Penasaran

1008 Words
"Hust, gak boleh ngomong sembarangan!" tegur Nenek.       Begitu tiba di teras rumah, Nenek menyuruhku langsung masuk kamar. Sedangkan ia diam di teras entah menunggu apa. Lagi-lagi aku dibuat penasaran, tapi tak bisa melawan kehendak Nenek. Ia bisa lebih galak dari biasanya.       Diam di kamar memang membosankan. Mendadak teringat pada Gisel. Bocah itu tak terlihat sejak tadi.       "Sel? Gisel?" panggilku. Karena tidak ada sahutan, aku membuka pintu kamarnya dan menyalakan lampu.       "Aaa!"       Aku membekap mulut, mengerjapkan mata beberapa kali. Memastikan apa yang ada di hadapanku saat ini. Pantas saja ada bau busuk daging yang entah berasal dari mana sejak malam tadi. Rupanya ada mayat anak kecil di kasur Gisel.       Rasanya tak keruan. Antara kaget, takut, jijik, dan kasihan. Mayat yang kondisinya sangat mengenaskan. Perut terbelah dengan organ yang berceceran ke mana-mana. Terlihat jelas usus anak malang itu terburai, hati dan jantungnya tak lagi utuh seakan-akan habis dimakan makhluk buas.       Aku menelan ludah susah payah, tubuh tak bisa bergerak saking takutnya. Pelan-pelan mundur lalu berlari secepat mungkin; memanggil Bunda dan Nenek yang berbincang di teras rumah.       "Bunda ini gimana, sih? Masa ada mayat di kamar Gisel Bunda gak tau?!" tanyaku emosi. Tangan dan kaki masih bergetar karena terbayang-bayang.       "Ngomong apa, sih, Lisa? Mayat apa?" Bunda bertanya balik.       "Mending Bunda cek sendiri. Tadi malam cium bau busuk, ternyata ada mayat di sana. Hancur, Bun!" jawabku.       Awalnya Bunda tak peduli. Mungkin ia mengira aku hanya mengada-ada alias berhalusinasi. Namun, melihat tatapan Nenek, tampaknya ia percaya padaku. Ia pun mengajak Bunda ikut memeriksa di kamar Gisel.       Aku mengekor di belakang takut-takut. Nenek berani sekali, padahal jika ia melihat langsung pasti histeris juga. Nenek menyukai anak kecil dan rasa teganya melebihi Bunda.       Ia membuka pintu perlahan. Tadinya sudah terbuka setengah, tapi sebelum pergi aku tutup lagi supaya baunya tak menyebar.       Begitu masuk, Bunda berbalik badan dan menatap tajam.       "Coba kamu masuk lagi. Liat sendiri," ucap Bunda.       "Gak mau, Bun! Serem tau!" tolakku.      "Udah, masuk aja liat sendiri!"       Dengan terpaksa aku menurut. Langkah kaki penuh keraguan. Sedikit mengintip di antara bahu Nenek dan Bunda. Kosong?       "Hah? Ta–tadi ada di sini, Bun! Dia baring di kasur ini!" kataku.       "Lisa, buktinya di sini gak ada apa-apa! Jangan bikin panik deh," ucap Bunda.      "Nek, Nenek percaya sama Lisa, 'kan?"      Nenek mengangguk lemah, lalu pergi. Tiba-tiba merasa bersalah karena apa yang mereka lihat tak sama denganku.       Karena penasaran dan tak mungkin salah lihat, aku mendekati kasur tadi dan menyentuhnya. Sedikit lembab, tapi entah karena apa. Gisel mengompol? Rasanya mustahil! Mengingat usianya sudah delapan tahun.       Aku menghela napas pelan, lalu keluar kamar Gisel. Tak sengaja kami berpapasan. Ia berkata habis dari kamar mandi. Wajahnya pucat, kuku-kuku tangannya pun tajam dan runcing.       "Ikut Mbak, biar Mbak potong kukumu. Bahaya nanti kena orang," ajakku. Ia menurut saja.       Ketika sedang memotong kukunya, aku inisiatif untuk bertanya, "Kamu masih ngompol, Sel?"       "Nggak, Mbak. Gisel udah gede. Kata ibu, gak boleh kencing di kasur lagi," jawabnya lugu.       Kalau bukan karena air kencing, lalu apa? Ah, sejak Gisel datang ke rumah ini, rasanya banyak pertanyaan di benakku. Masih penasaran dia ini anak siapa dan mengapa belum dijemput keluarganya juga? Apakah ia anak buangan yang tak diinginkan?       Astagfirullah, bisa-bisanya aku berpikir ia adalah anak hasil hubungan terlarang.       ***      Dugaan Nenek bahwa warung mie ayam itu memakai penglaris dan pesugihan semakin kuat. Kemarin ketika Nenek sedang menyapu halaman, seorang ibu-ibu menggendong bayinya sambil menangis minta tolong. Ibu tersebut mengadu. Suaminya sekarat usai memakan mie ayam yang baru dia beli.       Nenek yang tidak bisa membantu pun hanya diam sampai lelaki itu meninggal dunia. Istrinya pasrah menerima takdir. Ia menangisi mayat sang suami.       Ketika hendak dimandikan, ada seekor kucing hitam yang mengelilingi mayat hingga tiga kali. Aku sempat ingin mengusir kucing itu, tapi mungkin kucing hitam tadi adalah peliharaan almarhum.       Usai pemakaman, hal aneh mulai terjadi. Tiba-tiba muncul tiga kucing hitam yang mengelilingi makam tersebut. Ayah yang bertugas menggali makam pun buru-buru mengusir si kucing.      "Itu kucing siapa, sih, Yah? Tadi aku tanya ama istrinya, bukan kucing mereka," tanyaku.      "Itu bukan kucing, Lis."       "Maksud Ayah?"       Ayah tak menjawab dan langsung mengajakku pulang.       ***      Rasanya semakin penasaran. Setiap hari aku duduk mengamati warung itu yang semakin ramai. Anehnya, ada banyak warung lama yang sudah terkenal di mana-mana. Bahkan warung bakso langgananku tiba-tiba tutup. Aku jadi sedih karena di mana lagi membeli bakso yang enak dengan harga murah?       "Bu, maaf, kenapa tutup warungnya?" tanyaku. Bu Syahida tersenyum tipis. Sebagai orang yang ramah dan murah senyum, baru kali ini melihat senyumnya yang terkesan dipaksa.        "Makin hari makin sepi, Nduk Lis. Seminggu kemarin alhamdulillah masih laku lima porsi. Sekarang sama sekali gak ada yang terjual. Masa tiap hari Ibu kasih ke tetangga atau dibuang? Rugi," jelas Bu Syahida.       Aku ikut prihatin. Beberapa warung lain juga bernasib sama. Bedanya mereka masih bertahan.       "Kok bisa, Bu?"      "Gak tau juga, Nduk. Sejak warung itu buka, pelan-pelan pelanggan Ibu juga pergi."      "Ibu gak curiga warung itu pakai penglaris?"      Sorot matanya tajam, tanda ia penasaran.       "Sebenarnya curiga, tapi gak mau suuzon dulu, Nduk. Takut jadi fitnah."      "Gak suuzon, Bu. Kita cari bukti dulu."      Akhirnya kami berdua mengatur rencana. Sesuai perintah Nenek, ia memintaku mencari tahu apakah pemilik warung itu memiliki anak atau tidak. Karena tak mungkin aku lagi yang pergi, mungkin bisa meminta bantuan Bu Syahida.       ***      "Tadi waktu antar makanan, saya masuk. Rumahnya agak gelap. Mungkin efek lampunya remang-remang. Terus pas saya kasih, saya jalan-jalan ngeliat foto dipajang itu. Ada satu foto, anak kecil. Usianya mungkin di bawah sepuluh tahun," jelas Bu Syahida.       "Anak perempuan? Rambutnya panjang?" tanyaku.       "Iya, bener, Nduk."      Nenek langsung menengok ke arahku. Entah apa yang dipikirkan Nenek. Ia langsung masuk rumah dan berteriak memanggil Gisel.           "Ciri-cirinya gimana lagi, Bu?"       "Cantik, punya tanda lahir di leher. Matanya   agak biru muda gitu."       "Fiks, ini Gisel. Pertanyaannya, kenapa foto Gisel ada di rumah dia?"       "Mungkin ... anaknya? Tapi saya sering ke rumahnya dan gak pernah liat dia punya anak."      Lantas, siapakah sosok Gisel ini? Keberadaannya sangat misterius. Bu Syahida mengaku tidak pernah melihat sosok Gisel berkeliaran di sekitar sini. Padahal Gisel suka bermain di luar bersama teman-temannya di taman.       "Lisa, Gisel gak ada!”      ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD