Angga berdeham kecil. "Jadi ... gimana?"
"Jangan Titanic. Parasite aja, saya belum nonton," tunjuk Elara ke layar televisi. "Kamu sudah nonton?"
"Belum, sih. Tapi, saya maunya Titanic."
"Ya sudah, nonton aja sendiri," Elara langsung berdiri.
"Tunggu dulu." Angga menarik tangan Elara hingga perempuan itu terduduk kembali. "Gimana kalau kita suit saja?"
"Males banget, Dok." Elara memasang tampang cemberut. "Kamu yang ngajak saya nonton tapi filmnya nggak bisa milih. Gimana, sih?"
"Kita suit dulu biar lebih adil. Kalau kamu menang, kita nonton Parasite," katanya berharap dirinya yang menang dan adegan romantis dalam film Titanic mampu membuat mereka terbawa suasana.
Otakmu tolong dikondisikan! bentak Angga pada dirinya sendiri.
Elara tertegun menatap uluran tangan Angga. Bersama Beno, ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Tidak pernah Beno menolak kemauannya, ajakannya, ataupun pilihan yang ia tawarkan. Beno cenderung penurut. Bahkan sekadar melayangkan protes pun tidak pernah. Elara pikir Beno selalunya suka mengalah.
Kini Elara dihadapkan pada pria yang tidak mengizinkan dirinya mendominasi, melainkan menawarkan pilihan yang adil. Pun ketika Elara tidur di kamar Angga, pria itu tidak mengalah dengan tidur di tempat lain, melainkan meminjamkan sleeping bag sebagai solusi. Sangat sederhana, tetapi impact–nya besar bagi Elara.
Tiba-tiba saja Elara tercekik. Bayangan raut wajah pasrah Beno mulai merasuki. Apakah benar selama ini dirinya terlalu dominan sehingga Beno memilih pergi?
"El?"
Elara tergeragap. "Y–ya?"
"Mikirin apa?" tanya Angga lembut. "Kamu sakit?" tangannya refleks meraba kening Elara.
"Nggak apa-apa." Elara memundurkan tubuhnya sedikit, menghindari kontak fisik. "Ayo kita suit," katanya dengan suara serak.
"Oke. Rock, scissor, paper, shoot!" Angga mengeluarkan tanda gunting. Elara pun sama. "Rock, scissor, paper, shoot!" ulangnya.
Elara geleng-geleng kepala. Usianya sudah berkepala tiga tetapi masih melakoni hal-hal kekanakan seperti ini.
"Yaay! Saya menang!" Elara bersorak kegirangan seperti anak kecil setelah tanda kertasnya membungkus tanda batu Angga.
Dengan suka rela Angga menuruti kemauan Elara menonton Parasite. Senyuman hangat terlukis di bibirnya. "Yours," katanya sembari mengulurkan remote control.
Elara sigap menentukan pilihan.
Secara garis besar, Parasite menceritakan kesenjangan sosial antara dua keluarga. Keluarga Kim sebagai si miskin dan keluarga Park sebagai si kaya. Dibalut dengan komedi, adegan demi adegan tentang prasangka serta keserakahan mengisi jalan cerita.
Keduanya menikmati film berdurasi dua jam lebih yang memenangkan Academy Award untuk kategori film terbaik itu. Selama film berlangsung, kening Elara berkerut-kerut, sedangkan Angga sesekali tampak gelisah. Apalagi ketika selama beberapa detik layar televisi menampilkan adegan panas. Ia melirik samar pada Elara. Namun, Elara tampaknya tidak terpengaruh suasana.
"So, what do you think?" tanya Angga setelah layar menampilkan credit di akhir cerita.
"Apanya?" Elara balik bertanya.
"Menurutmu, filmnya gimana?"
"Ada yang janggal."
"Maksudmu?"
"Coba pikir, orang kaya t***l mana yang merekrut asisten berturut-turut untuk dipekerjakan di rumahnya tanpa melakukan background check?" sembur Elara sengit. Alih-alih memuji film yang pernah memenangkan berbagai penghargaan tersebut, malah kritikan pedas yang terlontar dari mulutnya.
"Hah?" Angga melongo. Rasanya seperti terempas ke lorong waktu. Deja vu.
"Orang gila mana yang nekat ngajak nikah perempuan yang baru dia temui satu kali tanpa background check?"
Setelah itu Angga tersadar, ia tidak menikahi Elara tanpa background check, melainkan ibunya sudah melakukan itu. Baginya itu sudah cukup. "Begitu, ya?"
"Mereka orang kaya, Dok. Apa nggak ada semacam tes atau psikotes atau apalah bagi orang-orang yang hendak bekerja bersama mereka? Setahu saya, untuk menjadi ART di rumah orang kaya seperti keluarga Park itu butuh kualifikasi, nggak bisa sembarangan. Nggak tahu, ya, standarnya di Korea bagaimana," ujarnya panjang lebar.
"Tapi Bu Park bilang dia hanya mempercayai orang yang direkomendasikan oleh kenalannya," kata Angga mencoba membantah. Jujur saja, ia tidak begitu menikmati film tersebut. Bukan karena akting para pemainnya tidak bagus, melainkan karena ada Elara. Bayangan-bayangan m***m berkelana liar di otaknya dan itu membuat distraksi yang cukup besar.
"Tetap nggak masuk akal, Dok. Dia juga baru kenal dengan Jessica, kan?"
"Benar juga. Menurut saya, filmnya adalah gambaran umum tentang kesenjangan sosial," sahut Angga netral.
"Menurut saya bukan itu. Film ini tentang kedengkian, ketamakan, dan kebencian manusia," sahut Elara lagi. "Plot hole kedua. Coba bayangin, mereka minum whiski, lalu juga ada botol wine pecah dan pecahannya disembunyikan di bawah karpet, atau di bawah kursi, ya? Tapi kenapa keluarga Park nggak menyadari itu? Kamu pernah minum-minum, kan? Bau whiski dan wine itu lumayan strong, lho.
"Tiga, ada orang yang sudah lama nggak nyetir mobil lalu tiba-tiba mahir mengendarai Mercedez Benz? Oh, come on. Mercedez Benz itu bukan mobil sejuta umat kayak Avanza. Itu mobil kelas atas. Don't you think it's a little bit out of sense? Kenapa film ini sempat hype banget, sih?" gerutu Elara. "I think Train to Busan is much better than this. Kok, film ini bisa menang banyak award, ya?"
"Well, I don't know." Angga garuk-garuk kepala menghadapi sikap kritis Elara,
Angga menganggap film hanyalah sebagai hiburan. Masa bodoh dengan nilai moral dan pesan-pesan. Ia tidak menganalisanya sampai sejauh itu, bahkan memikirkan film yang baru saja ditontonnya pun tidak. Meskipun ada beberapa quote atau potongan adegan yang menetap di kepalanya, itu bukanlah sesuatu yang istimewa. Sepertinya, ke depannya ia harus mengubah paradigmanya tentang karya seni audio visual tersebut.
"El?" panggil Angga setelah mereka cukup lama terdiam.
"Ya?"
"Kamu sudah mau tidur?"
"Kayaknya, sih. Saya mulai ngantuk, nih." Elara menutupi mulutnya yang menguap. "Hampir jam tiga."
"May I tell you something?"
"Ya?" Elara memutar tubuhnya menghadap Angga. "Ada apa?"
Angga berdeham. "Apa kata seksi termasuk kata yang kurang ajar dalam kamusmu?"
Elara mengerutkan dahi. "Tergantung konteksnya. Kenapa?"
"What I am trying to say is, kamu seksi malam ini."
"Oow!" Elara terpana. Ia melirik penampilannya sendiri dan seketika mukanya memerah saat tersadar dirinya tidak mengenakan bra. Untung saja kaus yang ia gunakan sangat kebesaran. Lagipula, ukuran payudaranya standar saja, tidak terlalu menonjol di kausnya.
"Kamu lagi m***m, ya?" Mata Elara menyipit.
Angga terbahak. "Memang sulit membedakan antara pandangan m***m dan pandangan jujur, El. But honestly, di mata saya, malam ini kamu seksi. Terserah kamu mau mengartikan saya m***m atau apa." Angga mengangkat kedua tangannya, berserah diri akan sudut pandang Elara atas ucapannya barusan.
"Thanks." Alih-alih marah, Elara menanggapi dengan cara lain. Dirinya sudah dewasa, bukan lagi abege yang malu-malu atau marah-marah setelah mendengarkan ucapan yang sedikit menjurus. Lagipula Angga tidak melecehkannya. Tatapan pria itu tertuju pada mata Elara, bukan melirik kurang ajar pada tubuhnya. "Apa itu pujian atau—"
"Itu pujian."
"Oke. Mungkin kamu butuh kacamata, Dok."
"El—"
"Apa penampilan saya memberi pengaruh buat kamu?"
"Saya manusia biasa, El, pria normal, punya hasrat dan nafsu. Tentu saja saya terpengaruh," jawab Angga jujur. Bukan hanya terpengaruh, ia bahkan hampir mabuk saat ini.
"Saya harus ganti pakaian biar kamu nggak berpikiran m***m?" potong Elara.
"No. Kontrolnya ada pada saya, bukan pada kamu."
"Astaga!" Elara berdecak. "Kamu itu seperti malaikat, Dok. Entah kenapa kamu bisa terjebak menikah dengan perempuan yang nggak bisa kamu apa-apain kayak saya. Dan bodohnya, saya dulu yakin sekali kamu itu gay. Ngomong-ngomong, are you happy with our marriage?"
"Sure." Angga mengangguk. "Saya bahagia menjalani pilihan-pilihan yang saya buat dalam hidup saya. Tapi akan lebih bahagia lagi kalau—"
"Kalau apa?" potong Elara cepat-cepat.
Angga mengulum senyum. "Kalau kamu mau diapa-apain."
"Heh!" Elara melotot. Namun, pelototannya hanya sebentar, berganti dengan senyuman geli. Hidup bersama Angga mengajarkannya mengontrol dirinya sendiri. Ia belajar mengimbangi kelembutan tutur kata Angga. "Dasar omes!" makinya sambil tertawa. Pria di depannya juga tertawa.
Kali ini Elara tidak tersinggung. Entah kenapa, ia merasa aman. Angga tidak berbahaya. Justru kini yang berbahaya adalah perasaannya sendiri.
Lalu tiba-tiba saja Elara membayangkan seperti apa bila bibir Angga menyentuh, mencecap, menjelajahi kulitnya. Apakah sepanas ketika Angga menciumnya? Apakah Angga bersikap penuh kelembutan? Atau malah beringas?
Tengkuk Elara meremang. Kayaknya gue mulai mikir yang aneh-aneh!
Mereka sama-sama terdiam. Canggung.
"Belum pernah ada yang bilang saya seksi sebelumnya," gumam Elara tiba-tiba. Seharusnya ia pergi, tetapi mengobrol bersama Angga lebih menggoda. "Saya pikir, saya ini underrated. Saya nggak menarik. Jadi haruskah saya berterima kasih atas pujianmu barusan?"
"Lihatlah dirimu di cermin, El." Giliran Angga yang memutar tubuhnya sembari mengikis jarak, lalu menatap Elara serius. "Apa kamu mencintai dirimu sendiri?" tanyanya tiba-tiba.
Elara tersentak. "Eh, maksudmu apa, Dok?"
"Saya bertanya, apa kamu mencintai dirimu sendiri?"
"Tentu saja. I ... umm, I ... don't know. Should I ...?" Elara tergagap menggigit bibirnya. "Saya pernah ... itu ... memangnya kenapa?"
"Saya pernah bilang, kan, ada yang salah dengan caramu menghargai dirimu sendiri?" tanya Angga mengingatkan.
"Dok, apa kamu pernah dibanding-bandingkan dengan Jani oleh Mami dan Papa?"
Angga menggeleng. Tanpa perlu Elara menjelaskan, kini Angga mengerti, hidup dengan keluarga seperti apa Elara selama ini. Ternyata bukan hanya tentang sibling rivalry, juga ada ketidakadilan yang diterima Elara dari orang tuanya. Berdasarkan pengakuan yang diterimanya dari kenalan serta bawahannya yang sudah berkeluarga, setiap orang tua selalunya punya anak favorit. Yang jadi masalah adalah ketika orang tua menunjukkan kecenderungan itu secara terang-terangan dan melukai hati anak-anaknya.
Sekarang Angga juga mengerti sikap Elara pada ibunya tempo hari. Rupanya mereka tidak akur karena masalah pilih kasih. Dan ia juga mengerti fungsi berbotol-botol skin care kepunyaan Elara. Perempuan itu merasa kalah cantik dari kakaknya.
"Sekarang kamu tahu, kan, kenapa pertanyaanmu barusan terdengar aneh di kuping saya?" Pandangan Elara menerawang jauh. Saking seringnya dibanding-bandingkan dengan Tira, ia tidak merasa dirinya cukup berharga. Bukan hanya dari keluarga besar, lingkungannya pun mencap dirinya demikian. Tak peduli seberapa banyak prestasi yang ia torehkan, wajahnya tetap dipermasalahkan. Perempuan hanya dilihat dari kecantikannya, bukan isi otaknya. Itulah yang diajarkan society kepadanya selama ini.
"Kakakmu cantik, tapi kenapa kamu tidak? Kulitmu gelap. Anak siapa kamu sebenarnya?"
"Wah, dia adiknya Tira? Yang model itu? Kok, beda, ya?"
"Jangan-jangan dia anak pungut?"
Ingin ia meneriakkan status Tira sebagai kakak tirinya pada dunia agar mereka tak lagi dibanding-bandingkan, hanya saja ayah dan ibunya melarang. Mereka bilang, kasihan Tira, tetapi mereka tidak kasihan kepada dirinya. Tidak adil sekali, bukan?
Mata Elara mendadak bergerimis. Ia menggigit bibirnya. "Saya mau tidur."
Lagi-lagi Angga menahan tangan Elara. Tanpa berkata apa pun lagi, ia merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya.
Tindakan Angga membuat Elara terkejut. Tubuhnya sempat menegang sejenak. Ingin rasanya ia kabur, namun kakinya menolak bekerjasama. Biarlah ia menikmati pelukan itu sebentar saja.
Ketika Angga mengusap-usap rambutnya, matanya perlahan-lahan terpejam.
Nyaman. Ingin rasanya ia tertidur sampai pagi di ceruk bahu Angga.
"Maaf, saya lancang memelukmu," ujar Angga setelah melepaskan pelukannya, kemudian mengangkat dagu Elara dengan ujung jarinya. "Mulai detik ini, belajarlah mencintai dirimu sendiri, oke?"
Sekarang Angga punya PR baru, mengajarkan Elara tentang penerimaan diri, seperti halnya dirinya yang dulu melakukannya dengan tertatih-tatih. Dan tentunya ia harus memulainya dengan perlahan sekali.
Elara mengangguk. "Saya iri, kamu punya keluarga yang hangat dan tulus."
"Keluarga saya sekarang sudah menjadi keluarga kamu. Papa saya sudah jadi papa kamu, begitu pun Mami dan Jani. Ndak perlu iri."
"Kenapa kamu baik banget, sih, Dok?"
Angga terkekeh. "Masa, sih?"
"Serius, kamu itu terlalu baik."
"Biasa saja, El." Angga mengangkat bahu. "Berbuat baik adalah bagian dari kemanusiaan."
"Oww!" Elara mengangguk-angguk maklum. Tentu saja. Kemanusiaan.
Kemanusiaan.
Elara mendengus dalam hati. Hello, memangnya apa lo pikirkan?
**
Di k********a sudah sampai part 29, yah. Silakan mampir bila berkenan. Cari aja username Andrea Doria. Thank you ?