Kucing Hitam

1012 Words
"Bunda, gak makan dulu? Bunda makin kurus, lho," ucapku. Wanita itu menggeleng lemah. Sudah satu minggu berlalu sejak kematian Kakek. Duka di hati Bunda tak kunjung lenyap.       Aku khawatir Bunda terlalu lama larut dalam kesedihan. Lihatlah kondisinya sekarang. Badan tak terurus, makan sekali sehari. Itu pun harus dipaksa dulu.      "Nek, Pak Mulyadi belum datang, ya? Lisa udah telpon istrinya gak diangkat terus," kataku ketika Nenek sedang membersihkan halaman depan.      "Nanti suruh ayahmu ke sana lihat langsung."      Perhatianku tertuju pada warung mie ayam di seberang sana. Masih pagi, tapi antrean lumayan panjang. Bukannya berprasangka buruk, tapi rasanya aneh saja warung bisa seramai itu.      Melirik ke warung lain yang jaraknya sekitar sepuluh meter, sangat berbanding terbalik. Warung Pak Budi sepi, padahal baksonya enak dan diwariskan turun-temurun.       Entahlah, aku masih terbayang belatung di mie ayam kemarin. Jadi trauma kalau mau beli mie ayam lagi.       ***      Malam Jum'at.       Rumah kembali diganggu oleh suara gaduh di atap. Setelah salat, Ayah keluar rumah dan mengamati ada apa di sana. Ia menengok ke rumah Mbak Fika yang gelap. Apakah tidak ada orang?      Aku keluar setelah beberapa menit mengamati dari balik jendela. Ayah berdiri cukup lama menatap pohon pisang di samping rumah itu. Ia menyuruhku mengambil parang di kamar belakang. Dugaanku benar. Ia ingin menebang pohon itu malam-malam.       "Heh! Mau ngapain kamu? Jangan ditebang! Kamu mau Lisa mati?!" Nenek berteriak kencang dari dalam rumah. Aku tersentak, lalu buru-buru masuk.        "Mak, pohon ini tempat tinggal buto ijo itu! Nanti rumah kita jadi angker, banyak hantunya!" kata Ayah.       "Terus kamu mau tebang pohonnya malam-malam begini? Kamu gak takut penghuninya marah?"       "Aku punya Allah, Mak! Aku gak takut!"      Nenek diam setelah itu. Sejak dulu, Ayah memang keras kepala dan sering membangkang. Nenek sering marah-marah dibuatnya.      "Yah, mending tunggu besok pagi aja, deh. Jangan malam," ucapku turut membujuk.      "Kamu gak ngerti apa-apa jangan ikut campur, Sa."      "Kalau terjadi sesuatu pada anakmu, aku gak mau bantu!"      Bunda yang baru datang pun geleng-geleng sendiri melihat tingkah Ayah. Ia berkata suara Ayah menggema hingga ke dapur. Ayah memang keras dan tak suka dibantah. Pada akhirnya, Nenek yang mengalah meskipun ia tahu akibat terburuk dari menebang pohon berpenghuni.       Setelah ditebang, tidak ada kejadian aneh yang kami alami. Tetap saja aku takut ketika mengingat kata-kata Nenek. Entah apa hubungannya makhluk penghuni pohon pisang tadi dengan kematianku.       Namun, sekitar pukul tiga subuh aku terbangun karena bermimpi buruk. Sesosok makhluk hitam, tinggi, dan besar mengejar hingga berlari entah ke mana.       Napas terengah-engah, jantung berdegup kencang. Aku mengucap istighfar beberapa kali guna menenangkan diri.       Mungkin ini panggilan Tuhan untuk salat Tahajud.       Untuk meminimalisir rasa takut, aku membawa kucing kesayangan bernama Kitty. Ia kutaruh di lantai kamar mandi dekat pojok pintu. Setelah ambil wudhu, Kitty menunjukkan gelagat aneh. Tatapannya tajam ke arahku, ia bergeming cukup lama.       Kupanggil ia beberapa kali, masih dengan posisi yang sama. Bulu kuduk berdiri karena barusan Kitty bersikap seperti ini.       Akhirnya aku buru-buru mengangkat Kitty dan keluar kamar mandi. Ia berlari ke arah dapur setelah itu, ah masa bodoh. Segera mengambil mukena dan bersiap-siap salat.      Rakaat pertama aman, tidak merasa apa-apa. Namun, di rakaat kedua gangguan mulai muncul. Meskipun lampu kamar menyala, tapi terasa gelap dan mencekam. Aku berusaha khusyu' dan mengabaikan gangguan-gangguan itu.      Bruk!       Sesuatu terdengar di atap lagi. Usai salat, aku segera melipat mukena dan balik ke ranjang. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Takut!      Tiba-tiba terdengar suara grasak-grusuk dari luar. Aku sedikit membuka tirai jendela dan mengintip. Di luar sangat gelap, siapa yang berkeliaran jam 3 subuh begini?       Aku langsung menutup tirai lagi dan mencoba tidur. Usaha yang sia-sia memang. Pikiran berkelana seiring dengan suara-suara aneh dari luar.      ***      Sial. Aku hampir telat salat Subuh karena semalam. Menengok ke samping, ada Kitty yang masih tertidur pulas. Agak heran karena biasanya ia tidur di kardus. Tak pernah tidur bersamaku.       Nenek dan Ayah lagi-lagi berdebat di luar. Bunda yang menyiapkan sarapan pun meminta bantuanku.       "Udah, gak usah ikut campur. Sama-sama keras kepala, ya jadinya begini."      "Emang ributin apa lagi, sih, Bun?"       "Nenek ketemu bangkai ayam di dekat pohon pisang yang ditebang semalam itu. Gak tau ayam siapa. Nah, Nenek kira bangkai ayam tadi syarat pesugihan," jelas Bunda.       "Lho, bisa aja bekas dimakan musang atau hewan lain gitu, Bun."      "Makanya itu. Bunda stres liat mereka berdebat terus."      Usai memasak, kami makan dengan tenang, kecuali Nenek. Ia berkata sudah makan tadi subuh dan memilih duduk di teras rumah.       Tidak ada bincang-bincang di antara kami sampai selesai makan. Agaknya amarah Ayah sudah mereda.       ***      Gema pengeras suara masjid membuat langkahku terhenti. Tadi disuruh Bunda membeli gula dan garam untuk persediaan. Ketika melewati masjid, mendadak ada pengumuman orang meninggal.       "Innalillahi," batinku. Sontak beberapa orang di sekitar pun saling berbisik. Mungkin mereka tahu siapa yang meninggal tadi.       Karena hari semakin sore, aku bergegas pulang. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba segerombolan orang berlari berlawanan. Mereka tampak panik dan takut. Sampai ada yang jatuh dan terinjak.       Penasaran, aku berlari mengikuti mereka. Sampailah kami di pemakaman umum. Di sana sepi, tidak ada orang sama sekali.       "Bu, ini kenapa, ya?" tanyaku.       "Tadi katanya ada yang meninggal gara-gara kucing, Neng. Terus kita penasaran jadi cepet-cepet datang ke sini," jawab ibu-ibu berkerudung merah.      Aku menghela napas, sepanik itukah?      "Kok bisa gara-gara kucing, Bu? Dicakar apa gimana?"       Rasanya tak masuk akal saja jika meninggal karena kucing. Kecuali digigit dan kucing itu terjangkit penyakit berbahaya.       "Dilangkahi."       Aku menoleh ke sumber suara. Mbak Fika yang datang tiba-tiba entah kapan. Wajahnya datar dan pucat.       "Lah?"       Ia tersenyum lalu pergi tanpa kata. Aku menggaruk kepala yang tak gatal karena heran. Gelagat orang ini memang aneh sejak kemarin. Jadi sering bertanya-tanya. Jangan-jangan ada sangkut pautnya.       Karena sangat ramai dan sesak, aku memutuskan untuk pulang saja. Tidak sempat melihat jenazah orang itu. Sudahlah, terlalu penasaran juga tak baik.       Sesampainya di rumah, aku terkejut melihat Mbak Fika sedang berbincang dengan Bunda. Ia tampak segar, sehat, dan ceria.       "Cepet amat sampainya, Mbak? Tadi ketemu di TPU sana," ucapku.       Dahinya mengerut, lalu balik bertanya, "Ketemu? Lis, dari tadi Mbak ngobrol ama bunda kamu di sini. Mbak gak ke mana-mana sejak kamu pergi tadi. Ini baru mau pulang."      Aku ternganga, bergeming beberapa saat. Jadi, maksudnya yang tadi itu adalah hantu?      ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD