memasuki garasi. Dia membuka pintu setelah mengucap salam. Dia melangkah perlahan menuju sofa tempatku duduk dengan sedikit senyum seolah tak terjadi apa-apa. Ada sebuah buket bunga di tangannya. Apa dia pikir, pengkhianatannya selama ini cukup lunas dengan dibayar sebuket bunga? Konyol!
"Sarah ... ini buket bunga yang cantik untuk perempuan cantik pula," ucapnya dengan senyum merekah di kedua sudut bibirnya.
Dulu mungkin aku tersenyum bahagia mendengar rayuannya tapi sekarang aku justru jijik melihatnya. Entah berapa banyak buket bunga yang dia kirimkan pula untuk perempuan gatelnya itu.
"Kenapa, Sayang? Kamu tak suka?"
"Pilih aku yang menggugat atau kamu yang menjatuhkan talak," ucapku kemudian.
Mas Indra kembali menghembuskan napas panjang saat mendengar pertanyaanku. Dia masih tak percaya jika aku seberani itu menggugatnya.
Ya ... aku paham. Dia pasti merasa di atas awan karena tahu aku terlalu mencintainya. Aku selalu memujinya bahkan aku selalu menutupi kekurangannya di depan almarhum ibu, di depan saudara ataupun Kak Attar. Bukan karena aku dibutakan cinta namun aku hanya berusaha menjadi istri terbaiknya. Istri yang menjaga aib-aibnya dan kehormatannya.
Tapi apa? Semua pengorbananku hanya dibalas dengan mendua. Gila bukan? Ya, kupikir dia memang sudah gila. Gila dengan cinta bodohnya itu.
"Sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu, Sarah. Aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah duka. Duka yang penuh dusta.
"Kalau begitu tunggu panggilan sidang dari pengadilan, karena aku yang akan menggugatmu," jawabku ketus.
Mas Indra menggeleng pelan. Bahkan dia berusaha meraih kedua tanganku untuk memohon. Kutepis tangannya pelan, aku tak ingin menarik kembali kata-kata yang sudah kuucapkan.
"Sar, rumah tangga kita sudah berjalan tiga tahun. Masak hanya karena masalah ini kita akan berpisah. Apa tak ada jalan keluar lain selain perceraian?"
Dengan santainya Mas Indra menanyakan hal itu. Pertanyaan konyol yang pernah kudengar. Sebuah pengkhianatan dia bilang 'hanya karena masalah ini'? Seolah pengkhianatan yang dia berikan sekadar masalah kecil yang tak perlu dibesar-besarkan. Sesantai itu dia bicara tanpa pernah meraba bagaimana sakitnya hati dan sesaknya d**a.
"Hanya karena masalah ini kamu bilang, Mas? Kamu pikir hatiku terbuat dari batu yang tak bisa sakit hati? Atau kamu kira aku sudah mati rasa? Seenak jidat memintaku memaklumi sebuah pengkhianatan!"
"Kamu tak perlu mengambil pusing soal Siska, Sayang. Karena aku hanya sekadar iseng berhubungan dengannya. Cinta tulusmu tak akan mungkin tersisih oleh cinta semunya" Mas Indra menatap kedua mataku lekat.
"Halah! Kamu pikir aku percaya? Nggak, Mas! Kamu nggak ingat bagaimana perjuanganku dulu meminta restu ibu dan kakakku? Kamu lupa jika dulu kamu siapa dan kini siapa? Begitu mudahnya kamu mengkhianati rumah tangga kita setelah kamu memiliki gaji yang tak biasa. Sekarang kamu pergi dari rumah ini, karena besok kakakku akan pulang. Dia pasti akan menghajarmu jika kamu masih memaksa untuk tinggal di sini!" Ucapku lagi. Mas Indra sedikit terkejut mendengar ucapanku.
Ya ... aku memang menceritakan masalah ini dengan kakakku. Hanya dia yang kumiliki dan dia berhak tahu tentang apapun yang terjadi dalam hidupku.
"Pergi, Mas. Atau kamu memang siap babak belur dihajar kakakku," ucapku singkat.
Kudengar hembusan napas panjang dari Mas Indra.
"Jika memang dengan itu bisa mengembalikan cinta dan mengurungkan gugatanmu, aku rela melakukannya" Mas Indra menatapku penuh keyakinan, tak berkedip hingga beberapa detik lamanya.
Sandiwara apa lagi ini?
***