Murder in The Laboratory

1588 Words
    Percival mengganti baju di ruang ganti pria karena dia harus mengikuti pelajaran yang ada. Membuka jersey putihnya lalu menuju ke salah satu ruang untuk mandi. Jemarinya menghidupkan shower yang kemudian membasahi tubuh. Dia sangat berkeringat, maka perlu membersihkan dirinya. Untung saja sekolah mereka memiliki fasilitas lengkap termasuk kamar mandi yang cukup bersih. Air mengucur membasahi tubuh tinggi dengan otot-otot yang melekat. Proporsi sempurna untuk anak seumurnya. Wajah Kacy terus menerus ada di kepalanya. Kacy orang pertama yang mengabaikannya. Dia tidak mengerti mengapa ingin sekali Kacy melihatnya. Menatapnya dengan bola mata hazel yang indah itu. Sisi pemenangnya, sisi penuh kontrolnya, merasa haus untuk menguasai Kacy.     Untungnya highschool ini memiliki banyak fasilitas yang mendukung, termasuk ruang ganti dan kamar mandi besar. Setelahnya Percival keluar dari ruang shower memakai handuk. Dia lalu membuka lokernya lalu memakai celana dan kaus putih yang tersedia di sana. Ia selalu menyiapkan pakaian, sebab tahu dirinya sangat suka olahraga. Di ruang ganti hanya tersisa kurang lebih lima orang. Sejujurnya Percival merasa tadi dia sudah terlalu lama di bawah shower. Namun dia biasa melakukan itu untuk mengontrol dirinya. Sesuatu yang paling sulit dia kontrol adalah dirinya sendiri. "    Help me! Please help me!"     Percival membeku seketika. Dia menengar suara pekikan itu dengan jelas. Seorang wanita dengan sisa-sisa tenaga yang berusaha meminta tolong. Percival menoleh ke sekelilingnya dan tidak ada yang mendengar. Dia tahu ini berarti karena kepekaannya. Lagi-lagi suara yang jauh terdengar. Suara yang bahkan tidak dia tahu di mana. Hal yang hanya bisa dilakukan dirinya. Awalnya dia mengabaikan, tetapi semakin lama semakin jelas. Dia sadar kalau dirinya berbeda.     Memfokuskan dirinya, Percival mendengarkan lebih jelas. Menangkap gelombang elektromagnetik dari suara tersebut hingga dapat terekam di telinga dan otaknya. Semakin berkonsentrasi yang kadang membuat kepalanya ingin meledak. Pening. Tetapi itu adalah sau-satunya cara agar dia tidak mendengar suara lain di sekitarnya, hanya suara tersebut. Suara wanita yang meminta tolong. Ia perlu memutuskan apa yang harus dilakukan.     "Kumohon!" teriaknya meminta tolong.     "Tak akan ada yang menolongmu!" Terdengar suara lain tetapi lebih parau dan berat. Suara seorang pria.     Percival tahu apa yang dia dengar bukan hal yang sepele. Dia harus menyelematkan siapa pun gadis itu. Berniat meminta tolong beberapa orang yang ada di sini untuk mencari sumber suara itu, tetapi Percival mengurungkan niatnya karena pasti dia akan dianggap gila. Tidak dapat menjelaskan bahwa dia dapat mendengar suara dalam frekuensi tertentu dalam jarak jauh. Tidak akan aada yang mempercayainya. Dia harus menyelamatkan gadis itu.     Segera keluar dari ruang ganti, ia melangkahkan kaki panjangnya. Berlari mengikuti arah suara yang dia dengar. Mengerahkan seluruh kemampuan. Telinga, otak, dan fisiknya. Menyusuri lorong sekolah yang sepi karena sedang jam kelas. Suaranya cukup jauh, sampai dia harus ke gedung lainnya, berbelok ke gedung B di mana banyak ruang laboratorium.     "Di mana Pure ?" bentak seorang pria dengan suara parau berat dan menggema. Sekarang dirinya ragu, tidak seperti sebelumnya, mengira itu adalah suara pria. Alih-alih seperti manusia, suaranya malah seperti gelombang radio.     "Aku tidak tahu apa maksudmu. Ku mohon lepaskan aku," pinta gadis itu memohon. Ada isak di sana dengan napas yang tersengal-sengal. Antara sesak, mungkin mendapat cekikan, atau memang karena menangis. Jlas ada isakan di sana.     Menyusuri satu persatu laboratorium bahasa, biologi, analisis kesehatan, anatomi, semuanya. Percival mendobrak pintu tanpa jendela untuk melihat ke dalam, sekalipun terkunci. Jika dari luar terlihat, dia hanya perlu memastikan dan kemudian kembali berlari. Kaki panjangnya cukup membantu menyusuri jalanan dengan cepat.. Percival harus menyelamatkan gadis itu. Itu yang ia tahu. Tapi dia belum juga menemukannya. Sementaranya kepalanya semakin tertekan mendengar rintihan dan isak gadis itu. Dipaksa untuk mendengar suara tersebut, mengenyahkan suara lain yang juga dia tangkap. Sekarang seakan dirinya dapat membayangkan bagaimana gadis itu disakiti. Dipukul atau dicekik sehingga suaranya terlihat kehabisan napas. Seolah dirasakan juga olehnya. Dia tidak mungkin membiarkan seseorang kehilangan nyawa ketika dia mengetahui apa yang terjadi.     "Aku tahu dia dapat mendengarnya. Dia hanya bersembunyi," suara parau itu lagi-lagi berbicara. Itu membuat Percival semakin bingung. "Kau benar-benar tak tahu?"     "Ya. Aku bahkan tak tahu apa maksudmu,” kata wanita itu putus asa sekali.     Percival masih berlari menemukan sumber suara itu dan kepalanya seakan ingin meledak. Dia tidak mengerti ke mana arah percakapan itu. Bahkan dia tahu kalau sang wanita yang menjadi korban, tidak tahu apa-apa. Pun dia takut bahwa ini hanya khayalan dia saja. Perlahan dia menjadi gila, sebab terlalu sunyi. Jika ada yang terancam, mengapa tidak jelas dan dilakukan di sekolahan.     "Kalau begitu kau tidak berguna,” kata pria itu pada akhirnya.     Saat itu Percival mendengar bunyi dentuman keras dan teriakan sang wanita menusuk hingga ke telinganya. Pengang.     "No!" teriak Percival karena dia tahu Pria itu telah membunuh sang gadis.     Saat itu bersamaan Percival mendobrak pintu laboratorium kimia yang dia yakini dari sana sumber suaranya. Tetapi nihil, tidak ada apapun. Tubuhnya lemas bukan main. Dia baru saja mengalami tekanan dari suara-suara pembunuhan. Berjalan melewati dengan hati-hati menyusuri ruangan itu. Sunyi. Tidak ada siapa pun. Harusnya dia menangkap sosok pria yang sedang melakukan pembunuhan itu. Tidak mungkin menghilang secepat itu.     Langkahnya berhenti ketika kakinya menyentuh sesuatu. Sebuah tubuh manusia yang sudah mati dengan darah bercucuran. Percival merasakan mual dan pusing tidak menentu. Kemudian dia roboh begitu saja.   ***       "Percival! Percival!" Terdengar samar-samar suara yang memanggilnya.     "Percival are u ok?"     Ia membuka matan dan melihat wajah kedua kakaknya. Royce dan Idris, menatapnya dengan tatapan cemas. Percival bangkit perlahan dari kasur. Maniknya menatap sekeliling, memastikan dia ada di mana, sambil mengumpukan seluruh kesadarannya. Kepalanya pusing sekali, mungkin sudah meledak sebab telinganya dipaksa mendengar terlalu jauh, otaknya terpaksa memfokuskan diri hanya pada satu hal secara berlebihan, tenaganya dipaksa dikeluarkan gila-gilaan untuk mencegah apa yang akan terjadi. Namun gagal. Sekarang mentalnya jelas-jelas terserang, sambil bertanya-tanya ke mana perginya pembunuh itu.     "Kau di ruang kesehatan. Kau baik-baik saja di sini. Oke?" ujar Idris, kakak paling tua, menenangkan sang adik.     Percival memegang kepalanya yang terasa berat. Dia berusaha menstabilkan tubuhnya. Matanya menatap ke luar jendela. Ada banyak mobil polisi di sana. Saat itu Percival mengingat apa yang terjadi. Jelas sekali. Dia langsung bangkitdan berlari melesat secepat mungkin menuju laboratorium kimia. Harus ada yang dia pastikan di sana. Kedua kakaknya yang cemas, sekarang dikejutkan dengan kecemasan dan keanehan lainnya dari yang paling muda.     "Percival! Hei! Hei!" teriak Idris ketika Percival langsung berlari.     "Oh s**t! Kenapa dia selalu bersikap seperti adik yang paling tidak seperti adik," sarkas Royce mengikuti Idris yang mengejar Percival. Dia sangat tidak suka menguras tenaga apalagi kejar-kejaran seperti ini. Royce lebih suka diberikan pekerjaan yang melibatkan otak saja. Sebanyak apa pun. Bahkan jika harus melalui ujian sekolah setiap hari, dia menikmati itu.     Mereka bertiga erhenti di depan ruang laboratorium sementara Percival sudah masuk di dalam. Padahal ada garis polisi berwarna kuning di sana. Royce menghela napas berat, tahu pasti akan kena masalah jika ketahuan. Padahal Idris yang paling sering tidak mau terlibat masalah, tetapi jika meyangkut adik-adiknya pasti berbeda. Namun Royce berharap Idris menghentikan Percival. Perlahan Royce dan Idris ikut masuk ke dalam. Mereka melihat Percival yang membeku menatap papan tulis.   I'll find you. I am Supermassive.       Persis seperti yang dia dengar.     "Percival? Are you ok?" tanya Idris hati-hati.     "No," ujar Percival lirih dan perlahan. Dia tahu ini tidak baik-baik saja.     “Ada apa?"     Membalikan badan, Percival lalu mengacak-acak rambutnya frustasi. "Aku tidak tahu. Aku mendengar sesuatu, seperti— Pure and who the hell Supermassive? Dia mencari pure. Dia bilang pure dapat mendengarnya," tukes Percival kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri. Berbicara dengan cepat dan kacau.     "Pure? Siapa?" tanya Royce meneliti. Saat-saat seperti ini, otaknya seperti memaksa minta diberi makan, pertanyaan-pertanyaan, hipotesa dan kesimpulan. Ingin mencari tahu lebih banyak.     "Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Siapa atau apa pure. Tapi jelas aku bisa mendengarnya. Pembunuh itu membicarakannya dengan korban."     "Maksudmu kau yang dicari olehnya? Kau bilang, dia mengatakan Supermassive yang dia cari, bisa mendengarnya?" tanya Idris bingung.     Lantas Percival terdiam. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa, tetapi sepertinya dia terlibat dalam masalah ini. “Ya… mungkin….” katanya sendiri agak ragu. Rasa ngeri menyelimuti dirinya. Ini bukan lagi main-main, sebab ada nyawa yang menjadi korban. Bahkan untuk sekelas Abel Wood yang selama ini selalu tentram.     "Tidak. Kau harus tenang. Ada banyak yang bisa mendengar sepertimu. Dan tidak ada yang mengetahui kepekaanmu yang di luar batas ini," ujar Idris menenangkan adiknya. Padahal terdengar konyol bahkan untuk dirinya sendiri. Siapa lagi yang memiliki kepekaan seperti adiknya? Dapat mendengar sejauh itu? Bahkan melihat Percival sendiri masih menjadi pertanyaan.     "Siapa lagi yang seperti aku?" tanya Percival balik yang jelas retorik.     Mau-tidak mau, Idris menghela napas berat. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."     "Kau sangat membantu Alastar." Percival menunduk dan menumpukan satu tangannya ke meja. Mereka masih berdiri bergerumul. "Kau seharusnya lihat bagaimana mayat tadi berlumuran darah dengan mengerikan….” lirihnya. Merasa mual mengingat dia yang pertama kali menemukan mayatnya. Ngeri sendiri.     Alis Royce menukik bingung. “Kau bercanda?” tanyanya terlihat kaget.     “Ada apa?” Percival menoleh ke arah Royce terlihat ikut bingung dengan maksud kakaknya.     "Tidak ada darah. Mayat gadis tadi ditemukan hangus. Seperti terkena sengatan listrik yang kuat. Kemungkinan dia disetrum dengan tegangan tinggi. Jelas lebih dari lima puluh ribu volt, yang biasa digunakan untuk membuat pingsan oleh para polisi," jelas Royce yang seakan tahu segalanya.     Percival tercengang mendengar itu. Dia melihat jelas bagaimana darah itu berceceran dan membuatnya mual sampai pingsan. "A—aku yakin tak ada satupun bekas hangus dan aku melihat darah itu," kata Percival lirih berusaha meyakini.     Idris merangkul adiknya, lalu berusaha memeluk. "Kurasa kita harus pulang sekarang. Kau butuh istirahat."     Percival pasrah mengikuti intsruksi Idris. Kepalanya seakan mau pecah sekarang. Mungkin kekuatan ini membuatnya perlahan menjadi gila. Atau benar-benar sudah gila. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD