04 - Amarah Devina.

1805 Words
Untuk kesekian kalinya, Dean berdecak sesaat setelah melihat jam mewah yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Seharusnya, sejak 15 menit yang lalu, Devina sudah menyelesaikan kuliahnya, tapi sampai sekarang, Devina belum juga menunjukkan batang hidungnya di hadapan Dean. "Ke mana perginya gadis itu?" gumam Dean dengan raut wajah kesal. "Arion, Han, masuklah, dan cari di mana Devina!" titah tegas Dean pada kedua rekannya yang sejak tadi sibuk mengobrol di sampingnya. "Ok." Arion dan Han menjawab dengan kompak. Keduanya lalu pergi meninggalkan Dean yang akan tetap menunggu di tempat parkir. Dean akan berjaga-jaga, takut kalau Devina datang. Mungkin Devina sedang pergi ke toilet, mungkin. Sebenarnya Dean tidak yakin kalau Devina akan datang, hanya saja, Dean masih berharap kalau Devina akan datang. 5 menit sudah berlalu sejak Arion dan Han pergi mencari Devina ke dalam kampus. Dean yang sejak tadi berdiri bersandar di mobilnya lantas menegakkan tubuhnya sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah, mencari di mana Devina. Mata Dean memicing ketika melihat siluet dari gadis yang sejak tadi ia cari-cari ada di sebuah mobil sedan yang baru saja melewatinya. Dean berdecak, kemudian mengejar mobil yang sudah mendekati gerbang. Dean berhasil mengejar mobil tersebut, sekaligus menghentikan lajunya. Semua orang yang ada di dalam mobil terkejut ketika melihat seorang pria tiba-tiba berlari ke arah mobil yang mereka tumpangi, dan pria itu hampir saja tertabrak jika saja sang pengemudi mobil tidak segera menginjak rem. "Astaga! Apa pria itu ingin bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke mobil gue?" Benedick, pria yang berada di balik kemudi akhirnya mengumpat, bahkan membunyikan klakson sebanyak 3 kali, saking keselnya. "Bisa jadi!" sahut Carlos, salah satu teman Benedick. Total ada 4 penumpang dalam mobil tersebut, terdiri dari Benedick, Carlos, Krystal, dan Devina, gadis yang sejak tadi Dean cari-cari. Ya, ternyata, Devina berada di dalam mobil tersebut bersama dengan teman-temannya. Rencananya, mereka akan pergi jalan-jalan bersama. Carlos dan Krystal duduk di bagian belakang, sementara Devina duduk di kursi depan, bersama dengan Benedick, kekasihnya. "Om Dean?" gumam Devina tanpa sadar. Benedick, Carlos, dan Krystal sontak menoleh pada Devina yang saat ini memasang raut wajah ketakutan. Mimik wajah ketakutan Devina membuat mereka semua kebingungan. Kenapa Devina terlihat sekali ketakutan? Itulah pertanyaan yang saat ini memenuhi pikiran mereka. Devina dan semua orang semakin terkejut ketika pria yang tadi Devina panggil dengan nama Dean, mengetuk kaca mobil dengan cukup kuat. Devina menoleh ke samping, lalu tanpa sadar, meneguk kasar ludahnya ketika melihat aura menyeramkan dari diri Dean. Dean kembali mengetuk jendela, kali ini jauh lebih kencang dari sebelumnya. "Keluar Nona Devina, atau saya akan meninju kaca mobilnya sampai pecah." Dean tidak main-main dengan ucapannya. Pria itu akan benar-benar menghancurkan kaca mobil tersebut jika Devina tak kunjung keluar dari mobil. Dengan tangan bergetar, Devina membuka pintu mobil. Dean bergeser, dan ketika Devina sudah berada di luar mobil, Dean menutup pintu mobil dengan kencang, membuat semua orang yang ada di dalam mobil terkejut, termasuk Devina. Benedick membuka jendela mobil, kemudian memaki Dean, lebih tepatnya mengumpati Dean yang baru saja menutup pintu mobilnya dengan kencang. Dean menatap tajam Benedick. Tatapan tajam yang Dean berikan membuat nyali Benedick untuk kembali mengumpat seketika hilang. Bukan hanya Benedick yang ketakutan, tapi Carlos dan Krystal juga ketakutan, bahkan bulu kuduk mereka semua sampai berdiri. "Pergilah!" Titah tegas Dean seraya memukul mobil milik Benedick sebanyak 3 kali. "Om!" pekik Devina, tidak terima ketika Dean malah meminta agar teman-temannya pergi. Dean mengalihkan atensinya pada Devina. Sama seperti sebelumnya, Dean masih menatap tajam Devina. "Apa Nona lupa dengan apa yang saya katakan sebelumnya?" tanyanya ketus sekaligus sinis. "Bukankah saya bilang, kalau setelah selesai kuliah, Nona harus segera kembali?" Devina tidak lupa, hanya saja, Devina memang berniat kabur dari Dean juga kedua pengawalnya yang lain, tapi sayangnya, rencananya gagal total. "Kalian tidak mau pergi?" Atensi Dean kembali tertuju pada Benedick. Benedick menatap Devina yang juga menatapnya. Dengan perasaan tidak rela, Devina mengangguk, memberi izin agar Benedick juga teman-temannya yang lain pergi meninggalkannya. Dengan perasaan enggan, Benedick kembali melanjutkan laju mobilnya, meninggalkan Devina bersama dengan Dean. "Dasar pengawal menyebalkan!" Teriak Devina sambil memukul Dean menggunakan tasnya sesaat setelah melihat mobil milik sang kekasih pergi. Setelah puas memukul Dean, Devina melangkah pergi menuju tempat parkir. Dean tidak mau Devina kabur, jadi Dean segera menyusul Devina. Dean bernafas lega ketika tahu kalau Devina tidak berniat untuk kabur. Dean pikir, Devina berniat untuk kabur lagi. Dean membuka pintu mobil, dan Devina segera memasuki mobil, di susul Dean yang juga ikut masuk. Dean baru saja duduk ketika ponselnya berdering. Dean segera meraih ponselnya, menghela nafas lega ketika tahu kalau Arionlah yang menghubunginya. "Dean, kita berdua tidak dapat menemukan Nona Devina." "Kembalilah, Devina sudah berada di mobil," ucap Dean sambil melirik Devina yang saat ini duduk di sampingnya. Devina duduk dengan kedua tangan bersedekap dan wajah yang terus menatap ke arah jendela. Jangan tanyakan bagaimana mimik wajah Devina, karena Devina memasang raut wajah kecut. "Baiklah, kita akan segera kembali." "Gue balik duluan ya, enggak apa-apa, kan?" "Enggak apa-apa, lo duluan aja. Gue sama Han akan segera menyusul." Sambungan telepon antara Dean dan Arion berakhir. Dean segera melajukkan mobilnya menuju kediaman kedua orang tua Devina. 10 menit adalah waktu yang Dean butuhkan untuk sampai di kediaman Brian. Begitu mobil yang Dean kemudikan terparkir, Devina segera keluar dari mobil. Dean tahu kalau Devina marah padanya, oleh karena itulah, ketika tahu kalau Devina menutup pintu mobil dengan kencang, Dean sama sekali tidak terkejut, Dean sudah bisa menduganya. Dean segera keluar dari mobil, menyusul Devina yang sudah memasuki rumah. Dean menyerahkan kunci mobilnya pada supir yang berjaga. Brian dan Brianna sedang duduk santai di sofa ruang keluarga ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Brian dan Brianna menoleh, keduanya sama-sama bingung juga terkejut ketika melihat Devina datang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kedua mata Devina tampak memerah di barengi dengan air matanya yang mengalir deras membasahi wajahnya. "Sayang, kenapa kamu menangis?" Briannalah yang bertanya. Brianna akan berdiri, menghampiri Devina, tapi Brian menahannya, dan meminta agar Brianna tetap duduk di sampingnya. Devina mengabaikan pertanyaan Brianna dan mulai berlari menuju kamarnya menggunakan anak tangga, bukan menaiki lift. "Biarkan saja, Sayang." Brian kembali menahan Brianna, Brianna hanya bisa pasrah, membiarkan Devina pergi. "Dean, kenapa Devina menangis?" Brian bertanya pada Dean yang baru saja memasuki rumah. "Selamat sore, Tuan, Nyonya," sapa Dean pada Brian dan Brianna. Pasangan suami istri tersebut membalas sapaan Dean dengan kompak. Brian meminta agar Dean duduk untuk menjelaskan alasan kenapa Devina pulang dalam keadaan menangis. Dean mulai menjelaskan alasan kenapa Devina menangis, dan tak butuh waktu lama bagi Dean untuk menjelaskan semuanya, secara detail dan terperinci. "Apa yang kamu lalukan sudah benar, Dean. Jadi, kamu jangan merasa bersalah karena sudah membuat Devina menangis." Brian lega kerena Dean berhasil mencegah Devina untuk pergi bersama teman-temannya. Jujur saja, Brian tidak menyukai teman-teman Devina, terutama pada pria yang menjadi kekasih sang putri, Benedick. "Iya, Tuan Brian." Dean pamit undur diri, meninggalkan Brian dan Brianna. Dean pergi menuju kamar Devina untuk melihat, bagaimana kondisi Devina? Pria itu memasuki kamar Devina tanpa terlebih dahulu mengetuk pintu kamar tersebut. Devina yang sedang menangis sambil tengkurap di tempat tidur menoleh, amarah di kedua matanya yang memerah semakin membara ketika tahu siapa orang yang baru saja memasuki kamarnya. "Mau ngapain Om masuk ke kamar aku?" Teriak Devina emosi. Sama seperti Devian, Devina juga memanggil Dean dengan panggilan Om. Dean tidak menanggapi ucapan Devina. Dean duduk santai di sofa sambil terus menatap intens Devina, memperhatikan dengan seksama wajah sembab Devina. Padahal Devina baru saja menangis, tapi kedua kelopak matanya sudah membengkak. Tatapan intens yang Dean berikan berhasil membuat Devina salah tingkah. Devina berbalik memunggungi Dean, kemudian menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, dan kembali menangis. Tak lama kemudian, terdengar suara pelayan yang meminta izin untuk memasuki kamar Devina. Dean memberi izin agar pelayan tersebut memasuki kamar Devina. Dengan sopan, Hannah bertanya. "Permisi, Tuan Dean, makanannya mau ditaruh di mana?" "Letakkan makanannya di meja yang itu." Dean menunjuk meja yang berada dekat dengan jendela kamar Devina. "Baik, Tuan." Hannah mengangguk, lalu menata makanan yang ia bawa di meja yang Dean maksud. Hannah sudah keluar dari kamar Devina, meninggalkan Dean berdua dengan Devina. "Nona, Anda mau bangun sendiri atau mau saya bangunkan?" Dean beranjak dari duduknya, mendekati Devina yang masih berbaring di tempat tidur. "Aku enggak lapar, Om," lirih Devina dengan suara seraknya. "Yakin enggak mau makan?" Dean duduk di sofa yang dekat jendela kamar Devina. Dean menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku, kemudian mulai mengambil makanan miliknya. Devina sebenarnya lapar, tapi karena masih marah pada Dean, wanita itu enggan mengakui jika dirinya lapar. Devina pikir, Dean akan pergi meninggalkan kamarnya, tapi sepertinya Dean sama sekali tidak berniat untuk pergi meninggalkannya, dan Devina yakin kalau Dean memang tidak akan pergi meninggalkannya ketika mendengar suara denting sendok dan garfu yang beradu dengan piring. Devina menuruni tempat tidur, bergabung dengan Dean yang sedang menikmati makan siangnya dengan santai. Dengan gerakan anggun, Devina duduk di hadapan Dean. "Tuan Brian memberi Nona izin untuk pergi keluar, kalau nanti malam, Nona ingin jalan-jalan." Dean berbicara tanpa memandang Devina. "Benarkah?" tanya Devina antusias dibarengi senyum lebar yang menghiasi wajahnya. "Tentu saja benar. Tapi, Nona tidak boleh keluar dengan teman-teman Nona, dan harus keluar bersama dengan saya juga kedua pengawal yang lainnya." Senyum manis yang menghiasi wajah Devina langsung menghilang begitu mendengar penjelasan Dean. "Itu mah sama aja bohong," keluh Devina dengan bibir mengerucut. Devina pikir, Brian memberinya izin untuk pergi keluar bersama teman-temannya. "Jika Nona tidak mau, ya tidak apa-apa." Dean menanggapi dengan santai. Devina diam, memilih untuk tidak menanggapi ucapan Dean. Devina sibuk berperang antara pikiran dan juga hatinya. Pikirannya mengatakan kalau dirinya tidak usah pergi keluar, diam saja di rumah, tapi hatinya mengatakan, lebih naik pergi jalan-jalan meskipun harus bersama dengan para pengawalnya. "Kenapa Om makan di sini?" Devina menatap sinis Dean. "Saya lapar, makanya saya makan." Dean masih enggan untuk menatap Devina, walau hanya sekilas. "Sebenarnya, tugas Om itu apa aja sih?" "Banyak." Dean menyahut singkat. "Apa Daddy sudah memberi izin Om untuk makan di sini?" "Nona, Anda mau makan atau tidak?" Bukannya menjawab pertanyaan Devina, Dean malah balik bertanya. "Memangnya kenapa?" Devina menatap bingung Dean. "Jika Nona tidak mau makan, maka saya yang akan memakan semua makanan milik Nona." Sebenarnya Dean hanya bercanda. Dean ingin agar Devina berhenti bertanya dan mulai menikmati makanannya, tapi sepertinya Devina malah menganggap serius ucapan Dean Devina memberikan separuh dari makanan miliknya pada Dean, dan Dean hanya bisa pasrah, ingin menolak, tapi rasanya tidak enak. "Terima kasih." "Sama-sama," balas Devina sambil tersenyum lebar. Sepertinya, Devina sudah tidak kesal lagi pada Dean, karena sekarang, Devina sudah tidak lagi terlihat sedih, bahkan sudah memberi Dean senyuman manisnya. Senyum yang Devina berikan membuat Dean tertegun, dan tanpa sadar, Dean terus menatap lekat Devina, membuat Devina salah tingkah. "Om, kenapa?" Pertanyaan dari Devina berhasil menyadarkan Dean dari lamunannya. Dean menggeleng, kemudian melanjutkan kegiatannya, begitu juga dengan Devina yang memilih untuk menikmati makan siangnya. "Dia memang cantik," gumam Dean yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD