06 - Berdebar hebat.

1707 Words
Tengah malam, tepatnya pada pukul 2 dini hari, Dean memutuskan untuk keluar dari kamar Devina, meninggalkan Devina seorang sendiri. Hujan sudah reda, suara petir juga sudah tidak lagi terdengar, oleh sebab itulah, Dean berani meninggalkan Devina. Sebelum keluar dari kamar Devina, Dean juga sudah menyalakan lampu kamar, membuat suasana kamar tidak terlalu gelap, tapi juga tidak terlalu terang. Tak berselang lama setelah kepergian Dean, Devina terbangun dari tidurnya. Untuk sesaat, Devina terdiam, mengumpulkan kesadarannya. Devina merubah posisinya menjadi duduk, secara otomatis, menoleh ke kanan dan ke kiri, mendesah lega ketika tak melihat Dean di sampingnya. "Om Dean!" Devina berteriak memanggil Dean. Devina hanya ingin memastikan, apa Dean masih berada di kamarnya? Atau memang sudah pergi meninggalkan kamarnya? Tidak ada tanggapan dari Dean, membuat Devina yakin jika Dean sudah tidak ada lagi di kamarnya. Mungkin Dean sudah kembali ke kamarnya sendiri. Devina diam termenung, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi pada dirinya. Seingatnya, tadi ia merajuk pada Dean. Kesal karena Brian malah menghubungi Dean, memberi tahu Dean jika Brian dan Brianna pergi ke Indonesia. Devina tahu, seharusnya ia tidak marah pada Dean, tapi marah pada Brian, tapi entah kenapa, rasa kesalnya malah tertuju pada Dean. "Setelah itu apa yang terjadi ya?" Devina berpikir keras, mencoba mengingat apa yang terjadi setelah dirinya merajuk pada Dean. Kedua mata indah Devina melotot, ketika sadar dengan apa yang sudah terjadi. "Astaga! Jadi, tadi Om Dean gendong aku ke kamar?" teriaknya histeris. Tidak mungkin kan dirinya jalan sendiri ke kamar? Ya pasti Deanlah yang menggendongnya, memangnya siapa lagi? Atau mungkin kedua pengawalnya yang lain? Tapi sepertinya itu tidak mungkin. "Dasar bodoh! Bodoh! Bodoh!" rutuk Devina sambil memukul ringan kepalanya sendiri. Sekarang Devina sudah mengingat semuanya, dan Devina luar biasa malu. Devina yakin kalau tadi dirinya digendong oleh Dean. Devina juga ingat kalau tadi dirinya juga melarang Dean pergi meninggalkannya sendiri. Devina berhenti memukul kepalanya karena semakin lama, kepalanya semakin terasa sakit. Tanpa sadar, Devina mulai menggigit ujung kukunya yang terpoles kutek warna putih mengkilap. Sekarang Devina sedang berpikir, apa yang nanti harus ia lakukan jika bertemu dengan Dean? Apa ia harus pura-pura tidak mengingat semuanya? Atau justru mengucap terima kasih karena Dean sudah menggendongnya, bahkan menemaninya ketika turun hujan deras yang disertai dengan petir. "Petir," gumam Devina sambil menatap ke arah jendela kamarnya yang tidak sepenuhnya tertutup gorden. Devina mendesah lega saat sadar kalau hujan sudah reda,,dan suara petir juga sudah tidak lagi terdengar. "Apa Daddy sudah memberi tahu Om Dean kalau aku memiliki trauma?" gumam Devina penuh kebingungan. Saking bingungnya, bahkan kini kening Devina berkerut. "Daripada pusing, mending nanti langsung tanya aja sama Daddy." Devina mengalihkan pandangannya pada nakas, tempat di mana ia menaruh jam. Devina mendengus ketika melihat waktu masih menunjukkan pukul 2 pagi lewat 15 menit, yang artinya, ini masih malam, dan semua orang pasti masih tertidur. "Lapar," keluh Devina sambil mengusap perutnya yang berbunyi. Inilah alasan Devina terbangun, Devina merasa lapar. Tadi, saat makan malam bersama ketiga pengawalnya, sebenarnya Devina makan cukup banyak. Tapi setelah itu, Devina pergi jalan-jalan, berkeliling kota, mungkin karena itulah ia kembali lapar. Devina memutuskan untuk keluar dari kamar, memasuki lift yang akan membawanya menuju dapur. Selama berada di dalam lift, Devina sangat resah sekaligus gelisah, takut kalau lantai 1 dalam keadaan gelap gulita. Tak sampai 1 menit kemudian, laju lift terhenti dan tak lama kemudian lift terbuka. Devina akhirnya sampai di lantai tujuannya, yaitu lantai 1. Apa yang Devina takutkan tidak terjadi. Lampu-lampu di lantai 1 dalam keadaan menyala meskipun tidak semuanya, dan hal itu membuat rasa takut Devina berkurang. Dengan langkah pelan, Devina keluar dari dalam lift, sesekali menengok ke kiri dan ke kanan, takut jika ada hal menyerahkan yang muncul. Tak butuh waktu lama bagi Devina untuk sampai di dapur. Devina langsung membuka kulkas untuk melihat isinya. Ada banyak sekali makanan dalam kulkas, tapi sayangnya, makanan-makanan tersebut tidak berhasil menggugah selera Devina. Setelah cukup lama berpikir, Devina memutuskan untuk memasak pasta. Meskipun Devina adalah anak yang manja, tapi jika untuk masalah memasak pasta atau mie instan, maka Devina bisa melakukannya sendiri. Devina baru saja mengeluarkan pasta ketika lampu dapur tiba-tiba mati, dan suasana pun berubah menjadi gelap gulita. Devina sontak menjerit sambil menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangan. Devina berjongkok dan di saat yang bersamaan, kedua mata Devina terpejam. Devina mulai meracau, mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Kebetulan, Dean sedang berada di luar mansion, mengobrol dengan beberapa orang yang sedang berjaga, jadi Dean dan orang-orang tersebut bisa mendengar jeritan ketakutan Devina. Dean memerintah beberapa orang untuk memeriksa aliran listrik, kenapa listrik bisa mati secara tiba-tiba? Sementara dirinya langsung pergi menuju asal suara jeritan Devina. Tak berselang lama kemudian, lampu kembali menyala. Dean mengedarkan pandangannya ke segala penjuru mansion, mencoba menebak di mana posisi Devina saat ini. Dean pergi menuju dapur, bernafas lega tat kala melihat Devina sedang berjongkok tepat di depan lemari persediaan makanan. Dean berlari menghampiri Devina. Pria itu berjongkok di samping kanan Devina, dengan hati-hati, mengusap lembut punggung Devina. Devina mendongak, dan hal pertama kali yang ia lihat adalah Dean yang menatapnya dengan raut wajah khawatir. Dengan cepat, Devina menatap ke sekelilingnya. Seketika merasa lega karena lampu sudah kembali menyala, menerangi ruangan yang tadi sempat gelap gulita. Beberapa orang pengawal datang, tapi mengurungkan niat untuk mendekati Dean dan Devina begitu melihat intruksi dari Dean agar tidak mendekat. Mereka semua memutuskan untuk keluar dari mansion, kembali ke pos jaga masing-masing. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Devina hanya mengangguk, tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan Dean. Deru nafas Devina masih memburu, bahkan kini kedua tangan dan keningnya sudah berkeringat. "Tenanglah, semuanya baik-baik saja." Dean meraih kedua tangan Devina, menggenggamnya erat. Dean memberi intruksi agar Devina menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Devina mengikuti intruksi yang Dean berikan, dan setelahnya, Devina merasa jauh lebih baik. "Sudah merasa jauh lebih baik?" "Sudah," lirih Devina sambil mengangguk. "Syukurlah," lirih Dean dengan raut wajah yang berubah lega. "Kenapa bangun, hm?" Pertanyaan Dean kembali membuat Devina teringat tentang alasan kenapa ia mendatangi dapur. "Lapar," lirih Devina dengan raut wajah yang menurut Dean teramat sangat menggemaskan. "Lapar?" "Iya, lapar." "Mau makan apa?" Dean membantu Devina berdiri, dan Devina sama sekali tidak menolaknya. "Mau makan itu." Devina menunjuk pasta yang tadi baru saja ia ambil. Dean mengikuti arah telunjuk Devina, kemudian mengangguk. Setelah yakin Jika Devina bisa berdiri tegak, Dean melepaskan pergelangan tangan Devina, dan saat itulah, Devina merasa kehilangan. Devina segera menggeleng, menyadarkan dirinya sendiri kalau dirinya tidak boleh memiliki perasaan seperti itu. "Sebaiknya Nona duduk saja, pastanya biar saya yang masak." Dean menggulung kemeja tangan panjangnya sampai sebatas siku, memperlihatkan otot-otot tangannya yang sangat indah sekaligus menggoda untuk disentuh. Pergerakan Dean tak lepas dari pengamatan Devina. Apa yang baru saja Dean lakukan berhasil membuat Devina terpesona, padahal Dean hanya menggulung kemejanya. Dean tahu kalau Devina masih berdiri di belakangnya. Dean menoleh, menatap bingung Devina. "Kenapa masih berdiri di situ?" Pertanyaan Dean menyadarkan Devina dari lamunannya. Devina tampak salah tingkah, malu karena terpergok sedang memperhatikan Dean, lebih tepatnya punggung kekar Dean yang sangat cocok jika dijadikan sandaran. Devina berdeham, kemudian mendekati Dean. "Om bisa masak?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Dean. "Tentu saja bisa." Dean menjawab santai, atensinya sudah kembali tertuju pada bahan-bahan makanan di hadapannya. "Apa masakan Om enak?" "Nona bisa merasakannya nanti, setelah pasta buatan saya selesai." Devina mengangguk, tanpa menanggapi ucapan Dean pergi menuju kursi yang berada tak jauh dari tempat Dean akan memasak. Devina duduk menghadap Dean yang saat mulai sibuk membuat pasta untuk Devina. Devina menopang wajahnya menggunakan kedua tangannya, terus memperhatikan Dean yang menurutnya sangat lihai dalam memasak. Devina yakin, Dean pasti sering memasak, dan semoga saja masakan Dean nanti enak. "Ugh, dia sangat seksi," gumam Devina tanpa sadar. Devina mengerjap, dengan cepat membekap mulutnya saat sadar jika kalimat pujian tersebut terucap langsung dari mulutnya. Devina pikir, ia mengucapkan kalimat tersebut dalam hati. "Semoga Om Dean tidak mendengarnya," ucapnya pelan. Tak sampai 10 menit kemudian, Dean sudah menyelesaikan masakannya. Devina tahu kalau Dean akan berbalik menghadap ke arahnya, oleh karena itulah, Devina pura-pura sibuk menatap kuku-kuku tangan kanannya. Dean meletakkan piring yang berisi pasta buatannya tepat di hadapan Devina. Aroma dari pasta buatan Dean langsung menusuk indera penciuman Devina, membuat rasa lapar Devina semakin menjadi. "Aromanya sangat menggoda." Dean terkekeh, gemas melihat mimik wajah Devina yang terlihat sekali sudah tidak sabar untuk menikmati pasta buatannya. Dean duduk di samping kanan Devina. "Makanlah, kalau sudah dingin nanti tidak enak." Dengan penuh semangat, Devina mengangguk, dan segera menikmati pasta buatan Dean. "Bagaimana rasanya?" Devina memberi Dean 2 jempol, sebagai pertanda kalau pasta buatan Dean sangat enak. Tanpa bisa Dean cegah, senyum manis terukir di wajah tampannya. "Om mau?" tanya Devina sesaat setelah pasta dalam mulutnya tertelan. Dean menggeleng, menolak halus tawaran Devina. "Baguslah kalau tidak mau, aku akan menghabiskannya sendiri." Dean hanya terkekeh sambil menggeleng. Devina fokus menikmati makanannya, sedangkan Dean bermain game di ponselnya. Tak butuh waktu lama bagi Devina untuk berhasil menghabiskan makanannya, berbarengan dengan Dean yang selesai bermain game. Devina berbalik menghadap Dean, dan di saat yang bersamaan, Dean juga berbalik menghadap Devina. Devina terkejut, begitu juga dengan Dean. Tapi, tidak ada dari keduanya yang berniat untuk duduk kembali ke posisi semula. Untuk sesaat, suasana berubah menjadi canggung. "Kenapa wajah Om berkeringat?" Tangan kanan Devina terangkat, baru saja akan menyeka keringat yang membasahi kening Dean, tapi Dean sudah terlebih dahulu menahan pergelangan tangan Devina. "Cuacanya panas." Dean menjawab singkat, dan pelan. "Om kepanasan?" Dean mengangguk. Padahal menurut Devina, cuaca sangat dingin, apalagi tadi baru saja turun hujan deras. Bisa-bisanya Dean malah kepanasan. "Sebaiknya Nona kembali ke kamar, tidur. Ini masih malam." Devina ingin sekali menolak saran Dean, tapi setelah Devina pikir-pikir, memang lebih baik jika dirinya kembali ke kamar. "Baiklah." Devina pergi meninggalkan Dean yang memutuskan untuk tetap tinggal di ruang makan. Setelah yakin jika Devina sudah pergi jauh, Dean mengerang sambil membenturkan kepalanya ke meja makan. Dean merasa frustasi, frustasi karena saat berdekatan dengan Devina, maka jantungnya akan berdetak sangat cepat, dan terkadang dirinya akan melakukan hal yang sepatutnya tidak ia lakukan. Dean sendiri tidak tahu pasti kenapa ini bisa terjadi, tapi yang pasti, berdekatan dengan Devina tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Dulu, Dean memang pernah merasakan hal yang sama seperti apa yang saat ini ia rasakan ketika berada di dekat Devina, hanya saja, saat itu, jantungnya tidak berdetak hebat seperti saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD