BAB 2

4189 Words
Hari pertama gue bekerja berjalan dengan lancar, si bos memberikan tablet yang isinya jadwal dia, dan gue dikasih satu ponsel yang isinya nomor khusus kolega dan rekan bisnisnya. Intinya gue hanya mengatur jadwal si bos dan me-lobby koleganya untuk memindahkan jadwal yang bentrok. Sebetulnya tugas gue banyak, namun untuk saat ini bos baru menitahkan untuk mengatur manajemen waktunya. Meja kerja gue berada tepat di luar ruangan bos, terpisah dari karyawan yang lain. Ruang kerja gue bisa dibilang cukup privat karena ada pintu yang membatasi antara ruangan bos maupun karyawan lain, tapi sayangnya untuk masuk ke dalam ruangan bos, haruslah melalui ruangan gue terlebih dulu. Dibanding karyawan lain, si bos tentu saja lebih mudah dalam mengawasi gue. Semua berjalan lancar, tidak ada omelan dan bentakan. Si bos lebih seperti acuh tidak acuh dengan kehadiran gue. Sampai hari ketiga gue bekerja, gue disuruh lembur untuk memilah-milah berkas dan menyiapkan materi presentasi untuk si bos. Saat gue masih sibuk dengan berkas, pintu ruangan gue terbuka dan menampilkan sesosok cewek yang berpenampilan aduhai banget. Paha dan d**a ke mana-mana. Gue jadi membandingkannya dengan milik gue yang tidak ada apa-apanya. Itu pake busa nggak ya? Kok bisa ngebentuk sampe segitunya. Sekarang gue jadi inget meme di restoran cepat saji yang pilih paha atau d**a yang sangat ambigu itu. "Laynatanya ada Mbak?" tanya cewek itu. Entah perasaan gue doang atau memang cara bicara cewek itu dibuat-buat. "Bos ada di dalam ruangannya," jawab gue sambil berdiri setelah membungkukan badan gue singkat. Tanpa basa-basi, perempuan itu main nyelonong masuk ke dalam ruangannya. Mungkin itu pacarnya, dan dia sudah terbiasa ke sini. Gue pun memilih untuk duduk lagi di kursi dan kembali tenggelam dalam tugas memilah berkas sambil menggerutu dalam hati. Ini jam delapan malem dan gue belum pulang. Semua karena berkas-berkas sialan ini. Tidak lama pintu ruangan bos kembali terbuka menampilkan bos gue yang... ekhem, cukup tampan itu. "Jangan pulang sampai saya suruh," titahnya. Astaga gue bakal pulang jam berapa ini? Gue menganggukan kepala sebagai jawaban, "iya, Pak." Dia yang gaji, jadi dialah yang berkuasa. Babu kubikel kayak gue cuma bisa menuruti perintahnya yang bisa dibilang mutlak itu. Bos masuk lagi ke dalam ruangannya setelah mengucapkan lima kata singkat yang membentuk sebuah kalimat perintah itu. Selama tiga hari gue bekerja di sini, syukurnya belum menemukan keanehan apa pun. Konon katanya asisten pribadi seorang Laynata Yisakha yang sebelum-sebelumnya paling lama hanya bertahan seminggu. Gue jadi bingung kenapa mereka tidak betah padahal kerjanya tergolong gampang. Tidak lama setelahnya gue mendengar suara desahan dari dalam ruangan bos yang membuat batin gue menjerit histeris. ANJIR YANG BENER AJA. MASA DI KANTOR SIH? Gue tidak m***m, dan juga belum pernah melakukannya, tapi gue nggak b**o-b**o amat untuk mengetahui kegiatan apa yang mereka lakukan di dalam sana. Gue rasanya mau kabur aja dari ruangan ini, tapi kata bos disuruh nunggu. Gue jadi galau. Semakin lama suara laknat itu semakin kencang dan membuat gue panas dingin sendiri. Kuping dan pipi gue sampai memerah karena membayangkan apa yang terjadi di dalam sana. Bos gue fix gila. Pantes aja Byakta menyangka hal yang tidak-tidak saat interview kemarin, orang dia kelakuannya begini. Gue pun memasang headseat di kuping dengan volume yang cukup untuk menghalau suara laknat di dalam sana dan kembali fokus mengurus berkas yang sudah hampir selesai gue kerjakan, meski sesekali bayang-bayang akan apa yang bos dan pacarnya lakukan di dalam sana menghantui. Gue melihat jam dengan perasaan gelisah, padahal pekerjaan gue udah selesai, tapi gue tidak bisa pulang karena perintah mutlak dari bos. Kapan sih kelarnya? Akhirnya pintu ruangan bos terbuka dan menampilkan cewek tadi dengan penampilan yang tidak serapi sebelumnya. Dia cuma melengos begitu saja dan pergi tanpa melihat gue. Gue masih mencoba fokus dengan game di ponsel sampai pintu ruangan bos kembali terbuka, dan menampilkan bos gue yang sudah melepas jas dan dasinya. Dia hanya memakai kemejanya yang digulung sampai siku dan kancing bagian teratasnya terbuka. Gue bengong sendiri melihat penampilannya yang tergolong ganteng banget ini. "Sudah selesai?" Ini aturan gue yang nanya bukan sih? Urusan gue udah kelar dari tadi. Urusan dia tuh yang nggak sebentar kelarnya. "Sudah, Pak." "Jangan panggil saya Bapak, saya nggak setua itu." Bos memang tergolong muda, usianya mungkin baru awal tiga puluhan. Wajahnya terbilang ganteng meski kesan angkuh dan dingin menyelimuti. Tapi dari semua penampilannya, yang paling mencolok adalah lesung pipit di pipi miliknya. Mungkin kesan manis akan didapat darinya kalau saja dia lebih sering tersenyum. "I-iya Bos." Bos kembali masuk ke ruangannya yang membuat bibir gue mencebik. Kapan gue pulang kalau gini ceritanya? "Kamu ikut saya," ucap bos begitu keluar dari ruangannya sambil menenteng jas miliknya di tangan sebelah kiri. Sementara tangan sebelah kanannya memegang kunci mobil. Gue pun buru-buru memasukan barang-barang gue ke dalam tas dan mengekori dia sampai ke mobilnya. "Saya harap kita bisa profesional tanpa perlu saling tahu urusan pribadi masing-masing dalam beberapa hal, seperti tadi contohnya," ucap Bos dengan tiba-tiba. Gue pun hanya menganggukan kepala kaku sebagai jawaban. Asal gaji gue cukup sih nggak masalah Bos, tapi volumenya lain kali kecilin. Gue yang pusing masalahya. "Jadwal saya besok apa?" "Rapat dewan direksi, dan lusa ke Thailand." "Saya hanya tanya jadwal saya besok," katanya ketus. Lah iya gue salah ini mah... "Maaf Bos," kata gue dengan tidak enak. "Kamu sudah pesan tiket?" "Belum, Bos." Gue bisa ngedenger dia menghela napas kasar sebelum ngomong, "Saya yang pesen untuk kali ini. Lain kali kamu yang pesen. Saya maklumin karena kamu masih baru." Gue pun mendengus lega setelahnya. Kalau gue dipecat saat belum dapet gaji kan sedih. Suara alarm tanda kunci mobil dibuka terdengar, dan bos memberikan gestur agar gue naik ke mobilnya dengan gerakan kepala. Gue pun akhirnya menuruti titahnya untuk masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt. Mobil itu mulai berjalan dan membelah jalanan yang cukup padat. "Maaf Bos, kalau boleh tau kita mau kemana?" Pada akhirnya gue tidak tahan untuk bertanya pertanyaan yang gue simpan di ujung lidah sejak pertamakali bos menyuruh gue untuk mengikutinya. "Apartemen saya." Nah lho... Ngapain gue diajak ke apartemennya?!   *** Apartemen ini mungkin lebih layak disebut dengan rumah, sama rumah gue pun gedean ini kali. Isi apartemennya dua tingkat, dengan interior yang pastinya terlihat berkelas. Nggak heran lah ya, namanya juga bos perusahaan terkenal. Masalahnya gue ngapain dibawa ke sini sama dia? sejak tadi pertanyaan itu benar-benar mengganggu gue. "Ikut saya," kata dia sambil membuka salah satu ruangan yang gue rasa adalah kamarnya. Karena ada ranjang cukup besar di dalamnya. Gue hanya mengekori langkahnya untuk memasuki ruangan itu. Ayolah, gue nggak boleh berpikrian jelek, batin gue mencoba berpikir positif. Tapi kalau cewek sama cowok di dalam kamar berduaan, orang ketiganya pasti setan. Belom lagi tadi kan bos gue ... Gue menggelengkan kepala untuk menjernihkan otak. Semua karena suara desahan nggak jelas tadi! Otak gue jadi kotor. Gue melihat dia masuk lagi ke sebuah pintu di dalam kamar itu, ternyata itu walk in closet yang penuh dengan pakaian dan juga koleksi sepatu miliknya. Walk in closet miliknya sudah seperti departemen store di mall. Gue rasa di dalam lacinya masih ada koleksi dasi atau jam tangan. Gue jadi inget Kim Bum di drama Boys Before Flowers! "Di sisi ini pakaian yang sudah pernah saya pakai, yang ini belum," ucap bos tiba-tiba sambil menunjukan sisi yang ia maksud dengan telunjuknya. Terus? Gue ngapain dong? Gue masih bergeming. Bingung harus ngapain sampai dia berbalik badan untuk menghadap gue dan menyuruh untuk menurunkan kopernya dari lemari bagian atas. Dih? Dia kan laki-laki, masa nyuruh gue yang perempuan sih? Satu menit setelahnya, gue baru ingat kalau dia adalah orang yang membayar gue dengan tujuh digit angka nol yang berjajar dengan rapi. Hal itu membuat gue menjalankan perintahnya. "Saya mau kamu pilih pakaian saya. Mulai dari kemeja, jas, dasi, ikat pinggang dan juga sepatu. Di sana sudah tersedia khusus tempat-tempatnya. Setelah itu baru kamu masukin ke dalam koper." Ucapan bos membuat dahi gue mengkerut. Ini termasuk kerjaan gue juga? "Kalau sampai warnanya nggak sesuai keinginan saya, saya nggak akan pakai itu. Semakin banyak pakaian yang nggak saya pakai, semakin banyak juga poin kurang kamu di mata saya," lanjutnya yang membuat gue terperangah. FAK. PANTES AJA GA ADA YANG BETAH. "Ada pertanyaan?" Kok lo ngeselin sih? "Nggak ada Bos," jawab gue singkat. Gue hanya bisa menggerutu dalam hati karena masih sayang dengan pekerjaan gue. Lagian gue belum dapat gaji. "Kamu nggak boleh pulang sebelum selesai." Gue pun pada akhirnya memilah pakaian dia sesuai dengan warna. Gue milih yang kalem-kalem saja, dan tidak terlalu mencolok, dan gue tidak memilih warna yang terlalu bentrok. Untuk sepatu dan ikat pinggang gue memilih warna hitam yang akan masuk ke semuan warna. Gue memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam tas khususnya, baru gue memasukannya ke dalam koper. Kami di sana selama tiga hari, untuk mengurangi risiko kesalahan, gue memilih lima setelan resmi, tiga baju biasa, tiga sepatu resmi, dan satu sepatu biasa. Gue masih merapikan sepatu saat pintu ruangan terbuka dan menampilkan bos yang hanya memakai handuk. Belum lagi rambutnya masih basah, dan bulir-bulir air masih menetes di badannya. Sial... ini ujian kehidupan! Tapi sekaligus berkah sih.... hehe Gue mengalihkan pandangan ke mana pun asal bukan ke arahnya. Karena intensitas jantung gue untuk memompa darah sepertinya berubah menjadi lebih cepat. Dia tau ada perempuan di sini, tapi kenapa dia bertingkah cuek untuk memilah baju di depan gue dengan hanya dibalut handuk doang. Ya ampun... gue pusing! "Sudah selesai?" Gue hampir terjengkang begitu mendengar teguran itu. Bos sudah memakai celana training sebagai ganti handuknya, tapi atasnya masih polos. Hanya handuknya yang kini tersampir di bahu. Gue bisa melihat ototnya yang terbentuk secara jelas dan juga ... bagus. Gue tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya! Maybe ... hot adalah rangkaian huruf yang tepat untuk menggambarkannya. "Saya sudah milih lima pakaian formal, tiga pakaian biasa untuk Bos," jawab gue mencoba biasa. Jantung gue deg-degan begitu melihat pemandangan ‘indah’ seperti itu. "Masih ada yang kurang," kata dia sambil membuka satu laci, dan itu isinya daleman dia semua. "Saya yang pilih Bos?" tanya gue dengan tidak yakin. Tetapi anggukan darinya mematahkan ketidakyakinan gue yang hanya bertahan dalam beberapa detik. Gue yakin muka gue udah merah sekarang. Seumur-umur celana dalem bokap gue aja belum pernah gue pegang. Lah dia?! Nyuruh gue milihin dalemannya. Gue antara mau nangis sama ketawa sekarang. Konyol banget elah bos gue! Pada akhirnya gue tetap melakukan titahnya untuk memilih daleman dia yang rata-rata berwarna gelap secara acak, dan langsung memasukkannya ke dalam koper tanpa pikir panjang. Gue nggak mau lama-lama megang daleman orang. "Saya sudah pesan makan malam, habis makan kamu saya antar pulang." Gue menghembuskan napas lega. Ini sudah jam setengah sebelas, dan gue belum makan malam karena bos yang super ngeselin ini. Si bos tau aja cacing di perut gue udah demo. Hehehe... Gue pun keluar dari walk in closet dan mengikuti langkahnya yang berakhir di dapur. Bos memanaskan menunya di microwave sementara gue masih berdiri mematung, bingung mau ngapain. "Kamu mau diem aja di situ?" Hello?! Terus gue ngapain? Kayang? Sikap lilin? Nari striptease di depan lo? "Saya harus gimana Bos?" tanya gue bingung. "Duduk sana," jawabnya ketus. Gue pun akhirnya duduk di meja yang masih berada di kawasan dapur. Tidak lama setelahnya dia mengeluarkan makanan dari microwave dan menaruh piring berisi pasta itu di depan gue. Bos mengambil tempat di samping gue, dan dia mulai memakan pastanya yang masih mengepulkan uap hangat. Fetucini carbonara adalah salah satu favorit gue. "Nggak suka pasta?" tanyanya begitu melihat gue yang masih cengo. Gue masih tidak menyangka dia mau menyiapkan makan malam, di saat memilih dalaman untuk perjalanan bisnisnya saja menyuruh orang lain. "Suka kok," jawab gue sambil menyuapkan pasta ke mulut. Persetan dengan image dan tata krama meja makan, cacing di perut gue gak bisa diajak kompromi sekarang. Laper banget! Suara ponsel bos mewarnai atmosfer yang hanya diisi oleh suara garpu yang beradu dengan piring dan suara seruputan pasta yang berasal dari mulut gue.  Bos mendengus, kemudian ia menyerahkan ponselnya ke arah gue. "Angkat," titahnya. Karena gue masih mengunyah, gue menunjuk diri sendiri untuk memastikan, dan dia mengangguk mengiyakan. Gue pun mengangkat telepon itu. "Laynata! b******k lo! Kenapa lo ninggalin gue?!" teriakan histeris menguar dari seberang telepon, bisa dipastikan orang itu berjenis kelamin perempuan jika didengar dari suranya yang cukup melengking. Lah ini cewek kenapa marah-marah lagi? Gue bingung menjawab apa, tapi bos hanya melihat gue tanpa mengucap sepatah kata, atau memberikan gestur bagaimana menjawab panggilan ini. "Halo?" Pada akhirnya cuma kata itu yang gue keluarkan. "Loh? Kok cewek sih yang ngangkat? Lo siapanya Nata?! Cewek barunya?! Dengerin ya! Dia cowok b******k! Playboy! Nggak punya perasaan!" "Saya a—" sistennya.. Telepon itu langsung diambil sama bos sebelum gue bisa menyelesaikan kalimat gue. "Gue udah ada yang baru, nggak usah ganggu gue lagi. Dari awal gue udah bilang kalau gue itu nggak suka komitmen. Gue akan jalan dan tidur sama siapa pun yang gue mau. Lo nggak usah ngatur hidup gue karena lo bukan siapa-siapa. Ngerti lo?" Setelahnya sambungan telepon itu diputus begitu saja olehnya tanpa raut bersalah sedikitpun. Damn... ini bos gue beneran? Yang kaku dan ngomong saya kamu terus? "Kalau kamu sudah selesai, saya antar pulang." Gue tau dia menyuruh gue pulang saat ini juga tanpa menunggu gue selesai makan. Nada yang digunakannya seperti mengusir secara halus. Jadi gue memilih untuk sadar diri. "Saya sudah selesai kok, Bos." Maaf cacing-cacing perut... padahal pastanya enak. *** Hari ini gue pergi ke Thailand bersama si bos yang seenaknya itu. Ternyata dia benar-benar seenaknya dalam segala hal. Selain untuk urusan kerja, di dalam kehidupan pribadinya juga sama. Tapi untuk saat ini gue masih mensyukuri kebaikan hatinya untuk mengurus keberangkatan perjalanan bisnis kali ini karena gue yang masih baru. Untung saja saat Zahra bilang persyaratan melamar kerja kemarin harus mempunyai passport sudah gue penuhi. Ponsel gue yang berbunyi dengan suara panggilan khusus untuk bos membuat gue panik, padahal ini masih jam tujuh pagi dan gue sedang sarapan bersama orangtua. Boarding time kami juga jam sebelas siang nanti. Lalu kenapa bos menelepon sepagi ini? Untuk mengetahuinya gue pun memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. "Halo?" "Saya di depan rumah kamu, cepet kalau nggak mau ketinggalan pesawat." Tut. Panggilan itu diakhiri begitu saja. Tipikal Laynata Yisakha, manusia seenaknya. Gue pun langsung berdiri dan pamit sama orangtua gue. Nyokap bokap gue menanyakan kenapa gue buru-buru dan tidak menghabiskan sarapan. "Bosku udah ada di depan Ma, aku berangkat dulu ya," pamit gue sambil menarik koper ke luar rumah. Begitu keluar rumah, gue melihat si bos yang sedang menunggu di mobilnya dengan tampilan yang luar biasa sempurna, selayaknya untuk menghadiri rapat dewan direksi. Bos gue kapan nggak gantengnya sih?! Gue buru-buru menaruh koper di bagian belakang mobilnya. Meski seenaknya, namun sikap professional si bos tidak perlu diragukan lagi, buktinya dia masih saja memakai pakaian formal lengkap saat mau naik pesawat begini, padahal kan kita butuh kenyamanan dalam pesawat, dan kenyamanan itu salah satunya berasal dari pakaian yang dipakai. Untung gue masih memakai pakaian formal juga walaupun dengan celana, bukan rok seperti biasa. Gue sengaja tidak memakai heels saat ini. Si bos jalannya cepat, gue tidak mau ketinggalan dia saat di bandara. Bos menyinggingkan senyumnya ke orangtua gue yang membuat nyokap gue senyum sumringah. Gue yakin kalau di film kartun matanya sudah berbentuk hati. Mama tau aja sih yang cakep yang mana.... Gue pun buru-buru memasang seatbelt dan bos langsung menjalankan mobilnya setelah menganggukan kepalanya ke orangtua gue, sopan sekali. Setelah meninggalkan rumah gue, senyumnya menghilang entah ke mana, dan ia kembali menjadi bos yang biasanya. Gue hanya diam sampai bos memarkirkan mobilnya di parkiran VIP yang ada di bandara. Gue mengambil koper, dan gue bingung melihat bos yang tidak memegang apa pun, ke mana koper yang sudah gue siapkan? Gue kerepotan menyeret-nyeret koper di belakangnya. Bos sama sekali tidak ada inisiatif untuk membantu. Iya sih dia kan bos, tapi langkahnya jangan cepet-cepet juga, kan gue kerepotan mengimbanginya. Bener kan feeling gue, untung gue tidak memakai sepatu tinggi. Gue masih terus mengekori bos sampai dia berhenti tiba-tiba dan membuat gue menubruk punggung tegapnya. "M-maaf bos," ucap gue tidak enak. "Kamu itu stalker  atau asisten saya?" tanya dia setelah membalikan badannya untuk menghadap ke arah gue. "Asisten, Bos." "Jalan di samping, jangan di belakang saya," titah dia ketus. Kaki lo panjang anjir gue susah ngimbanginnya! Mana gue bawa koper! Sialan! "Iya Bos," jawab gue pasrah pada akhirnya. Tapi wajah bete gue tidak bisa disembunyikan. "Ayo ke lounge, kita sarapan," ajak bos gue.   *** Sesampainya di Thailand ternyata sudah ada yang menyambut kami. Koper gue dan bos sudah dibawakan oleh staff di sana ke hotel. Ternyata bos sudah mengirim kopernya lebih dulu untuk perjalanan ini. Mungkin ia tidak mau repot. Pekerjaan gue hanya membawa tablet dan ponsel khusus untuk rekan bisnisnya. Kalau ponsel dia sendiri lebih banyak nomor cewek yang tidak dikenalnya dibanding rekan bisnisnya. Beberapa kali gue kembali menjadi korban untuk mengangkat panggilan dari cewek-cewek itu, yang berakhir dengan sakitnya telinga gue karena sumpah serapah dan makian yang mereka keluarkan untuk si bos. Sore hari bos memulai rapat dengan tiga orang lainnya. Suasana rapatnya serius tapi santai, karena katanya orang-orang yang ada di sini merupakan teman si bos juga. Di sini gue hanya mencuci mata karena gue tidak  perlu repot mencatat, sudah ada notulen rapatnya tersendiri untuk menghindari presepsi ganda di akhir diskusi. Tugas gue jadi sedikit berkurang. Rapat dipimpin bos Nick Conary, dia yang memiliki bisnis properti di sini, sedangkan bos dan dua rekannya yang lain baru mau melebarkan sayap perusahaannya di sini. Di sampingnya, ada Bos Shan Nareswara yang sedang serius melihat berkas-berkas yang diberikan oleh bos Nick. Dan di sisi lainnya ada Bos Lutfian Hanswaran, yang tatapannya membuat gue salah tingkah. Mereka juga membawa asisten pribadi masing-masing yang kali ini hanya duduk memperhatikan jalannya rapat, sama kayak gue. Asisten mereka malah cenderung tidak memperhatikan dan santai memainkan ponsel tanpa bersuara. Gue mau ikut bermain ponsel, tapi tidak berani. Soalnya bos gue kaku banget, berbeda dengan Bos Luthfian sama Bos Shan yang kadang bercanda sama asisten mereka. Setelah rapat selesai, akhirnya kami bubar. Sayangnya hotel yang ditempati gue dan si bos berbeda dengan yang ditempati Bos Shan dan Luthfian. Sampai di lobby, gue diberi kartu kunci kamar sama si bos. Ternyata kamar gue berhadapan dengan kamarnya. Syukurlah bos memfasilitasi gue dengan kamar yang sama sepertinya. Setelah keluar dari lift, tidak ada interaksi apa pun lagi antara gue sama bos kaku itu.  Gue pun memutuskan untuk mandi dan beristirahat setelahnya. Gue memakai piyama tidur kesayangan gue yang bergambar beruang. Meski warnanya sudah sedikit kusam karena keseringan dipakai, piyama ini tetap menjadi piyama kesayangan gue karena begitu enak dipakai. Gue masih menikmati waktu sendiri sampai pintu kamar hotel gue diketuk. Gue membuka pintu, dan menemukan si bos sedang berdiri di depan kamar gue dengan muka super tidak enak. "Malem ini saya nginep di sini," ucapnya sambil nyelonong masuk ke dalam kamar gue, melewati gue begitu saja seolah gue tidak bermasalah. LAH? KAMAR LO EMANG KENAPA?! Gue sebenernya mau protes sama bos yang seenaknya masuk ke dalem kamar gue. Tapi gue ingat kalau dia yang menggaji gue, jadi gue memilih untuk meminta penjelasan secara baik-baik. Begitu gue menutup pintu dan berbalik untuk melihatnya, dia udah duduk di kasur dan sibuk dengan ponselnya. "Lo gila ya Shan?!" bentak bos yang membuat gue kicep. Kalimat teguran yang sudah berada di ujung lidah tertelan kembali begitu mendengar bentakannya. "Yang bener aja! Sepengen-pengennya juga gue masih mau sama yang asli! Bukan transeksual begitu!" Jangan-jangan dia mesen cewek, terus ceweknya ternyata laki-laki. Gue jadi pengen ketawa sekarang. "Lo nggak ngecek dulu apa?! Lo lupa ini negara apa?!" Bos masih membentak. "Gue bisa bedain lah! Baru ngeliat aja gue tau itu asli apa implan tanpa harus gue pegang atau buka!" kata bos yang bikin kepala gue pusing. Sesering itukah sampai dia bisa tau? "Udah lah gue udah nggak mood, nggak usah cari gantinya," tutup bos. Setelah itu dia mematikan sambungan telepon dan menaruh ponselnya di nakas. Setelah panggilan itu tertutup, kayaknya dia baru sadar akan kehadiran gue di sini yang sudah mendengar semua percakapannya dengan bos Shan barusan. Dia lalu memandang gue dari atas sampai bawah dengan pandangan menelisik. Nggak ada yang salah kan? gue pake piyama lengkap, berlengan panjang dan juga bercelana panjang, yang pasti bukan kayak cewek-cewek dia. Bos bangun dari duduknya dan mengambil sesuatu yang ternyata sejak tadi dia dudukin, dan benda yang sekarang berada di tangannya membuat gue terperangah. "Pakai lagi bra kamu," katanya sambil melempar bra itu ke gue dengan santainya. Shit. Gue lupa kebiasaan sendiri kalau mau tidur nggak pakai bra. Tadi gue udah siap untuk tidur dan melepas bra tanpa sempat gue rapikan karena si bos yang mengetuk pintu. Ya gue juga mana tau dia bakal masuk ke kamar gue kan? Sialan! Dia liat dong?! Rasanya mau nangis gue sekarang. "Bos, bisa keluar dulu?" tanya gue kikuk. Gue nggak mungkin pakai bra di depan dia kan? "Ganti aja di kamar mandi," katanya cuek sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Pada akhirnya gue pun memakai bra lagi di kamar mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, gue melihat si bos sudah menyamankan dirinya di kasur. Gue pun mengambil bantal dan juga guling di sampingnya. Gue menaruh bantal sama guling di sofa dan merapikannya untuk tempat tidur gue. Untung bos memesan kamar hotel dengan fasilitas deluxe, kalau hanya standart room yang hanya ada ranjang dan meja nakas, gue bisa-bisa tidur di lantai. "Bos, lampunya saya matiin?" tanya gue yang hanya dibalas gumaman singkat olehnya. Akhirnya gue mematikan lampu kamar, dan bos menyalakan lampu tidur di meja nakas.  Gue tidur dengan posisi tengkurep untuk menyembunyikan wajah gue di bantal. Gue malu sama si bos yang sudah melihat barang privat gue. Tidak lama gue mendengar ponsel bos bunyi lagi yang membuatnya berdecak kesal. Dia pun mengangkat teleponnya, sementara gue diam-diam menguping percakapannya. "Enggak Shan, gue udah nggak butuh. Ya biarin aja dia nunggu di kamar gue sampe pagi. Kalau perlu gue check in hotel lain besok." "Gue nginep di kamar asisten gue," "Hm? Ya terserah lo. Udah gue bilang gue nggak pengen lagi." "Lo nggak mau gue kerjain balik kan? Lain kali jangan kayak gitu lagi." Setelahnya dia mematikan panggilan itu dan melempar ponselnya sembarangan. "Belum tidur?" tanya dia begitu melihat gue yang lagi menguping percakapannya barusan. Gue membatu karena ketahuan menguping pembicaraannya. Dengan cengiran tidak enak gua menggelengkan kepala. Setelahnya kami larut dalam diam. Gue merasa aneh dengan kehadiran si bos di kamar ini.  Jujur aja ini pertamakalinya gue tidur satu kamar sama laki-laki kayak gini, mana cuma berdua doang lagi. "Nggak perlu takut karena saya nggak akan ngapa-ngapain. Hubungan kita profesional. Saya bisa menjamin itu," ucapnya tiba-tiba. Mungkin dia melihat gelagat kegelisahan gue saat ini. "Bos..." "Ya?" Sebetulnya gue selalu terpikirkan akan hal ini, semenjak mengetahui bos suka bergonta-ganti pasangan, tetapi gue merasa tidak pantas untuk membahas topik pribadi seperti ini di tengah hubungan profesional yang kami jalani. "Nggak jadi deh, Bos." "Apa? Saya nggak suka orang plin-plan. Kalau mau ngomong ya ngomong," balas bos gue. Karena tidak memiliki pilihan lain, akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya. "Kenapa bos gonta-ganti pasangan? Bos nggak takut penyakit menular?" Oke, ini lancang, tapi siapa suruh menyuruh gue untuk ngomong. Mulut gue kan jadi gatel pengen nanya. Aduh, semoga gue nggak putus kontrak deh besok. "Seks itu kebutuhan dasar manusia," ucap bos gue. "Yeah, i know. Tapi kan Bos bisa hanya berbagi dengan satu orang. Daripada dengan banyak orang yang punya resiko besar?" "Saya nggak suka komitmen. Menurut saya komitmen itu merepotkan. Saya nggak suka diatur dan disetir oleh satu orang cuma karena dibutakan satu hal yang disebut cinta." "Tapi semua orang butuh cinta Bos," sela gue. "Cinta di negara kita banyak disalah artikan. Orang-orang banyak memilih menikah hanya untuk kebutuhan seks dan uang untuk hidup mereka, bukan karena cinta." Memang gue akui sebagian besar teman-teman gue yang sudah menikah bertujuan untuk menghalalkan yang haram dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bahkan ada yang dijodohkan tanpa mengenal lebih jauh calon suami mereka. Saat gue bertanya tentang apakah ia mencintai calon suaminya, ia hanya bergeming. Gue nikah untuk ngelanjutin hidup gue... Sebaris kalimat yang keluar dari mulut teman gue saat itu seolah menjadi pendukung statement bos gue. Tapi hati kecil gue mengatakan jika setiap manusia pada dasarnya memang membutuhkan cinta. Hanya kehidupan dan lingkungan yang mengubahnya. "Tapi nggak semuanya kayak gitu, bukannya kalau berhubungan tetap harus melibatkan perasaan?" "Nope. Kamu gak butuh perasaan untuk seks. Kamu cuma butuh nafsu." Damn... b******k banget orang ini ternyata. Gue tidak bisa mengontrol wajah gue untuk tidak mengeluarkan ekspresi masam, dan sepertinya bos menyadari itu. "'Seks' beda sama 'making love', walaupun saya belum pernah melakukan hubungan atas dasar cinta, tapi saya tau itu beda." Gue cuma diam, sepertinya kami tidak sepaham soal ini. Menurut gue 'berhubungan' ya harus didasari dengan sebuah perasaan. Kesimpulan yang gue dapat saat ini adalah dia menggampangkan perempuan, dia b******k dan juga dia tidak percaya soal cinta. Mungkinkah ini akibat trauma di masa lalu? Atau memang pada dasarnya dia adalah orang yang b******k? "Saya rasa percakapan kita kali ini terlalu jauh untuk sebuah hubungan profesional," potong gue. Gue merasa miris mendengar penuturannya. Segitu rendahnya kah perempuan di mata dia? Seperti sebuah barang yang bisa dipakai dan dibuang begitu saja. Menurut gue pernikahan ya suatu momen sakral, dimana lo bisa membagi segalanya sama orang yang lo cinta. Menikah cuma karna seks dan juga uang kebutuhan untuk hidup? Prinsip kita bener-bener beda my playboy bos.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD