Satu

2058 Words
Sejatinya, jatuh cinta selalu satu paket dengan patah hati. Sayangnya, kebanyakan manusia yang mengaku siap untuk jatuh cinta, lupa mempersiapkan diri untuk kemungkinan nomor dua. Dan yang lebih mengerikan lagi, bagaimana melerai lara karena rasa yang tetap bertahta meski kisah cinta itu telah binasa. Pagi itu, lirikan mata Elara menyapu seorang bocah berumur belasan bulan yang tengah digendong pengasuhnya. Raka—menyebut namanya saja sudah mampu membuat tenggorokan Elara tercekik—adalah titisan sempurna kedua orang tuanya. Mata bulatnya yang teduh adalah duplikat mata Beno. Pipi gembil dan kulit bersihnya adalah duplikat Tira, termasuk lesung pipi dan bibir seksinya. Kau tahu Preity Zinta? Aktris Bollywood terkenal pada awal tahun dua ribuan? Seperti itulah kira-kira berkah yang diterima oleh Tira dan kini diwariskan kepada putranya. Elara menebak, ketika dewasa nanti Raka berbakat menjadi penakluk wanita. Berbeda dengan ayahnya, si pemalu nan lugu. Benarkah demikian? Entahlah. Mungkin di hadapan Tira, si lugu itu berubah menjadi singa lapar tak bermalu. Elara mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rasa iri dan dengkinya kepada Tira lagi-lagi menyeruak. Rupa mereka berdua berbeda, kemiripan itu tak ada. Tira adalah kesempurnaan seorang dewi yang turun ke bumi, tinggi, ramping, cantik dan seksi. Tak salah bila Beno sampai berpaling hati. Bahkan, Beno berani pasang DP di rahim Tira segala. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Tira mau bersama Beno, laki-laki yang usianya terpaut tiga tahun di bawahnya? Apakah dunia para model sudah kekurangan laki-laki six pack berwajah sempurna? Mengapa seolah-olah Tira ingin merampas segalanya dari Elara? Atau Elara kegeeran saja? Rupa Elara biasa-biasa saja. Orang-orang bilang, dirinya mirip dengan sang ayah. Elara juga disebut-sebut memiliki tampang judes. Hal itu dibuktikan dengan jarang ada laki-laki yang mendekatinya, kecuali Beno. Ia pernah berpikir, mungkin saja saat ayah dan ibunya b******a, mereka dalam kondisi bertengkar, sehingga hasilnya—Elara—jauh dari yang diharapkan. Itu pula sebabnya kasih sayang yang ia terima sangat berbeda. Kekurangan tersebut Elara tambal dengan ragam pencapaian akademis. Jungkir balik ia menghadirkan prestasi. Itu pun tidak cukup membuat kedua orang tuanya bangga, apalagi mengucapkan puji dan puja. Tidak salah bila Elara menganggap dirinya bagaikan anak terbuang. Ia kesepian. Hanya Arby dan Beno yang ia punya. Mereka menyayanginya dengan tulus. Kini tersisa hanya Arby. Sementara ayah dan ibunya lebih mengangap Tira segalanya, mahkota dan permata dalam keluarga. Segala fasilitas terbaik adalah milik Tira. Siapa itu Elara? Penumpang gelap! "If you think you're ugly, there's someone out there who's uglier than you. Bagiku, Mbak kakakku yang paling cantik," kata Arby selalu menghiburnya. Berada di bawah atap yang sama dengan dua iblis durjana pagi itu tak bisa ia hindari. Semalam Elara menginap di kediaman orang tuanya atas permintaan ibunya. Rindu, katanya. Dua tahun pasca keributan di ruang tamu yang sukses membuat Atira diopname di rumah sakit selama dua hari itu, Elara keluar dari rumah dan mengungsi ke sebuah rumah sewaan mungil. Ia hidup di sana dari hari ke hari, lebih murah ketimbang tinggal di apartemen meskipun dirinya sangat mampu membayar sewanya. Setiap kali diminta pulang ke rumah oleh ibunya, Elara tidak pernah bertemu muka dengan Tira dan Beno. Dirinya tidak sebodoh itu. Ketiganya saling menghindar satu sama lain. Bocah itu tidak berdosa, begitu bujuk rayu Elara pada dirinya sendiri. Sialnya, Raka bagaikan magnet. Seringaian manisnya menampakkan gigi geligi mungilnya kepada Elara. Mata polosnya mengerjap-ngerjap manja. Elara semakin tercekik. Ia menunduk menatap cangkir kopinya. Nyatanya, gumpalan rasa sakit itu jauh lebih besar dan membuat Elara berubah menatap Raka dengan sorot benci. Dadanya dirajam sesak. Bayangan Tira dan Beno bergumul tanpa sehelai benang sambil mendesah saat 'membuat' Raka masih menghantui siang dan malam. Matanya tiba-tiba berembun. Kini bukan hanya dua, melainkan ada tiga iblis durjana yang harus ia lenyapkan dari pandangan. Elara ingin pergi, tetapi kakinya berat. Ia nikmati rasa sakit itu layaknya seorang masokis. "El, bisa kita bicara sebentar?" Elara terperanjat. Ia sontak menoleh dan mendapati Beno tidak berapa jauh di belakangnya. Nekat sekali dia! Laki-laki itu menatapnya, masih dengan tatapan teduh yang sama. Matanya menyiratkan kerinduan terdalam. Semenjak tragedi di ruang tamu itu, tak satu kali pun Elara bicara lagi dengan Beno. Untungnya, Beno tahu diri untuk tidak mengusik Elara. Tabungan pernikahan mereka segera Elara bagi dua. Separuh ia transfer ke rekening pribadi Beno dan separuhnya lagi ia habiskan untuk healing di ujung Pulau Sumatera, tepat ketika Beno dan Tira menikah. Healing yang sia-sia. Bahkan sampai detik ini, hatinya masih terkoyak. Elara buru-buru membuang muka dan meraih tasnya tanpa menjawab Beno. Ketika ia menyeret kakinya, laki-laki itu menyentakkan lengannya. Mereka kembali bertatapan muka. "El ...." Keduanya bak tersengat aliran listrik. Rindu dan benci bergumul menjadi satu. Pahit, Elara mereguk ludah, sedangkan Beno susah payah meredam gundah. Kisah itu belum sepenuhnya selesai. Setidaknya, mereka butuh sebuah jamuan penutup. "Ehem!" Elara tersadar lalu merenggutkan lengannya hingga terlepas. Di samping pintu masuk, berdirilah si model catwalk dengan pongah. Tatapan matanya mengejek sekaligus penasaran. Kedua tangannya bersidekap di perut rampingnya. "Aku hanya ingin bicara dengan El sebentar," kata Beno. "Tidak ada yang perlu dibicarakan," sambut Elara dingin. Tidak sadarkah laki-laki itu sudah kehilangan hak bicara dengannya sejak mengucap ijab kabul dengan Tira? "Kamu dengar sendiri, kan?" Tira mengangkat alisnya kepada Beno. Rahang Beno sontak mengeras. Ketika berjalan melewati Tira, Elara berbisik, "Jangan khawatir, gue juga nggak sudi memungut barang bekas." Tira mendengus sinis sebelum balas berbisik, "Gue tahu lo masih cinta pada Beno, El. Tapi ingat, jangan macam-macam. Gue bisa bikin lo lebih sakit!" Elara berhenti di tempatnya. "Apa—" Terlambat. Tira tak ada lagi di tempatnya. Ketika Elara menoleh ke belakang, perempuan itu tengah mengecup bibir suaminya sambil mengerlingkan mata mengejek Elara. Luka itu kembali berdarah. Tanpa terasa mata Elara basah. Sebentuk niat jahat merasuki sanubari. Haruskah ia merebut Beno kembali? Agar Tira merasakan sakitnya diselingkuhi? *** Setibanya di luar, Elara mengembuskan napasnya kuat-kuat. Dadanya dibalur sesak yang menyiksa. "Tolong lain kali jangan mengundangku kalau kedua iblis itu juga ada di sini, Ma," protes Elara melewati ibunya yang tengah memandu tukang kebun mereka menyiram tanaman. "Mama nggak tahu mereka bakalan ke sini, El. Mendadak aja semalam," jawab Nora mengekori putrinya. "Oh, ya, Mama berharap kamu mau mematuhi perintah Papa untuk tinggal di tempat yang lebih layak." "Kenapa memangnya?" "Tolong jagalah nama baik Papa, El. Rekan-rekannya bergunjing melihatmu tinggal di kontrakan seperti anak buangan." "Memang aku anak buangan, kan?" "El—" "Kalaupun aku pindah ke tempat yang lebih layak, dia mau membayarkan sewanya?" Elara tersenyum masam. Ayahnya hanya bisa memberi perintah, tetapi enggan memberikan dana yang layak. Sementara bila Tira merengek, perempuan itu akan mendapatkan segalanya. Ayahnya bahkan membelikan Tira dan Beno sebuah rumah mewah. "Kamu bisa kembali tinggal di sini." "Dan bertemu dengan kedua iblis itu setiap hari?" Elara mengangkat alis. "Nggak tiap hari, El. Kamu tahu sendiri Tira dan Beno nggak tinggal di sini." "Mana aku tahu?" Elara mengangkat bahu. "Memangnya aku peduli?" "Biar bagaimanapun, Tira itu kakakmu. Hubungan darah takkan terputus." Elara menggeram. "Enggak lagi semenjak dia merebut pacarku, Ma." "Sudahlah, El. Yang sudah pergi biarkanlah. Nggak ada gunanya memelihara dendam." "Kayaknya mudah banget, ya, Mama ngomong begitu?" Terluka, Elara terperangah menatap ibunya. "Mama nggak tahu gimana sakitnya jadi aku?" "Mama hanya tidak ingin kamu memendam kebencian. Memelihara dendam itu ibarat kamu membakar dirimu sediri tapi berharap orang lain yang kepanasan. Lagipula, baguslah kalau Tuhan menampakkan wajah asli Beno sebelum kalian menikah. Setidaknya kamu tidak perlu insecure berkepanjangan seperti Tira. Dia ketakutan sekali suaminya bakalan direbut perempuan lain." Untuk pertama kalinya Elara merasa seperti ibunya berpihak kepadanya. Sahabat-sahabatnya pernah mengatakan hal yang sama, Elara diselamatkan Tuhan dengan pengkhianatan Beno. Tak terbayangkan bila Beno mengkhianatinya setelah mereka telanjur menikah. Hancur yang Elara tanggung pastinya jauh lebih besar. "Menikahlah, El." Elara tertawa sumbang. "Maaf, Ma. Status jodohku itu masih 404 not found. Lagipula, aku sudah menghapus segala sesuatu tentang pernikahan dari dalam daftar minatku." Tepat dua tahun setelah pergantian status Beno menjadi kakak iparnya, usia Elara menginjak tiga puluh tahun, masa-masa kritis bagi seorang perempuan. Bahkan sebelum ulang tahunnya yang ke tiga puluh itu, nyinyiran telah dimulai. Mulut teman-teman serta kenalan mulai berkicau. Entah di dunia nyata, maupun di dunia maya. Mungkin hanya para perempuan konglomerat yang bebas dari pertanyaan klise "kapan menikah". Kaum medioker seperti Elara tidak punya banyak pilihan selain tutup telinga. Sudah menjadi tabiat warga Asia, khususnya Indonesia, menganggap prestasi terbesar seorang perempuan adalah menikah. Seberapa hebat pun pencapaianmu, entah kau menemukan rumus-rumus aljabar terbaru atau menemukan vaksin untuk menyelamatkan separuh populasi bumi, selama kau belum menikah maka prestasimu tak ada ubahnya bak remahan biskuit. Orang-orang tetap akan memandangmu dengan tatapan kasihan. "Jangan sampai nggak nikah, El. Nanti di masa tuamu kamu kesepian." "Memangnya bertahan bersama Papa membebaskan Mama dari kesepian? Enggak, kan?" tembak Elara tanpa basa-basi. Nora terdiam. Di matanya membias semburat luka yang enggan ia tampakkan. "Oh, ya. Bagaimana kalau kamu berkencan dengan—" "Enggak, Ma. Aku nggak bakalan nikah. Titik!" Ide tentang membangun sebuah keluarga, menjadi seorang istri dan ibu yang baik sudah lama buyar dari benak Elara. Ia menutup celah hatinya rapat-rapat dan berpikir melajang hingga tua. Saat ini, ia berjuang keras mengumpulkan pundi-pundi uang agar bisa menikmati masa pensiun dengan berkeliling dunia. "Mama sudah mengatur sebuah kencan buta untukmu. Laki-laki itu anak dari kenalan Papa. Namanya—" "Cukup, Ma!" Elara mendesis jengkel. Ia merogoh kunci mobilnya dari dalam tas. "Aku berangkat." "Tadinya kami ingin menjodohkan dia dengan Tira. Tapi ...." Mendengar nama Tira disebut-sebut, langkah Elara terhenti. Sumbu yang tadi redup kembali menyala terang. "Oh, yang bagus-bagus selalu buat Tira, ya, Ma?" sindirnya. "Kamu pasti menyukainya." Nora menyembunyikan senyuman, umpannya berhasil menjemput sasaran. "Dia seorang dokter." Elara mendengus. Kencan buta? Memangnya kencan seperti itu benar-benar ada? Bukannya hanya ada dalam drama? Nora menyerocos tentang laki-laki yang belum pernah ia temui itu kepada Elara layaknya mempromosikan barang dagangan. "Ini fotonya," katanya mengulurkan ponsel. Elara memutar bola matanya sembari menepis ponsel ibunya. "Nggak usah, ya." "Namanya ...." Terlambat. Elara sudah telanjur masuk ke dalam mobilnya. Namun, telinganya masih sempat mendengar nama tengah laki-laki tersebut. Emerald. Sudut alis Elara terangkat sedikit. Nama itu ... cantik. *** Hari-hari berlalu sejak peristiwa pagi itu. Fokus Elara kembali pada pekerjaannya. Dalam dua tahun terakhir, rasa sakit hatinya ia lampiaskan pada ambisinya menapaki jenjang karier. "Ketemuan aja dulu, Mbak. Siapa tahu cocok," kata Arby di telepon. Elara mencurhati adiknya tersebut akan kelakuan ibunya yang hampir setiap hari menerornya tentang ide kencan buta. "Kalian sama saja!" dengus Elara jengkel. Terdengar Arby terkikik. "Nggak ada salahnya, kan, Mbak? Aku juga kepingin melihat Mbak bahagia." "Ya, ya!" Elara dengan jengah memutus sambungan telepon. Tak bisakah semua orang berhenti mengojok-ojokkannya dengan lelaki? Memangnya tanpa lelaki, Elara tak bisa hidup sama sekali? "Mama nggak bakal berhenti sampai kamu setuju menemui dia, El," tulis ibunya di layar ponsel. Oh, sial! Elara menarik rambutnya gusar. Deretan angka di layar komputernya tampak semrawut. "Oke, Ma. Aku setuju," balasnya mengalah. "Bagus. Nanti malam, ya, El. Dandan yang cantik." "Mimpi!" Elara lagi-lagi mendengus. Jangan harap ia akan berdandan dengan cantik. Pertemuan itu hanya untuk pelepas tanya. Elara berniat stay di kantor sampai malam tiba, kemudian menemui laki-laki itu dengan pakaian kerja dan sisa make up yang sudah luntur di wajahnya. Kalau perlu, ia akan membuat laki-laki itu kapok pernah bertemu dengannya. Pukul tujuh malam, Elara mengemas laptopnya ke dalam tas, termasuk blazernya. Di tubuhnya melekat kemeja putih yang sudah kusut dipadukan celana bahan berwarna krim tua. Ia melupakan bibir pucatnya, juga melupakan bau keringat di tubuhnya. Tepat pukul setengah delapan, Elara memasuki pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit. Biasanya, ia bukan tipe manusia ngaret. Terlambat datang sekitar lima atau sepuluh menit adalah strateginya agar laki-laki yang akan ditemuinya bertambah ilfil. Tiba di lantai enam, Elara disambut seorang pelayan kafe yang menuntunnya ke meja pertemuan yang telah dipesan ibunya. Di meja tersebut duduk seorang laki-laki berkemeja biru navy membelakangi Elara. Elara mengembuskan napas malas. Ia berdeham kecil sebelum menarik kursi di depan laki-laki tersebut. "Emerald? Sa—" Tepat ketika laki-laki itu mengangkat kepala, ucapan Elara terputus. Matanya membola sempurna. Oh Tuhan, mati saja kau, El! Laki-laki itu bersama pacarnya, adalah orang yang sama yang Elara maki-maki nyaris tiga minggu yang lalu di arena bersepeda. Sementara laki-laki itu balas menatap Elara dengan cengiran geli bercampur gusar. "Dunia ini sempit banget, ya? Dosa apa saya harus ketemu cewek jutek macam kamu lagi?" ejeknya. Sungguh, bukan kesan pertama yang indah. Seketika Elara kepingin muntah! *** Tebak-tebak buah manggis, yok.? Who's Emerald? ANW, cerita ini diupdate sesempatnya aja ya, genks, selagi aku ngelanjutin nulis Imperfect Juliet. Jangan misuh, ya, hihihih #ngacir
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD