Aneh

1009 Words
"Salahmu sendiri, Lisa. Udah tau kemarin beli isinya gak beres, beli lagi di sana." Nenek malah menceramahiku, bukannya memberi solusi agar rasa jijik ini segera hilang. Aku sudah meminum banyak air dan makan gula merah. Tetap saja rasa pahit dan busuknya tersisa di tenggorokan.       "Aku kira kalau makan di tempat aman-aman aja, Nek. Soalnya ada banyak pelanggan di sana, lho," kilahku.       "Kamu itu sama aja kayak ayahmu. Sama keras kepala," celetuk Bunda.       Aku menghela napas, Gisel hanya diam menyimak pembicaraan kami.       "Bagus dong. Gisel bisa lihat kalau warung itu pake penglaris. Ada gunanya juga aku makan di sana," lanjutku lagi. "Rasanya emang enak, Nek. Bumbunya kuat banget."      "Memang begitu kalau hidangan pakai penglaris. Besok kamu ke sana lagi, coba cek tempat cuci piringnya. Kalau tempat cuci piringnya jauh dari tempat saji, tandanya bener-bener pakai penglaris."      Tiba-tiba Gisel menyeletuk, ia berkata tadi sebelum pulang ia sempat menoleh ke arah samping warung, bermaksud mencari tempat cuci piring itu. Nyatanya, ia tak melihat apa-apa.       "Mungkin tempatnya jauh di belakang," ucapku.       "Iya, Mbak. Gisel yakin mereka pakai penglaris dan pesugihan."      Kami bertiga menoleh bersamaan ke arah Gisel. Ia seakan-akan tahu banyak tentang hal mistis seperti ini. Di umurnya yang masih delapan tahun, rasanya agak aneh. Tutur bicaranya runtut dan seperti orang dewasa.       Tatapannya tajam dan jarang tersenyum. Sepintas, anak ini memang misterius. Nenek bertemu dengannya entah di mana, lantas karena iba dibiarkan menginap di sini sampai kedua orang tuanya ditemukan. Namun, hingga detik ini belum ada orang yang menghubungiku.       Tega sekali meninggalkan anak sekecil ini sendirian.       ***      Malam tiba. Aku sedang berdiam di kamar karena merasa tak enak badan. Sialnya, tiba-tiba mati lampu padahal baterai ponsel masih lima puluh persen. Aku berdecak sebal lalu pergi keluar kamar mencari Nenek.      Berbekal senter ponsel yang tidak terlalu terang, aku mencari lilin dan korek api. Ah, rupanya ada di atas lemari.       "Eh, astagfirullah! Gisel! Bikin kaget aja. Kamu ngapain di situ? Cari Nenek aja, gih kalau takut," kataku ketika melihat Gisel berdiri di ambang pintu sendirian.       Ia tak menjawab, tetap berada di posisinya. Aku menghela napas pelan lalu lanjut menyalakan lilin. Begitu menoleh, bocah itu menghilang. Cepat juga jalannya.       Aku datang ke kamar Nenek dan Ayah mengantarkan lilin. Begitu tiba di kamar Gisel, bocah itu sedang berbaring. Mungkin mencoba tidur di tengah gelapnya malam ini.      Meskipun bukan adik kandung, rasanya aku mulai menyayangi Gisel layaknya saudara sendiri. Di sisi lain, aku kasihan karena ia butuh kasih sayang keluarga lengkap. Di sinilah tempatnya meskipun tidak ada sosok Kakek lagi.       "Udah makan?" tanyaku lembut. Tak merespon, kuduga ia sudah terlelap; menjelajah alam mimpi.       Aku memberi selimut dan keluar kamar. Tiba-tiba muncul Nenek yang entah datang dari mana. Ya Tuhan, bisa-bisa aku terkena serangan jantung jika terus dikageti seperti ini.       "Mana Gisel?" tanya Nenek.      "Itu, udah tidur."      "Lho, perasaan tadi ada di dapur nungguin Nenek bikinin s**u," ucap Nenek heran. Aku ikut mengerutkan kening.       "Lha? Dia udah tidur nyenyak, berarti udah lumayan lama di kamar, Nek."      "Nggak, ah! Tadi Nenek tinggal ke sini dia masih di dapur. Terus katanya izin panggil kamu. Belum balik, kirain sama kamu," jelasnya yang membuatku bingung.       "Heran, cepat banget dia pindah tempat. Tadi pas bikin lilin juga dia berdiri liatin aku, Nek. Terus pas noleh udah gak ada. Dicek, rupanya udah tidur."      "Lho? Dari tadi dia sama Nenek, Sa. Dia minta s**u, jadi Nenek buatin. Dia nunggu di si—"      Begitu Nenek menunjuk kursi di dapur, kami sama-sama tersentak. Gisel duduk di sana sambil tersenyum. Ia bangkit dan menghampiri kami berdua. Aku dan Nenek saling beradu tatap. Ini bocah bisa teleport atau bagaimana, sih?       "Lho?" ucap kami bersamaan.       "Nek, susunya enak. Tadi udah Gisel minum. Makasih, ya," ucapnya lalu berlari kecil menuju kamar.       Aku tak henti-hentinya ternganga. Nenek gegas mengambil gelas s**u yang diminum Gisel tadi. Gisel berbohong. Ia tak meminum s**u ini karena masih penuh. Namun, s**u itu agak mencurigakan.       s**u yang warnanya tidak seperti s**u lagi. Hampir sebening air. Ketika kucicipi, rasanya tawar. Seperti air minum biasa.       Nenek geleng-geleng sendiri dan meyakinkanku. Ia telah menaruh gula dan susunya berwarna putih.       Aku percaya karena Nenek tidak pernah membuat s**u tawar.       "Nek, kok Lisa jadi takut, ya?"       "Udah, mungkin tadi karena gelap jadi tuang susunya kurang, terus lupa kasih gula." Nenek berusaha tenang, tapi aku yakin ia pun kebingungan.       "Terus kenapa dia bilang udah minum, Nek?"      Ia bergeming, lalu membereskan sisa membuat s**u tadi. Tak beberapa kemudian, listrik kembali menyala. Kami bernapas lega karena masih ada cucian. Kalau menunggu pagi lagi, keburu menumpuk dengan kerjaan lain.      ***      Cuaca yang aneh, tidak seperti biasa. Hujan, tapi hawanya panas. Aku sampai membuka baju dan duduk di depan kipas sejak tadi.      Gisel datang, awalnya ia berdiri di daun pintu melihatku. Setelahnya ia ikut bergabung mendinginkan tubuh depan kipas angin.       Jendela kamarku tepat di samping kami. Meskipun sedikit, ada cahaya matahari karena hujannya mulai reda. Aku menatap bayang-bayang sendiri dan kipas di dinding. Anehnya, mengapa hanya ada bayang-bayangku? Bukankah ada Gisel di sini?       Aku sampai maju mundur, melambai-lambai, hingga jungkir balik agar bayang-bayang Gisel terlihat. Terkejut, aku memegang tangan Gisel yang terasa sangat dingin itu menuju keluar rumah.       Berhubung hujan telah berhenti dan matahari sedang terik-teriknya, aku menyuruh Gisel berdiri di tengah halaman rumah.       Astaga, bayangannya tidak ada!      Jantung mulai berdebar kencang. Keringat dingin bercucuran membasahi rambutku.        "Kenapa, Mbak?" tanyanya lembut.         "Ng–nggak papa, Sel. Cuma ngetes udah berhenti hujan atau belum. Ayo masuk dah. Nanti dicariin Nenek," jawabku beralibi.       ***      "Nek, lukaku perlahan sembuh. Udah gak terlalu sakit," kataku bahagia. Akhirnya bisa melepas perban dan bergerak bebas lagi. Luka cakar kemarin memang mengganggu. Aku tidak bisa menunduk.      "Alhamdulillah. Kamu obati pake apa?"        "Gak ada. Cuma obat merah biar cepet kering.”      "Gisel bantu obatin Mbak Lisa kemarin, Nek."      Tiba-tiba Gisel datang. Ia tersenyum menatapku, lalu duduk di sebelah Nenek.       "Maksudnya? Kamu gak pernah obati aku, Sel."      "Pernah, Mbak. Pas Mbak lagi tidur."      "Kapan?" tanyaku lagi.      "Ada deh!" Gisel malah enggan menjelaskan.       "Terus kamu obati pake apa?" tanya Nenek turut penasaran.       "Ada deh!" Jawaban sama untuk pertanyaan yang berbeda. Aku menghela napas, bocah ini aneh bin ajaib. Sepertinya yang harus diruqyah itu dia, bukan aku.      ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD