Ikatan Pernikahan

1633 Words
Orangtuanya benar-benar gila, mereka mengurung Elea di kamar. Bahkan ponsel Elea diambil hingga perempuan itu tidak bisa apa-apa di dalam kamar. Elea berusaha kabur dari balkon, sayangnya tidak memungkinkan. Hanya ada satu pintu keluar. “Ma, Pa, jangan bercanda deh. Jangan keterlaluan!” teriaknya. Sayangnya, Elea tidak didengar sama sekali. Sampai Elea menanngis karena ingin keluar. Dia memiliki tanggung jawab sebagai Presiden Mahasiswa. Ada banyak hal yang harus dia lakukan. “Mama!” teriaknya sambil menahan tangisan. “Kamu gak akan Papa keluarin sebelum setuju nikah dengan pria pilihan Papa,” ucap pria itu dengan tegas sebelum mengabaikan lagi Elea yang berteriak memohon untuk dikeluarkan. Sampai Elea merasa lemas, belum lagi karena kepalanya yang terluka dan menyebabkan kepalanya pening. Pada akhirnya, Elea hanya berbaring dikasur. Sampai akhirnya Elea mendengar pintu terbuka, dia menoleh dan mendapati Zahra yang masuk dengan nampan di tangannya. “Bangun, kamu harus makan terus minum obat. Tuhkan demam, ayok bangun.” Tidak sadar sudah tertidur lama, bahkan matahari sudah tenggelam. “Mana hape Elea?” “Papa kamu yang pegang. Makan aja dulu. Terus kita ngobrol.” Lemas dan tidak betenaga, Elea merasa tubuhnya panas. Bahkan kepalanya terasa pening ketika dia memaksakan diri untuk duduk. Namun itu tidak membuat Elea berhenti protes, dia mengutarakan pemikirannya yang kritis terhadap pernikahan yang dipaksakan. Namun Zahra tidak menanggapi sama sekali. “Ma, Mama denger gak?” “Itu gak akan merubah apapun, Sayang. Pak Gardea itu pria yang baik, dia akan jaga dan membahagiakan kamu.” “Elea butuh alasan yang jelas.” “Dia pria baik yang menolong keluarga kita, menolong kamu secara pribadi juga.” “Jadi Elea ini hanyalah pelunas balas budi?” “Dia akan melindungi kamu, menjaga kamu. Turuti perkataan Papa kamu.” Zahra berbicara sambil tetap menyuapi Elea. “Dia gak akan izinin kamu keluar kalau gak nerima ini.” “Mama tega?” “Dia baik buat kamu, Elea. Makannya Mama juga mau kamu menikah dengan Pak Gardea.” Menempelkan dulu kompres penurun demam pada sang anak. “Minum obatnya. Mama harap kamu sudah berpikiran terbuka besok pagi,” ucap Zahra kembali meninggalkan Elea. Ini pertama kalinya orangtua Elea membuatnya tersiksa seperti ini. Jika saja kondisinya baik, Elea akan kabur ketika sang Mama masuk ke dalam kamar. Namun, kepalanya benar-benar pening. Dia hanya bisa berbaring. Posisi kamar Elea bersebelahan dengan perpustakaan. Dikarenakan pintu balkon terbuka, jadi Elea bisa mendengar percakapan para pelayan disana. “Non Elea katanya mau dijodohkan sama Pria Tua, umurnya aja gak jauh beda dari Tuan Besar. Ngeri ya.” “Ya mau gimana lagi. Kata Mbak Nunik kalau calonnya Non Elea ini adalah orang yang bantu keluarga Pak Dandi. Katanya banyak banget jasa yang dilakuin Pak Gardea.” “Gardea? Kenapa namanya gak asing ya?” “Dia Hakim Ketua katanya. Keren banget sih. Tapi ya mana mau sama aki-aki.” “Emang pernah bantu apasih sama keluarga Tuan Besar?” “Dengernya sih sesuatu yang gak terhingga, bahkan Pak Dandi yang lebih sepuh aja manggilnya Bapak. Saking menghormatinya sosok tersebut.” Elea mengepalkan tangannya. Dengan ini, dia berspekulasi kalau orangtuanya dibawah kendali pria tersebut. dia mengepalkan tangannya kuat, kebencian itu hadir bahkan sebelum Elea melihat wajah pria yang akan menjadi calon suaminya. Berani sekali pria itu mengendalikan orangtuanya. Rencananya, Elea masih akan tetap pada pendiriannya. Namun pagi besoknya, dia melihat anak-anak BEM diluar gerbang mansionnya. Mereka pasti mencari Elea dan membutuhkan bantuan di kampus. Ditambah lagi Elea mendengar keributan ketika siang hari, bahwa Papanya dibawa ke rumah sakit karena mengalami serangan jantung. Jika sudah seperti ini, Elea yakin tidak punya alasan lagi untuk menolak. *** Papanya dilarikan ke rumah sakit. Zahra membuka pintu kamar Elea dan membawa anaknya untuk ikut. Elea melihat Papanya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keduanya memang jarang bertengkar, Elea juga memandang Papanya sebagai sosok yang bertanggung jawab dan menjadi panutannya. Sampai hari ini datang. Elea tidak bisa menahan rasa sesak didadanya melihat kondisi Dandi. Pasti ini semua gara-gara tekanan dari pria bernama Gardea itu. “El, mau ya menikah dengan Gardea? Dia memang lebih tua dari kamu, tapi dia mampu jaga kamu, Nak. Dia sangat mencintai kamu melebihi apapun. Papa hanya ingin kamu berada di tangan yang tepat.” “Kenapa buru-buru sih, Pah? Kenapa gak kasih waktu Elea buat kenal sama dia dulu?” “Papah tidak ingin hidup lebih lama dalam rasa bersalam.” “Maksud Papah?” Dandi menghela napasnya dalam kemudian menggelengkan kepalanya. “Dia pria yang sangat baik, Elea. Papah malu kalau berjumpa dengan dia karena dia banyak membantu keluarga kita, dia juga sangat menyayangi kamu.” “Bener ya kalau Elea ini Cuma alat buat balas budi?” “Dia sangat menyayangi kamu, dia mencintai kamu lebih dari hidupnya sendiri. makannya Papah juga gak akan ragu untuk lepasin kamu. lebih cepat lebih baik juga.” Ketika Papahnya berucap dengan penuh kesedihan, Elea semakin yakin kalau pria yang menjadi calon suaminya ini adalah seorang yang berkuasa dan menekan kedua orangtuanya. Elea menangispun tidak didengar oleh Zahra dan Dandi. “Mau ya, Nak?” Pada akhirnya Elea menyerah, dia menganggukan kepalanya bersedia mengikuti keinginan sang Papah. Tidak ingin Papahnya semakin parah, karena dokter mengatakan Dandi harus menjalani pengobatan jalan lagi. Saking Elea tidak ingin Papahnya kenapa-napa, dia menurut ketika Dandi meminta mereka menikah di minggu ini. Elea masih tidak diizinkan ke kampus, tapi setidaknya dia bisa komunikasi lewat ponsel dengan anggota BEM. Pernikahan itu diadakan di salah satu gereja dan hanya dihadiri oleh keluarga saja. sambil duduk lesu membiarkan dirinya mengenakan make-up, Elea memandang dirinya sendiri dengan wajah yang menyedihkan. “Ma, ini Cuma bercanda ‘kan? menikah malam ini?” Zahra menghela napasnya dalam kemudian memeluk sang anak. “Kalau kamu gak nikah sekarang, kamu gak akan diizinin Papah kamu kembali ke kampus.” “Si Gardea ini, memangnya apa yang udah dia kasih ke keluarga kita sampai Elea jadi tumbal?” “Hushhh, ngomongnya dijaga,” ucap Zahra menyeka air matanya. “Dia banyak berkorban untuk keluarga kita, Elea. Dia juga yang kasih kamu kehidupan.” “Lalu kenapa sekarang? kenapa mendadak?” “Sebenarnya gak mendadak…. Papah kamu udah merencanakan ini sejak kamu kecil. Kami belum memiliki waktu yang tepat buat kasih tahu kamu, dan Papah kamu lebih dulu bertemu Pak Gardea lagi setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu.” “Ma, Elea gak ngerti. Elea gak mau nikah sama pria yang gak dikenal.” “Elea, pria ini baik. Dia akan jaga kamu.” Memberikan sentuhan akhir dengan menutup wajah Elea. “Cantik banget anak Mama. Kata pak Gardea, dia mau adain resepsinya nanti.” Elea tidak lagi mampu berbicara, apalagi ketika sang Papa datang dan mengulurkan tangannya untuk membawa Elea menuju calon pengantin pria. Untuk pertama kalinya, Elea melihat wajah pria bernama Gardea dengan jelas. Tangan Elea mengepal, rasa benci itu menyelimutinya sampai enggan melihat wajah calon suaminya. *** “Koper Elea isinya barang-barang pribadi Elea ya. Dengerin Papa, Papa lakuin ini buat kebaikan kamu juga. Dia biasa bahagiakan kamu dan kasih apapun yang Elea mau. Jangan buat Papa kecewa ya, jadi istri yang baik.” Namun yang Elea yakini kalau pria bernama Gardea itu mengancam kedua orangtuanya hingga memaksanya menikah. Kebenciannya semakin dalam, bahkan sekarang Elea duduk di belakang. Menunggu pria yang sedang berbicara dengan kedua orangtuanya. “Gak mau duduk didepan?” tanya Gardea ketika dia masuk mobil. Elea masih bungkam. “Saya tahu ada banyak pertanyaan di kepala kamu. Duduk didepan, ayok kita ngobrol.” Elea tetap menyilangkan tangannya didada dan memalingkan wajah. “Oke, kamu bisa ambil waktu buat diri kamu sendiri,” ucap Gardea mulai menyetir mobil. Diam-diam pria itu mencuri pandang pada Elea lewat spion. Tidak ada senyuman, tapi matanya memperlihatkan binar kerinduan disana. “Anda tidak normal ya? menikahi perempuan yang lebih cocok jadi anaknya.” “Kamu bukan anak dibawah umur, jadi saya tidak melakukan kejahatan.” “Tidak punya hati nurani memang bukan sebuah kejahatan, tapi bukan manusia.” “Saya tahu kamu kecewa dengan keputusan ini. Tapi saya janji akan membahagiakan kamu, Elea.” Elea terkekeh. “Menikah dengan anda saja sudah membuat saya menderita. Tahu apa anda tentang bahagia?” Gardea tersenyum kecil. “Saya punya anak perempuan, usianya 15 tahun. Dia pasti seneng banget kamu datang.” “Sudah menikah dengan kakek tua, sekarang dipaksa harus nerima anaknya juga. Mengerikan ya?” “Saya dengar kamu hendak masuk sekolah advokat, nanti kita cari tempat yang bagus.” Elea memilih bungkam ketika Gardea mulai menyebutkan beberapa mimpi yang ingin Elea lakukan. Orangtua Elea memang berkecukupan, tapi tidak terlalu kaya untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tapi meskipun Gardea bisa memenuhinya, Elea enggan menerimanya. “Mama!” seorang anak perempuan berlari mendekat pada Elea kemudian memeluknya. “Wellcome Home!” Gardea menatap dengan seksama, reaksi Elea hanya diam dan menatap tajam pada Shakira. Dengan segera, Gardea menjauhkan putrinya. “Kira, Elea butuh istirahat dulu. Jangan ganggu sekarang ya.” “Kira Cuma mau anterin Mama ke kamarnya, Yah.” “Ayah aja, Kira selesaikan tugas, sekarang masih less kan?” Anak itu mengerucutkan bibirnya kemudian menatap Elea. “Nanti kita ngobrol lagi ya, Mama,” ucapnya sebelum berlari menjauh. Elea menatap tajam pada Gardea. “Saya mau kamar terpisah. Tidak mau ada gangguan, termasuk dari anak tadi.” “Ayok, saya antar kamu ke kamar.” “Gak usah dekat-dekat, anda tahu diri ya,” ucap Elea memperingati. Matanya terus saja menatap tajam memperlihatkan betapa siaganya dia. Gardea menghela napas dalam, dia mengantarkan Elea ke kamar yang memang disiapkan untuknya. Kamarnya bersebelahan dengan Gardea dan Shakira. “Kalau perlu apa-apa, kamu bisa manggil pelayan disini.” BRUK! Elea menutup pintu dengan kencang, meninggalkan Gardea yang ditatap penuh kebencian sebelumnya. Pria itu menghembuskan napas kasar dan kembali ke kamarnya. Duduk di bibir ranjang dan memandang foto pernikahannya dengan istri pertamanya. “Senang kamu kembali ke rumah, Ashila.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD