11 - Memanfaatkan Devina.

2002 Words
Ponsel milik Devina berdering ketika sang empunya baru saja keluar dari walk in closet. Devina meraih ponselnya, tersenyum lebar saat tahu jika sang kekasihlah yang menghubunginya. "Selamat pagi, Sayang." Itulah sapaan yang Devina dengar ketika panggilannya dan Benedick tersambung. Devina membalas sapaan Benedick dengan penuh semangat. "Hari ini kita akan pergi jalan-jalan, kan?" Devina baru saja akan menjawab pertanyaan Benedick ketika suara dari Dean yang berasal dari luar kamarnya terdengar. "Nona, sudah waktunya untuk sarapan!" Dean terlebih dahulu mengetuk pintu kamar Devina, dan setelah itu barulah berteriak, memberi tahu Devina jika waktunya untuk sarapan. "Ok, sebentar lagi aku keluar!" Devina membalas teriakan Dean. Setelah mendapatkan jawaban dari Devina, Dean berlalu pergi meninggalkan kamar Devina. Dean akan menunggu Devina di ruang makan. "Tentu saja jadi." Devina bisa mendengar Benedick yang terlihat sekali sangat bahagia begitu mendengar jawabannya. "Baiklah kalau begitu, sampai bertemu di kampus. Bye, Sayang." "Bye, Ben." Devina memasukkkan ponselnya ke dalam tas, dan bergegas keluar dari kamar. Devina tidak mau membuat semua orang menunggu kedatangannya. Brian, Brianna, dan Devian sudah berkumpul di ruang makan ketika Devina datang. Begitu Devina datang, sarapan pun di mulai. "Daddy dan Mommy akan melanjutkan perjalanan kita ke Indonesia," ucap Brian setelah melihat jika istri serta kedua anak kembarnya sudah selesai menikmati sarapan. "Daddy dan Mommy akan tetap pergi ke Indonesia?" Devina pikir kalau kedua orang tuanya tidak jadi pergi ke Indonesia. "Iya, Sayang, Daddy dan Mommy akan tetap pergi." "Sampai kapan Daddy dan Mommy di sana?" Kali ini giliran Devian yang bertanya. "Mungkin sekitar 2 minggu, untuk pastinya, Daddy tidak tahu sampai kapan Daddy dan Mommy akan berada di sana." "Apa itu tidak terlalu lama?" "Daddy dan Mommy pergi ke Indonesia bukan untuk berlibur, Devina, tapi sebenarnya untuk bekerja. Ada hal penting yang harus Daddy urus, begitu juga dengan Mommy." Brian akhirnya menjelaskan alasan kenapa dirinya dan Brianna pergi ke Indonesia. Keduanya baru akan berbulan madu jika memang sempat, jika tidak sempat, maka mereka akan terbang kembali ke London. "Dad." "Kenapa, Devian?" Devian terlebih dahulu berdeham, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Brian. "Apa Daddy dan Mommy berencana untuk membuatkan kita berdua adik?" tanyanya sambil menunjuk dirinya dan Devina. Pertanyaan Devian mengejutkan semua orang yang saat ini berada di ruang makan. Brian dan Brianna bahkan dengan kompak tersedak, lain halnya dengan Devina yang hanya bisa memasang raut wajah tekkejut. "Kakak ih!" Teriak Devina sambil memukul bahu Devian. "Kenapa Kakak dipukul?" Devian mengusap bahunya yang baru saja dipukul dengan kuat oleh Devina. "Apa kalian berdua mau memiliki adik?" Pertanyaan tersebut terlontar dari Brian sebelum Devina sempat menjawab pertanyaan Devian. "Mau!" "Enggak!" Devian dan Devina menjawab kompak pertanyaan Brian. Devian menjawab mau, sedangkan Devina menjawab enggak. Devian menatap Devina, begitu juga dengan Devina yang menatap Devian. Saat ini mata keduanya sama-sama melotot. "Bagi Mommy kalian berdua sudah cukup." Brianna yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, mengeluarkan pendapatnya. Jawaban Brianna membuat Brian dan Devian kecewa, lain halnya dengan Devina yang sekarang terlihat sekali sangat bahagia. "Yah, Mommy, kenapa tidak mau memberi Devian adik?" Devian tidak akan menyebut Devina karena Devina jelas menolak untuk memiliki adik. Devian sangat ingin memiliki adik yang berjenis kelamin laki-laki. "Mengurus kalian berdua saja Mommy sudah lelah, apa jadinya jika harus memiliki anak lagi? Mungkin Mommy akan stres," keluh Brianna di akhir kalimatnya. "Mommy tidak akan stres, kan ada Daddy, Devian, dan para pelayan yang akan membantu Mommy." Devian masih berharap jika Brianna mau memberinya adik. Brian mengangguk, menyetujui ucapan Devian. "Pokoknya Mommy tidak mau lagi memiliki anak, cukup kalian berdua saja!" "Yey!" Devina memekik kegirangan begitu mendengar jawaban tegas Brianna. Saat ini Devina tampak bahagia, lain halnya dengan Brian dan Devian yang tampak murung. Keduanya sama-sama sedih karena keinginan mereka tidak akan terkabul. *** Setelah sarapan bersama, Brian dan Brianna pergi ke Indonesia, sementara si kembar Devian dan Devina pergi ke kampus. Seperti biasa, Dean, Han, dan Arion menunggu Devina sampai Devina selesai belajar, begitu juga dengan pengawal Devian. Beberapa jam kemudian, Devina selesai belajar, dan sekarang, Devina sudah bersama dengan Dean. Devina meminta Dean untuk tidak menjalankan mobil, jadi sampai saat ini, mobil masih berada di tempat parkir. "Jadi ... ada apa?" Dean berbalik menghadap Devina. Devina bilang, ada yang mau Devina sampaikan padanya, jadi Dean penasaran, apa yang akan Devina katakan? "Hari ini, aku mau pergi bersama dengan teman-teman aku, boleh kan?" Devina memasang raut wajah memelas, berharap kalau Dean akan memberinya izin untuk pergi. "Pergi? Pergi ke mana?" "Pergi makan di restoran." Devina tidak akan memberitahu Dean ke mana dirinya akan pergi karena Dean pasti akan melarangnya pergi. "Ok, tapi hanya sampai sore, tidak sampai malam." Dean memutuskan untuk memberi Devina kelonggaran karena ia tahu, Devina juga butuh waktu main bersama teman-temannya. Dean tidak mau Devina merasa stres setelah kedatangannya, meskipun sebenarnya kehadirannya, Han, dan Arion pasti membuat Devina stres. Devina merasa di kekang dan tidak bisa sebebas sebelumnya. "Jadi aku boleh pergi bersama dengan mereka?" tanya Devina dengan kedua mata berbinar. "Tentu saja boleh." Atensi Dean kembali tertuju ke depan, lalu Dean mulai mengeluarkan mobil dari tempat parkir. Apa yang Dean lakukan membuat Devina kebingungan. Bukankah seharusnya Dean memintanya untuk keluar dari mobil? "Tanpa pengawalan, kan?" Devina mau pergi tanpa adanya pengawal, kalau para pengawal ikut, bagaimana ia bisa pergi berkencan berdua dengan Benedick? "Tentu saja tidak!" Dean menjawab tegas pertanyaan Devina. Raut wajah Devina yang awalnya terlihat bahagia berubah menjadi sedih. Devina pikir, ia boleh pergi tanpa adanya pengawalan dari Dean juga kedua temannya, tapi ternyata para pengawal tersebut harus tetap pergi bersama dengannya. Kalau begini caranya, ia tidak akan bisa pergi berkencan dengan Benedick. Devina yakin, Benedick pasti kesal padanya karena ia tidak bisa menepati janjinya untuk pergi berdua. "Jangan pernah berpikir jika kamu bisa pergi tanpa pengawal, Nona, karena itu tidak akan pernah terjadi," ucap Dean sambil tersenyum tipis. Devina tidak menanggapi ucapan Dean. Devina menatap lurus ke depan sambil memasang raut wajah masam, bahkan kini kedua tangannya bersedekap. "Jadi, mau pergi atau tidak?" Dean malah akan sangat bersyukur jika Devina tidak akan pergi bersama dengan teman-temannya. "Tentu saja jadi," balas ketus Devina. "Jadi ke mana kita akan pergi?" Devina lalu memberi tahu Dean ke mana mereka harus pergi. Tak sampai 5 menit kemudian, mereka sampai di tempat tujuan. Devina tahu jika Benedick, Carlos, dan Krystal sudah tiba di restoran, karena Devina melihat mobil milik Benedick terparkir di sampingnya. Benedick tersenyum lebar begitu melihat kedatangan Devina, tapi senyum di wajah Benedick tidak bertahan lama. Senyum di wajah Benedick luntur begitu melihat jika Devina tidak datang sendiri, tapi bersama dengan ketiga pengawalmya. Benedick sontak mengumpat, tak bisa menyembunyikan emosinya. Tapi begitu melihat Devina mendekat, Benedick kembali memasang raut wajah ceria. Benedick tidak mau membuat Devina kesal. "Apa kalian sudah menunggu lama?" "Belum, kita semua juga baru saja sampai kok." Benedicklah yang menjawab pertanyaan Devina. Devina duduk di samping Benedick sesaat setelah memanggil pelayan. Begitu pelayan datang, mereka semua mulai memesan makanan juga minuman. "Devina." "Iya, Carlos." Devina menatap Carlos yang duduk di hadapannya. "Lo tahu, kita semua terkejut saat tahu kalau sekarang lo mempunyai tiga pengawal," jawab Carlos sambil menunjuk ketiga pengawal Devina yang saat ini duduk cukup jauh dari tempatnya dan teman-temannya berkumpul. Kedua pengawal Devina duduk dengan posisi membelakangi meja yang saat ini di tempati oleh Devina juga teman-temannya, hanya ada satu pengawal yang duduk menghadap meja tersebut, dan orang tersebut adalah Dean. Carlos terus menatap Dean dengan tatapan permusuhan, dan Dean membalas tatapan Carlos dengan tak kalah tajamnya. Dean sama sekali tidak takut pada Carlos, dan itu terbukti, karena sekarang, Carloslah yang takut pada Dean. Begitu Dean membalas tatapannya, Carlos berhenti menatap Dean. "Termasuk gue," sahut Krystal sambil menunjuk dirinya sendiri. "Apa mereka harus selalu ikut ke mana pun lo pergi?" Krystal tidak berani menatap para pengawal Devina, terutama Dean. Sejak pertama kali melihat Dean, lebih tepatnya ketika Dean menabrakkan diri ke mobil milik Benedick beberapa hari yang lalu, Krystal sudah sangat ketakutan. Aura yang Dean keluarkan benar-benar membuat Devina merinding ketakutan. "Iya, mereka bertiga harus ikut ke mana pun gue pergi." "Apa tidak bisa sehari saja tanpa para pengawal?" Benedick bertanya ketus. Kehadiran para pengawal Devina benar-benar sangat merugikan Benedick. Benedick jadi tidak bisa dengan bebas mengajak Devina pergi bersamanya. "Untuk sekarang, itu sangat mustahil," balas lirih Devina. Devina tahu kalau Benedick juga teman-temannya tidak menyukai kehadiran para pengawalnya, karena ia juga merasakan hal yang sama dengan keduanya, tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa menentang keputusan sang Daddy. Tak lama kemudian, makanan yang Devina dan teman-temannya pesan tiba. Devina bersyukur karena itu artinya, teman-temannya akan berhenti membahas tentang para pengawalnya. "Sebaiknya kita makan dulu." Semua orang mengangguk, setuju dengan saran yang baru saja Benedick berikan. Tak terasa, 2 jam sudah berlalu sejak Devina berkumpul bersama dengan Benedick, Carlos, dan Krystal. "Sayang," ucap Benedick sambil mengusap punggung Devina. "Iya, Ben, ada apa?" Devina menatap Ben. "Aku lupa membawa dompet, kamu bisa kan membayar semua makanan yang tadi kita pesan?" Tanpa tahu malu, Benedick mengatakan permintaannya. Ini bukan kali pertama Benedick meminta Devina melakukan hal tersebut, jadi memang, Benedick sudah tidak lagi merasa malu atau pun canggung, yang ada adalah, Benedick akan pura-pura terlihat sedih ketika meminta Devina membayar semua makanan tersebut. Benedick akan pura-pura merasa bersalah karena lupa membawa dompetnya. "Ok." Tanpa banyak berpikir, Devina menyetujui permintaan Benedick. Benedick memanggil pelayan, lalu Devina pun melakukan transaksi pembayaran. "Terima kasih, Devina," ucap Krystal sambil tersenyum lebar. Bukan hanya Krystal yang saat ini tersenyum lebar pada Devina, tapi Benedick, dan Carlos juga tersenyum sama lebarnya dengan Krystal. "Sama-sama," balas Devina sambil tersenyum simpul. Mereka pun berpisah. Benedick, Carlos, dan Krystal pergi bersama, sementara Devina akan pergi bersama ketiga pengawalmya. Arion dan Han sudah meninggalkan restoran, sementara Dean masih berada di restoran. Dean masih duduk di tempat semula. Devina menghampiri Dean, dan sekarang berdiri tepat di samping kanan Dean. "Sudah?" tanya Dean tanpa melihat Devina. "Iya, sudah," jawab Devina sambil mengangguk. Dean berdiri, lalu keluar dari restoran, diikuti oleh Devina yang berjalan di belakangannya. Saat ini, Dean dan Devina sudah berada di dalam mobil yang melaju keluar dari area restoran. "Jadi, siapa yang membayar semua makanan tadi?" Dean melirik Devina, dan Dean bisa melihat betapa terkejutnya Devina ketika mendengar pertanyaannya. "Tentu saja Benedick." Devina tidak akan memberi tahu Dean kalau sebenarnya dirinyalah yang membayar semua makanan tadi. Devina takut jika Dean akan menghina Benedick. Padahal tanpa Devina sadari, Dean sudah tahu siapa orang yang membayar semua makanan tadi. Dean melirik Devina sambil memasang senyum simpul. "Benarkah?" tanyanya dengan nada mengejek. "Te-tentu saja, benar." Devina menjawab gugup pertanyaan Dean. Senyum mengejek yang Dean berikan membuat Devina seketika berpikir jika Dean tahu sesuatu. "Om Dean enggak tahu kan kalau aku yang membayar semua makanan tadi?" Devina membatin. Dean tidak lagi menanggapi ucapan Devina, dan fokus ke depan. "Cinta memang benar-benar bisa membuat orang jadi bodoh." Dean bergumam, selang beberapa detik kemudian berdecak. Setelah melihat apa yang baru saja terjadi pada Devina, Dean seketika berpikir jika saat ini Devina sedang di manfaatkan oleh Benedick juga kedua temannya yang lain. Sepertinya Benedick, Carlos, dan Krystal berteman dengan Devina karena Devina adalah anak konglomerat, dengan kata lain, mereka bertiga memanfaatkan kekayaan Devina demi keuntungan mereka sendiri. Sepertinya Devina tidak sadar kalau kekasih dan juga kedua temannya hanya memanfaatkan dirinya. Dean juga penasaran, sudah berapa lama Devina berteman dengan ketiganya? Dan apa saja yang sudah Devina lakukan untuk ketiga teman brengseknya itu? Dean yakin kalau ini bukan kali pertama Benedick, Carlos, dan Krystal memanfaatkan Devina. Sekarang apa yang harus Dean lakukan supaya Devina sadar jika Devina hanya di manfaatkan oleh Benedick, Carlos, juga Krystal? Dean harus melakukan sesuatu sebelum semuanya bertambah parah. Sekarang mereka hanya meminta Devina untuk membayar makanan, lalu besok dan seterusnya apa? Apa mereka akan meminjam uang pada Devina? Itu bisa saja terjadi, dan Dean tidak mau itu terjadi. "Om bilang apa?" Devina mendengar gumaman Dean, tapi Devina tidak bisa mendengarnya dengan jelas. "Tidak ada," balas singkat Dean. Dean tak habis pikir, bisa-bisanya Devina berbohong padanya. Bohongnya Devina membuat Dean kecewa, tapi di satu sisi, Dean tahu apa yang Devina takutkan jika Devina jujur padanya. Begitu sampai di mansion, Devina memutuskan untuk istirahat, begitu juga dengan Dean, Arion, dan Han.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD