Surat Perjanjian

1294 Words
"Tunggu, Mbak segera ke sana," jawabku setelah beberapa detik terdiam. Aku beranjak bangun dari posisi terduduk dan bergegas mencari taksi. "Mbak," seru Varel yang melihatku datang dengan tergesa-gesa. "Ibu bagaimana?" tanyaku khawatir. "Ibu tidak sadarkan diri. Ibu harus dioperasi malam ini, kalau tidak …." Varel terdiam. Tampak kesedihan menyelimuti wajah tampannya. "Kamu tenang saja. Malam ini Ibu pasti dioperasi." "Mbak sudah dapat uangnya?" Langkahku terhenti. Aku berbalik menghadapnya, menganggukkan kepala seraya mengulas senyum tipis. "Ini Mbak mau menemui dokter Budi sekalian ke bagian administrasi. Tolong jaga Ibu sebentar," jawabku menenangkannya. Varel hanya membalasku dengan mengerjapkan mata. Aku berjalan gontai dengan pikiran berkecamuk. Teringat sesuatu, kurogoh cepat kartu nama Alisa yang tersimpan di dalam saku celana jeans-ku. Untung tidak jadi kubuang. Mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi pada panggilan pertama tidak tersambung. Kucoba lagi. Sedikit cemas, dadaku berdegup kencang menunggu sahutan suara di seberang sana. Aku takut dia marah dan membatalkan tawarannya yang sempat kutolak. Harapanku tinggal dia. Kemana lagi kucari jumlah uang yang sangat besar tersebut? Semua teman tidak ada yang bisa menolongku. Keluarga, apalagi. Kami bukan dari keluarga yang kaya, bisa makan sehari saja sudah untung. "Halo." "Halo, saya bersedia Mbak, tolong transferkan uangnya malam ini juga. Ibu saya harus dioperasi, saya mohon," pintaku dengan cepat menyahut sapaannya yang baru terdengar. Kupinggirkan ego dan rasa malu memelas belas kasihannya. "Oke. Kirim nomor rekeningmu segera, biar kutransfer secepatnya, dan datanglah setengah jam lagi ke dekat halte bis arah kanan dari rumah sakit. Orangku akan menjemputmu di sana." Telepon dimatikannya tanpa memberi kesempatanku bicara. Cara bicaranya pun sangat datar. Setengah jam lagi? Dia bahkan tahu kalau aku berada di rumah sakit. Refleks kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah sakit mencari seseorang yang mungkin saja sedang mengintaiku. Alisa memang telah mentransfer uang yang kuminta. Semua urusan administrasi dan biaya t***k bengeknya sudah lengkap dan operasi Ibu bakal segera dilaksanakan. Sayang aku tidak bisa menunggui Ibu. Janji harus ditepati, apalagi Alisa tidak memberikanku kesempatan bicara, bahkan hanya untuk meminta izin menunggui ibuku operasi. Aku sadar banyak meminta. Sudah syukur ia masih menerimaku setelah sempat menyindir dan menolaknya. Kutatap wajah tua ibu yang terbaring lemah tak berdaya. Wajah pucatnya membuatku meneteskan air mata. Dulu wajah itu selalu tersenyum hangat menyambutku pulang. Sekarang … senyum itu pudar berganti dengan ringisan kesakitan. "Mbak." Aku tersentak, mendapati tepukan di bahu, refleks menoleh ke belakang. Varel. "Mbak pinjam uang ke mana? Varel tahu kita tidak memiliki uang sebanyak itu." Varel menarik kursi, mendekatkannya di sampingku. "Varel akan bantu Mbak cari kerja," sambungnya lagi berucap mantap. Aku menggeleng cepat. "Tidak perlu, kamu sekolah saja yang benar. Mbak memang pinjam ke teman. Untung dia baik mau meminjamkan. Lagipula Mbak sudah dapat kerjaan yang lebih bagus di luar kota. Di sana gajinya cukup besar, bisa cepat melunasi hutang Mbak." Aku berbohong. "Cuman, Mbak harus kerja di sana setahun lebih, jadi Mbak bisa kan titip Ibu selama itu sama kamu." Kutatap wajahnya yang menyelidik. "Setahun, Mbak?" Tampak kegusaran di wajahnya. "Hu'um. Tenang. Mbak akan minta Bi Titin buat mantau kondisi Ibu. Tiap bulan juga bakal Mbak transfer uang buat biaya hidup kamu sama Ibu. Cuma ini satu-satunya cara biar kita bisa bertahan hidup dan untuk kesembuhan Ibu." Kugenggam erat tangannya mencoba meyakinkan. Maaf, Rel. Maaf harus berbohong. Mbak juga nggak tahu nasib Mbak kedepannya seperti apa, biar Mbak ikuti saja takdir hidup ini entah akan membawa kemana. Aku memeluknya erat seolah ini adalah pelukan terakhir kami. Untung dia tidak menolak. Adikku ini semakin beranjak besar sudah tidak mau lagi dipeluk atau dicium. Risih katanya. Sekarang ia duduk di bangku SMA. Begitupun ke Ibu. Aku memeluknya juga. Aku merasa takut. Entah seperti apa wanita yang akan kutemui nanti, aku yakin dia bukan orang sembarangan. Sebuah mobil hitam mewah keluaran terbaru menghampiriku yang duduk termenung sendirian di halte bis. "Luna Arsyakayla." "Hm," jawabku spontan mendongak ke arah suara, setelah jendela kacanya terbuka dan menampakkan lelaki berjas hitam itu lagi. "Masuklah. Nyonya Alisa memintaku untuk menjemputmu." Mendengar nama Alisa aku segera mendekat dan masuk ke dalam mobil. "Ini, minumlah. Biar sedikit rileks. Jangan terlalu tegang. Kamu aman kok, perjalanan kita cukup jauh," ucapnya menyodorkan sebuah minuman dingin ke arahku. Aku yang memang merasa tegang dan haus menerima begitu saja minuman pemberiannya. Dingin. Es lemon tea-nya segar, tapi entah kenapa aku merasa ngantuk sekali setelah beberapa menit meminumnya, dan …. "Nyonya." "Nyonya, bangun! Kita sudah sampai. Ikuti saya." Aku mengerjapkan mata seraya menguceknya. sepertinya aku ketiduran. Kuedarkan pandangan ke depan. Ternyata kami sudah sampai di depan rumah yang sangat besar. Kutengok arlojiku menunjukkan pukul 10 malam. Cukup lama kalau dihitung dari awal keberangkatanku waktu itu. Entah dimana ini? Aku tidak tahu. Apa ini rumah Alisa? Dia benar-benar orang kaya. Pantas dengan mudahnya mengeluarkan uang sebanyak itu untukku. "Selamat datang Nyonya Luna." Seorang wanita muda berpakaian seragam merah muda menyambutku dan pria berjas hitam itu setelah pintu dibuka. Ia memanggilku nyonya? Begitupun tadi pria berjas itu memanggilku demikian. Dia ikutan mengubah panggilannya untukku. "Mari ikuti saya," sambungnya lagi menuntunku masuk lebih ke dalam sampai kami berhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup. "Silakan masuk. Nyonya Alisa sudah menunggu di dalam." Aku diam masih bingung dengan situasi yang ada. Pintu diketuknya tiga kali lalu setelahnya membukakannya untukku. Benar, ada Alisa di dalam. Tetap cantik dengan baju rumahan dan tanpa polesan make up. Penampilannya pun tidak seformal saat menemuiku sebelumnya. "Duduklah," titahnya melihatku masuk. Ia menunjuk sofa di hadapannya. Di atas meja di hadapanku terdapat sebuah map yang sama persis seperti di restoran sebelumnya. Pasti itu surat perjanjian. Sorot matanya seolah memintaku membuka map tersebut dan membacanya. Dengan gugup k****a isi perjanjian yang akan mengikatku kelak. "Menikah siri? Bukankah Mbak, eh nyonya tidak mau kalau saya menikahi suami Anda?" Aku bingung harus memanggilnya apa. Alisa tersenyum. " panggil kakak saja, aku suka panggilan itu karena tidak memiliki saudara perempuan. Hm … aku berubah pikiran. Makanya jangan memberikan ide atau saran, itu salahmu sendiri," jawabnya menyalahkanku. Aku melebarkan mata mendengarnya. "Tapi bukankah Mbak, eh Kakak bilang tidak ada pernikahan? Hanya itu ... Kami tidur bareng dan itu." Aku sulit menjelaskannya. "Terus sekarang kenapa jadi ada pernikahan?" Aku mempertanyakannya lagi. "Ada hal krusial dan masalah keluarga yang sulit dijelaskan kenapa aku meminta hal tersebut sama kamu, dan kupikir idemu juga tidak buruk. Aku juga tidak ingin menanggung dosa zina kalian, andai kuizinkan ia menidurimu. Ya, intinya semua masalah ada di diriku. Aku sudah tidak bisa memberikannya anak." Alisa kembali menarik napasnya. Sepertinya ini juga berat untuknya. "Sel telurku juga tidak bisa digunakan untuk bayi tabung, karena itu aku …." Alisa terdiam, nada bicaranya sedikit melemah. Ia menundukkan kepala hingga wajahnya tertutup rambut yang tergerai ke depan. "Aku memilih cara simpel. Kamu menolak perzinahan, dan aku setuju. Intinya sama saja anggap aku sedang menyewa rahimmu. Jadi, itu silakan ditanda tangani, kamu sudah menggunakan sebagian uangnya. Tidak ada bantahan lagi atau kembalikan uangku yang sudah kamu pakai sekarang juga." Kali ini aku yang tercengang. Alisa menekanku lagi. Sepanjang menunggu jemputan di halte bis, aku terus memantapkan diri untuk menyerahkan hal berharga dalam hidupku kepada lelaki asing yang aku sendiri tidak kenal. Dengan yakin aku memantapkan menerima tawaran Alisa, tapi sekarang ia malah mengubah isi perjanjiannya. "Ayo tandatangani! Kurasa isi perjanjian itu sudah jelas. Apa ada yang ingin kamu tanyakan?" "Ini harus anak laki-laki? Bagaimana kalau anaknya perempuan?" Aku menanyakan hal yang mengusik hati tentang salah satu poin di dalamnya. "Yang kami butuhkan anak laki-laki untuk penerus keluarga Bara Wijaya, bukan perempuan. Bukannya aku membenci anak perempuan. Aku takut wajahnya mirip denganmu dan itu bakal memicu permasalahan lagi. Lagipula disini aku berpura hamil. Mana mungkin aku melahirkan anak perempuan yang tidak mirip denganku?" "Pura-pura hamil?" ulangku semakin bingung. Alisa malah terkekeh. "Nanti kujelaskan. Yang jelas kalau anak itu perempuan, maka uang 1 M itu batal jadi milikmu beserta uang yang sempat digunakan." "Apa? Maksudnya?" tanyaku memastikan. "Kamu harus menggantinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD