Kematian Mendadak

1016 Words
    "Apa? Nggak, Bunda pasti bohong! Kok bisa, sih?"     Napasku mendadak terengah-engah, ditambah baru saja selesai pelajaran kuliah. Aku dan Daisy berniat makan malam di restoran yang baru buka tiga hari lalu. Namun, rencana itu harus gagal karena kabar kematian kakek yang begitu mendadak.      Mama tak banyak bicara. Aku tahu ia pun syok dan belum bisa menerima kenyataan. Rasanya ingin pulang kampung dan melihat kakek untuk terakhir kalinya.      Daisy menghampiri, tampaknya ia mendengar pembicaraanku tadi dengan Bunda di telepon.      “Ada masalah, Lis?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Aku mendengkus kasar, semuanya terasa aneh. Begitu tiba-tiba.               "Kakekku meninggal, Sy. Aku bingung harus pulang sekarang atau gimana? Sedangkan minggu depan kita ada tes," jawabku.      “Udah, pulang aja dulu. Gak jauh banget, `kan?"      "Nggak, sih."      "Ayo, aku anter."      Sebelum pulang, aku pergi ke indekos dulu untuk mengemas barang-barang. Kali ini pacar Daisy yang mengantarku ke terminal. Begitu sampai, kami dibuat kesal karena tiba-tiba macet parah. Arnold keluar dan memeriksa keadaan di depan sana. Karena lumayan lama menunggu, aku pun memutuskan untuk menyusul Arnold.      "Kamu di sini aja, Lis! Jangan ke mana-mana!" cegat Daisy yang tak kuhiraukan.      Berlari kecil menuju lampu merah, pemandangan yang mengerikan membuat kedua lututku terasa lemas. Ternyata ini penyebab kemacetan panjang. Terjadi kecelakaan beruntun yang menewaskan banyak orang.      Aku termangu melihat salah satu korban yang tangan dan kakinya terpisah. Sekira sepuluh meter jauhnya dari tubuh tak berdaya itu. Orang di sekitar panik dan buru-buru menutupi jenazah dengan koran sambil menunggu ambulan.      "Ayo balik, kayaknya kita muter aja dulu. Bakal lama," ucap Arnold membuyarkan lamunanku.      "Kok bisa, sih?"       "Udah, ini takdir. Ayo, nanti ketinggalan bis."      Arnold menarik tanganku berlari kembali menuju mobil. Karena posisi kami berada di belakang dan tak banyak kendaraan, Arnold pun memutar balik mencari jalan lain. Tak apa jika lebih jauh, asal aku bisa segera pulang. Sepanjang perjalanan aku hanya diam karena kepikiran tentang kakek.      "Mama kamu gak jelasin meninggal karena apa, Liz?" tanya Arnold.      "Gak ada, Ar. Makanya aku bingung banget."      "Kakekmu ada riwayat penyakit kayak diabetes atau asma barangkali? Angin duduk?"      "Setahuku gak ada, Ar, tapi gak tau juga selama aku tinggal mungkin ada kena penyakit tertentu."      "Turut berduka, ya. Kabari kalau udah sampai di sana," kata Daisy.       Aku kembali menatap ke luar jendela sembari mengusap air mata.      ***      Aku langsung berlari memeluk Bunda dan Ayah yang duduk terdiam. Mereka terkejut melihatku yang tiba-tiba pulang tanpa memberi tahu.       Tenda hijau, beberapa kursi yang berjejer di depan rumah, ditambah orang-orang yang datang. Aku sesak, di sini terlalu ramai. Belum lagi bisik-bisik tetangga yang masih terdengar lumayan jelas di telinga. Tentang almarhum kakekku, tentang penyebab kematiannya.      "Kakek kenapa, Bun? Kok tiba-tiba meninggal?" tanyaku.      Bunda hanya menatap kosong, matanya sembab. Kurasa ia belum mau bercerita.          Jenazah sudah dimandikan. Kami pun bersiap mengantar almarhum kakek ke peristirahatan terakhirnya. Masih dirundung tanda tanya besar. Kebingungan luar biasa hingga makam ditaburi bunga-bungaan.      Hingga sampai di rumah, tidak ada satu orang pun yang mau bercerita. Aku yang tak tahan pun pergi ke rumah Mbok Inah dan bertanya ada apa.       "Wah, saya juga ndak tau, Nduk. Saya aja kaget denger pengumuman di masjid. Keluargamu juga ndak ada cerita ke tetangga," jawab Mbok Inah.      "Duh. Makasih, Mbok.”      "Kemarin aja, sih, saya lihat ada ambulan depan rumahmu, Nduk. Mbok ndak tau itu buat siapa."      Aku langsung berlari menuju rumah. Bunda yang termenung di depan pintu pun mencegat lalu berkata, "Tadi bapakmu suruh sore ini panggil ustaz buat pengajian." Kata-katanya sangat dingin, disertai tatapan kosong yang entah kapan berakhir. Aku kasihan, takut kesehatannya menurun karena hal ini.      "Iya, nanti Lisa panggil Pak Mulyadi."      ***      Usai salat magrib, aku diam termenung sambil meminta petunjuk pada Tuhan. Sampai kapan dirundung rasa penasaran? Helaan napas berat, ditambah beberapa hari lagi tes. Rasanya ingin berhenti kuliah saja dan membantu Bunda di rumah.      Bruk!      Lamunan buyar karena seperti ada sesuatu yang jatuh di atas atap. Aku mendongak, menatap lama langit-langit kamar. Setelahnya Bunda berteriak cukup kencang.       Buru-buru menghampiri Bunda yang meringkuk ketakutan di pinggir ranjang sembari menyatukan kedua tangan. Ayah sudah berusaha membujuk dan bertanya ada apa, tapi Bunda malah semakin ketakutan.      "Pergi! Pergi makhluk aneh!" usirnya ketika aku mendekat.       "Kamu udah panggil Pak Mulyadi?"       Seketika aku menepuk jidat.       Teringat pesan Bunda yang meminta untuk memanggil seorang ustaz. Sambil menggigit bibir, takut-takut menatap Ayah. Sebenarnya dia tidak pernah memarahiku. Namun, kali ini raut wajahnya berbeda.       "Maaf, Yah, tadi Lisa lupa panggilnya," ucapku.      Ayah menghela napas sambil terus membujuk Bunda. Karena kesal Bunda terus menepis tangannya, Ayah berteriak dan pergi entah ke mana. Bunda masih ketakutan, ia terus menyembunyikan wajahnya. Seakan takut berjumpa siapapun.      Pelan-pelan kudekati, menyentuh punggung tangannya yang gemetar. Ia kaget awalnya, tapi melunak juga.      "Bun, ini Lisa. Bunda kenapa? Sakit?" tanyaku lembut.      "Sa ...," lirihnya lalu memelukku erat. Terasa denyut jantungnya yang memburu, Bunda benar-benar ketakutan.      Setelah puas memeluk dan tenang, kubantu Bunda naik ke ranjang. Matanya celingukan, seperti mencari sesuatu.      "HP?" Ia menggeleng.      "Haus? Lapar?" Menggeleng lagi.      "Terus apa?" Aku hampir pasrah.      "Dia udah pergi," katanya setengah berbisik.      "Dia siapa, Bun? Ayah?"      Bunda diam lagi, ia berbalik posisi dan memejamkan mata. Lagi-lagi aku harus menahan rasa penasaran.       Ayah entah ke mana, aku takut ia berbuat macam-macam di luar sana.      ***      Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi tidak ada tanda-tanda Ayah pulang. Bunda sudah lama terlelap. Nenek dan Tante juga sudah tertidur karena lelah. Tinggal aku yang masih terjaga.      Ketukan pelan sebanyak tiga kali membuat diri ini segera beranjak untuk memeriksa. Dugaan benar, Ayah pulang. Ia berdiri di ambang pintu dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat, tubuh pun dipenuhi darah. Apakah ia habis memburu binatang lagi?      Namun, tak ada kulihat hasil buruannya. Ia hanya pulang dengan tangan kosong.      "Yah? Kok jam segini baru pulang?" tanyaku.      "Ambilkan Ayah sejumput garam," pintanya. Aku mengernyitkan dahi, heran untuk apa.      Lekas berbalik badan dan berjalan menuju dapur. Terkejut bukan main saat melihat Nenek yang duduk di meja makan.       "Buat apa?" tanyanya.      "Hah? Ini? Gak tau juga, Nek. Ayah suruh," jawabku.      "Stop, jangan dikasih!"      "Lho, nanti Ayah marah, Nek!"      Nenek bangkit dan memukul pergelangan tanganku hingga garam tadi jatuh berserakan di atas lantai.      "Tutup pintu, kunci!" titahnya.      "Nenek kenapa, sih? Ayah udah pulang itu!”      "Itu bukan ayahmu, Lisa!"      ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD