Enam

2046 Words
"Silakan, El." Angga memberi isyarat agar Elara menikmati makan malam yang baru saja dihidangkan pramusaji. "Maaf, gara-gara keluarga saya kamu jadi telat makan," katanya tidak enak hati, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat ia baru bisa mengajak Elara makan di restoran terdekat, sedangkan keluarganya bertolak ke kediaman pakdenya. Saking antusiasnya sang ibu, Angga sampai kasihan melihat Elara sesekali melirik panik meminta pertolongan kepadanya. Wajar saja, ibunya terkadang menanyakan hal-hal pribadi terkait hubungan mereka. Padahal, ini baru pertemuan kedua. Tidak ada yang Elara ketahui selain nama panjang dan profesi Angga. "Nggak masalah," kata Elara tidak keberatan. "Nggak makan salad lagi, Dok?" tegurnya teringat menu makanan Angga terdahulu. Angga tersenyum kecil. "Sesekali cheating ndak apa-apa. Saya lapar banget." "Lagi diet?" "Ndak juga. Cuma menjaga asupan dan pola makan." "Oh." Elara mencocol potongan sushi-nya ke dalam saus shoyu. "Kenapa tadi kamu berniat kabur?" Angga iseng bertanya. Elara langsung memasang raut juteknya. "Karena kamu membohongi saya!" ucapnya ketus. "Maksudmu?" "Kamu bilang kamu seorang dokter." "I am." "Nyatanya kamu direktur." "Direktur itu jabatan, El, bukan profesi. Kalau jabatan saya dicopot, saya kembali lagi jadi dokter umum." "Memangnya berapa persen kemungkinannya jabatan kamu dicopot? Toh, kamu kerja di rumah sakit keluarga," Elara mendengus kecil membalas mimik sok rendah hati Angga. "Tetap saja, bila saya ndak capable memimpin, saya bakalan dipecat." "Kenapa malam itu kamu nggak bilang terus terang tentang jabatan kamu?" Angga mengangkat bahu. "Apa urgensinya? Saya malah takut kamu menerima ajakan saya tanpa berpikir. Kalau kamu jatuh cinta sama saya, malah saya yang repot." "Pede amat, astaga!" Elara memutar bola matanya. "Andai dari awal saya tahu kamu direktur, saya nggak akan nyasar ke kantor kamu." Angga mengulum senyum. "Oh, tadi itu kamu nyasar? Sewaktu ngelamar saya, itu kamu juga nggak sadar?" "Itu ajakan, bukan lamaran!" Elara melotot. "Jangan salah paham." "Ngeles!" Angga terbahak. "Jelas-jelas tadi kamu melamar saya." Elara diam saja kehabisan argumen, matanya mendelik-delik jengkel sembari menyumpahi kebodohannya di dalam hati. Andaikan sebelum nekat menemui Angga ia menyempatkan diri membuka peramban di ponselnya dan mencari tahu siapa itu Airlangga Emerald Gunardi, tentunya ia seketika undur diri. Ia terlalu meremehkan Angga. Salahnya yang berpikir pria itu hanyalah dokter biasa. "Memangnya kenapa kalau saya direktur?" sambung Angga lagi. Elara meletakkan sumpitnya. Raut wajahnya berubah serius. "Sederhananya, you're out of my league, Dok. Ngerepotin nikah sama orang yang punya jabatan penting kayak kamu. Lagipula, untuk sekelas direktur, masa kamu mengajak saya nikah, sih? Seorang perempuan antah berantah yang baru kamu temui satu kali? Itu jelas nggak masuk akal," aku Elara jujur. Tadinya Elara mengasumsikan, Angga mempunyai orang tua yang menyulitkan, sehingga salah satu pasal yang diajukan pria itu adalah, Elara harus berbuat baik kepada keduanya. Nyatanya tidak demikian. Harmonisnya keluarga Angga membuat Elara takjub sekaligus iri. Tante Irene jauh sekali dari kesan mertua julid dan jahat, melainkan berhati malaikat. Oh, Elara tidak berniat melebih-lebihkan. Biasanya ia punya intuisi cukup akurat mengenai sifat seseorang. Om Rama melambangkan sebuah kebucinan sejati yang hakiki. Baru saja muncul di kantor anaknya, pria itu langsung mencari istrinya, kemudian mengecup keningnya di hadapan semua orang sembari memberikan pelukan ringan. Saat mereka berpisah di parkiran, Elara juga menyaksikan pria itu membukakan pintu mobil untuk istrinya. Ajaib, bukan? Bahkan pengantin baru saja tidak sedemikian mesranya. Hanya adik Angga yang pelit bicara. Anjani menyapa Elara sekilas saja meski tetap sopan dan manis, lalu sibuk dengan dunianya sendiri. "Ndak masuk akal gimana? Bukannya sedari awal kamu sudah tahu tujuan kita menikah untuk apa?" "You're perfect!" Elara berseru jengkel. "Kamu punya jabatan bagus, punya profesi idaman semua orang, punya keluarga yang baik, wajah dan penampilan yang mendukung. Saya yakin kamu punya banyak relasi kelas papan atas yang sepadan dengan kamu. Masa, sih, kamu malah ngajak saya?" Angga menyudahi makan malamnya, menyusun peralatan makan dan menepikannya ke pinggir meja. "Kamu benar, saya sempat dekat dengan beberapa perempuan," kata Angga. "Tapi, ndak ada yang cocok. Ada yang cantik, tapi personalitinya ndak bagus. Ada yang attitude-nya bagus, tapi obrolan kami ndak nyambung. Ada yang obrolannya nyambung, personalitinya bagus, tapi dia vegetarian. Ada yang punya semua kriteria, tapi rasanya kayak ada yang kurang klik aja. "Saya yakin kamu tahu, seseorang yang sudah merasa content dengan dirinya sendiri, sudah ndak butuh lagi dengan yang namanya drama. Pernikahan adalah drama terbesar dalam hidup manusia. Drama istri ngambek bila suaminya lupa mengucapkan selamat ulang tahun, drama mertua horor kalau anaknya mengadu perkara kekurangan uang bulanan, drama anak tantrum gara-gara ayahnya telat pulang. Jangan salah paham, saya suka anak kecil. "Pada satu titik saya merasa lelah. Saya pikir, okay, I'm done with this s**t. Tapi sayangnya, keluarga saya ndak menerima itu. Mereka kepingin saya menikah dan hidup normal." "Oke." Elara mengangguk-angguk. "Tapi ada yang kontradiktif dalam pernyataan kamu. Untuk sebuah pernikahan pura-pura, kamu nggak perlu nyari orang dengan kriteria A sampai Z yang cocok atau nyambung diajak ngobrol. Kamu gay, tentunya kamu bisa mengajak salah satu perempuan yang kamu temui dan menawarkan kesepakatan yang sama kepada mereka seperti halnya kepada saya tempo hari. Easy!" "Masalahnya, mereka sudah baper duluan dan mengejar-ngejar saya," kata Angga percaya diri, sekaligus menutupi celah di mana ia terpeleset lidah sedikit. "Itu akan sangat merepotkan. Belum tentu juga ada yang mau, kan?" Angga sengaja tidak mengklarifikasi status orientasi seksualnya dan membiarkan Elara tetap pada asumsi yang dibangunnya sedari awal. Terlalu riskan bila Elara tahu dirinya pria normal. Takutnya, Elara menarik diri dan ia harus mencari perempuan lain lagi. "Dasar sok cool!" Elara mendengus sembari melipat tangan di perutnya. "Oh, I know how cool I am, and if you don't, that's your problem," sahut Angga polos. "Ck!" Elara mendelik lagi, tak percaya ia harus berhadapan dengan sosok pria yang kepercayaan dirinya setinggi langit. Entah percaya diri atau sombong, jelas batasnya tipis sekali. "Ada cukup banyak manusia yang pertama kali ketemu pasangannya dan langsung ngajak nikah, El. Mainmu kurang jauh, ya?" tukas Angga melihat Elara terdiam. "Tapi itu creepy." "Maaf bila saya bikin kamu takut," ucap Angga dengan tulus. "Biar saya tebak, kamu memutuskan mengajak siapa pun yang kamu temui malam itu untuk menikah?" "Hmm, ndak juga. Saya mengajak nikah karena yang datang adalah kamu." "Kalau bukan saya?" "Yo, ndak." "Jangan harap saya tersanjung, ya," kata Elara sinis. "But one more question. Why me?" Angga berpikir sejenak. "Saya rasa karena vibes–nya beda dari perempuan-perempuan sebelumnya. Saya punya feeling, kamu adalah orang yang cocok untuk saya ajak kompromi. Pertama kali ketemu saja kamu melihat saya kayak melihat musuh bebuyutan. Dari sana saya berasumsi bahwa sebenarnya kita senasib, sama-sama stress karena tekanan keluarga. Kalau kamu percaya dengan yang namanya good looking privilege, jelas itu tidak mengubah pandanganmu terhadap saya. Sampai kita berpisah kamu tetap jutek pada saya. "Setelah barusan saya tahu kamu berniat kabur karena jabatan saya yang seharusnya bisa kamu manfaatkan untuk panjat sosial, saya semakin yakin bahwa memang kamu orang yang saya cari. Setidaknya kerjasama kita akan berjalan baik tanpa bias pribadi." Sedari awal berjumpa, ia yakin perempuan di depannya adalah sebuah anomali, dan itulah yang membuatnya nekat menawarkan kesepakatan kepada Elara. Bukan satu atau dua kali ia bertemu dengan perempuan yang mayoritas menampakkan ketertarikan kepadanya pada pertemuan pertama. Tentu saja itu menjadi beban untuk Angga karena sesungguhnya ia tidak benar-benar serius ingin menikah. Elara menimbang-nimbang cukup lama sembari menatap Angga tajam. Dirinya kembali goyah. Menikah dengan Angga adalah tiket ekspres untuk terlepas dari tingkah otoriter ayahnya yang ngotot sekali mencarikannya jodoh. Ia juga akan terlepas dari peer pressure orang-orang sekitarnya. Dan satu privilege terakhir, ia bisa petantang-petenteng di hadapan Tira dan Beno. Bahwa selepas kepergian Beno pun, nyatanya ia bisa mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik dari segi rupa, harta dan kuasa. Sejenak saja ia merasa bersalah memikirkan itu. Entah bagaimana pendapat Angga bila tahu salah satu motif Elara. Lihatlah, kini otaknya ikut-ikutan sinting dibuatnya. "Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" Elara terperanjat, lamunannya buyar. Ia menatap Angga jengkel, tetapi pria itu menatapnya dengan ekspresi tenang, tak terpengaruh akan pelototan Elara. "Entahlah. Ini terlalu absurd," kata Elara pada akhirnya. "Kita jalani saja, El. Saya janji ndak akan mengusik kehidupan pribadimu. Jangan takut, saya juga bukan psikopat." Angga terkekeh geli, berusaha menebak-nebak beragam spekulasi buruk yang bercokol di kepala Elara melihat kening perempuan itu berkerut-kerut. "Selain status yang mengikat kita, you're free as bird." "Dasar sinting!" "Kamu juga sinting karena tadi melamar saya." "Saya ikutan sinting gara-gara kamu!" "Sesama manusia sinting, sepertinya kita berjodoh." Angga tertawa lepas, dibalas gerutuan Elara. "Kalau kamu ndak ada pertanyaan, boleh saya saja yang bertanya? Kita perlu mencocokkan beberapa hal, bukan?" "Oke." Elara menghela napas panjang. "Kamu punya saudara? Maaf, tadi saya ndak menyimak pembicaraanmu dengan Mami." Elara mengangguk malas. "Satu kakak perempuan, sudah menikah, namanya Tira." Bahkan sampai hari ini Elara masih ingin mengganti nama Tira jadi Medusa saja. "Dan satu adik laki-laki, namanya Arby." "Adik kamu masih kuliah atau ...." "Udah kerja, pilot." "Maskapai apa?" "Pesawat tempur, Dok. Pilot Angkatan Udara." Angga mengangguk-angguk. "Cool!" komentarnya. Wawancara tak resmi itu pun berlanjut. Angga lebih mendominasi dalam mengorek latar belakang Elara, riwayat pendidikan, pekerjaan, tetapi tetap menghindari hal-hal yang sifatnya pribadi. Ia rajin bertanya, namun menutupi informasi tentang dirinya sebaik mungkin. Elara merupakan lulusan Ilmu Administrasi Fiskal pada salah PTN top di Jawa Barat. Alih-alih memulai kariernya di Kementrian Keuangan ataupun Dirjen Pajak, ia lebih memilih perusahaan asing yang menurutnya penuh tantangan. Elara menapaki jenjang karier sebagai management trainee di bidang marketing, kemudian pivot ke dua divisi lain. Terakhir kariernya naik ke posisi finance accounting and tax manager. Selain sekelumit kecil yang bersifat formalitas, tak ada yang dapat Elara ketahui dari Angga. Dan mungkin tanpa sengaja, malah Elara yang membuka kartunya sedikit demi sedikit. "Maaf, ini mungkin bersifat lebih pribadi. Apa kamu punya hutang? Kredit bank, paylater atau semacamnya?" Elara langsung bersikap defensif. "Memangnya kenapa kalau saya punya hutang?" "Sepengetahuan saya, pegawai perusahaan asing punya gaji cukup besar. Kamu juga bukan generasi sandwich karena kemampuan finansial orang tuamu di atas rata-rata. Kalau sampai kamu punya hutang untuk gaya hidup, itu artinya manajemen keuanganmu buruk," kata Angga memaparkan analisanya. "Lalu, kalau misalnya saya punya hutang?" "Kerjasama kita batal." "Kenapa?" "Memangnya kamu mau nikah dengan calon suami yang punya hutang di sana sini?" "Enggak." "Saya pun sama." "Masuk akal, sih," Elara menggumam. "Adil." Tanpa terasa waktu pun menunjukkan pukul sebelas malam. Saking asiknya mengobrol, mereka baru tersadar kala salah seorang pelayan menghampiri dan mengatakan restoran mereka akan segera tutup. Setelah membayar tagihan, Angga dan Elara turun ke parkiran. "Oh, ya. Jangan lupa memberitahu orang tuamu tentang rencana kita akhir minggu ini," celetuk Angga mengingatkan. Ia membantu membukakan pintu mobilnya untuk Elara. Di waktu yang sangat minim tersebut, Elara masih mencoba mencari celah untuk mundur. "Saya ralat. Saya nggak mau nikah sama situ." Angga tersenyum kecil. "Telat, El. Mami udah pasang ancang-ancang buat ketemu orang tua kamu. Tapi, yah, kalau kamu ndak mau saya juga ndak maksa. Kamu punya nomor Mami, kan? Bilang saja terus terang pada beliau. Paling-paling kamu bakalan dicap ndak punya integritas." Elara mati kutu. Ia mengenyakkan bokongnya di kursi dengan kasar, sekaligus ia akan merasa sangat bersalah bila melakukan itu saat terbayang raut kecewa Tante Irene. Sial! "Sudah terlalu malam, El," kata Angga sembari memutar kunci mobilnya. "Sebaiknya kamu menginap di sini. Saya antar kamu ke hotel," tukasnya setelah Elara mengatakan hendak pulang ke rumahnya di daerah Jakarta Selatan. "Nggak apa-apa, Dok. Saya harus balik. Besok saya ngantor." "Bahaya, El. Kalau kamu dibegal, gimana? Jangan khawatir, saya pastikan mobil kamu sudah standby di lobby besok pagi," kata Angga mengingat mobil Elara masih terparkir di parkiran rumah sakit. Mereka berangkat menggunakan mobil Angga ke restoran. Elara yang suka sekali membantah, kini hanya mengangguk pasrah. "Oke." Dalam hitungan menit, mereka sudah sampai di hotel. Angga menemani Elara memesan kamar di meja resepsionis. Ia juga ngotot membayarkan biaya kamar untuk perempuan itu meskipun Elara sama ngototnya dengan penolakannya. Sebelum berpisah, mereka saling bertukar nomor ponsel. Elara juga memberikan kunci mobilnya pada Angga. "Saya pulang dulu, El. Terima kasih untuk malam ini, ya," kata Angga berpamitan sembari menyunggingkan senyuman lembut. "Good night." "Good night, Dok." Selepas Angga membalikkan badan, Elara menatap punggung pria itu sampai hilang dari pandangan. Sekarang ia mengerti mengapa banyak perempuan baper kepada Angga, tentu saja karena sikapnya yang hangat dan perhatian. Dan satu lagi, dia sinting! Tanpa sadar, mulutnya yang sedari tadi hanya mengeluarkan decakan dan dengusan kesal, kini diam-diam mengulum senyuman. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD