Maira menghempaskan tubuh ke tempat tidur, matanya menatap langit-langit dengan perasaan tidak enak. Ia segera bangkit, hujan sudah reda, hanya masih sedikit rintik-rintik. Ia mengambil sweater dan dompetnya, setelah itu pergi dari kamar itu.
"Maira, mau kemana?"tanya Nugra yang ternyata sedang menelpon di teras depan kamar.
"Aku ke depan sebentar,"ucap Maira cepat. Ia pun segera meninggalkan Nugra.
Maira menuju coffe shop, memesan secangkir kopi hitam. Sesekali ia pergi ke resepsionis untuk mempertanyakan kamar yang kosong.
"Mbak, sore ini ada yang check out!"
"Oke, saya bayar sekarang, nanti sore siapkan ...saya akan masuk,"kata Maira.
"Baik, Bu, bisa lihat KTPnya?"
Maira membuka dompet, mengambil Kartu Tanda Penduduk miliknya dan menyerahkan pada resepsionis. Wanita itu bernapas lega karena akhirnya mendapatkan kamar. Ia bisa berbuat apa saja di kamar itu. Setelah mendapatkan bukti pembayaran, Maira segera kembali ke coffe shop.
"Maira!" Nugra datang menghampiri.
"Ada apa?"
"Ternyata di sini...aku tungguin di sana,"balas Nugra.
"Iya. Aku butuh kopi,"jawab Maira acuh. Ia tak berani menatap wajah Nugra.
Pria itu tersenyum, lantas ia memesan secangkir kopi. Keduanya duduk berhadapan. Maira tak banyak bicara, ia hanya Menikmati kopi dan pemandangan sekitar.
"Maira, maaf soal tadi." Nugra seakan paham betul dengan apa yang ada di pikiran Maira saat ini. Sikap wanita itu jadi berubah. Mungkin ada sedikit rasa tidak nyaman setelah apa yang mereka lakukan tadi
"Ah, lupakan." Maira berusaha tersenyum.
"Tapi, kamu..."
"Sore ini aku pindah kamar!"kata Maira cepat.
"Karena apa yang kita lakukan tadi? Bukankah kamu sudah sepakat mau tinggal bersamaku?"tatap Nugra dengan lembut.
Maira menggeleng cepat."Tidak. Karena...aku memang harus berada di kamarku sendiri. Aku belum bilang apa-apa ketika kamu menawarkan sekamar denganmu, Nugra."
"Baiklah, kalau memang itu yang membuat kamu nyaman. Sore ini kamu pindah kamar dan menikmati liburan sebagaimana mestinya." Nugra mengalah.
"Oke." Maira kembali menyeruput kopi hitamnya. Sikap wanita itu kembali dingin kepada pria. Entah bagaimana ia harus mengembalikan perasaannya seperti beberapa menit yang lalu, saat pipinya merona menatap Nugra. Sekarang semuanya sirna, hilang tak berbekas. Ia tidak suka sikap Nugra tadi. Sangat tidak suka.
Maira menyimpan semua pakaiannya kembali dalam tasnya. Ia akan segera pindah kamar. Sementara itu, Nugra duduk dengan tenang di kursinya seraya memperhatikan wanita itu. Tapi, kali ini tatapannya tak lagi sehangat mentari. Pria itu tampak lebih diam dan tak lagi mudah tersenyum. Maira sempat bertanya-tanya di dalam hati. Rasa takut juga terkadang kala menghampiri, mungkinkah pria itu sakit hati dan berniat jahat padanya.
Nugra berdehem seiring dengan wajah Maira yang tampak berkerut seraya merapikan pakaiannya.
Maira menatap Nugra yang saat ini menatapnya dengan tajam."Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?"
"Tidak ada." Terdengar nada datar dan dingin dari mulut Nugra.
Maira meneguk salivanya. Kemudian menarik napas panjang, berusaha tenang."Terima kasih sudah memberiku tumpangan, Nugra. Aku akan ingat dengan kebaikanmu ini. Semoga Tuhan membalasnya." Maira tak lagi menatap Nugra. Perhatiannya kini fokus pada barang-barangnya. Semua sudah masuk ke dalam koper, ia kembali memastikan tak ada yang ketinggalan hingga nanti ia harus kembali lagi."Barang-barangku sudah kubereskan semua."
"Oke...mari kubantu bawa tas ke kamar kamu, ini pasti berat." Nugra bergerak mengambil tas Maira. Maira mencegahnya, tapi entah kenapa pria itu sedikit memaksa. Ada sedikit tarikan keras dari Nugra.
"Oke. Terima kasih." Maira mengalah, yang penting ia segera pergi dari sini.
Mereka berdua keluar,berjalan beriringan menuju resepsionis. Maira segera mendapatkan kuncinya. Sekarang, perhatiannya tertuju pada Nugra uang menunggunya check in dengan sabar.
"Terima kasih, sampai sini saja, Nugra. Aku ke kamarku sendiri,"ucapnya dingin.
"Kamu marah soal pagi tadi, Maira?"tatap Nugra dengan sendu.
Maira mengangkat kepalanya, menatap pria itu."Memangnya kenapa? Aku sudah minta untuk dilupakan, Nugra. Anggap saja tidak pernah ada."
"Kenapa?"
Maira menggelengkan kepalanya dengan kuat,"sudah...sudah..." Ia segera pergi. Tapi, Nugra menahannya.
"Maira!"
"Kenapa?" Maira menepis tangan Nugra dengan pelan.
"Aku suka kamu!"
"Apa?" Maira terbelalak. Ia melihat sekeliling, untungnya sepi, jadi tidak ada yang melihat adegan drama mereka. Ia pun memperkecil volume suaranya."Sebaiknya kamu simpan perasaan itu untuk orang lain, Nugra. Aku tidak butuh cinta."
"Kamu butuh!"
"Tidak!"bantah Maira."Hati-hati kalau bicara, Nugra! Perkataanmu sudah melampaui batas."
"Mungkin besok kamu akan menyadarinya, bahwa kamu butuh itu, Maira. Dan aku.. tidak bercanda mengenai perasaanku ini. Aku menyukaimu."
Maira membuang pandangannya."Lalu...apa yang kamu harapkan?"
"Kita bisa berteman, setidaknya untuk saat ini,"mohon Nugra.
"Tidak!"
"Baiklah. Ayo aku antar ke kamar, setelah itu aku akan pergi." Wajah Nugra terlihat memendam sesuatu, ia menarik Maira ke kamar yang akan ditempati wanita itu. Maira berusaha melepaskan cengkeraman Nugra di tangannya, tapi tidak bisa. Ia hanya bisa mengikutinya dengan pasrah.
"Ini kamar kamu. Silakan."
Maira terpaku di depan kamarnya, Nugra meletakkan
tas di depan pintu, kemudian pria itu berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.
Maira menatap Nugra, hatinya berdenyut. Baru saja ia melukai hati seorang manusia. Padahal, pria itu hanya mengungkapkan perasaan, tapi ia memperlakukan seolah-olah Nugra baru saja hampir membunuhnya. Tapi, beberapa detik kemudian ia mendengus dalam hati.
"Tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, Maira. Lagi pula Nugra juga orang asing. Tidak perlu terlalu dipikirkan."
Setelah itu, wajah Maira terlihat ceria kembali. Ia segera masuk ke dalam kamarnya. Tentunya setelah ini ia akan sendiri, menikmati liburan sesungguhnya. Wanita itu memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Ponselnya berbunyi, tanpa melihat nama yang tertera ia langsung memencet tombol hijau.
"Maira!" Suara dingin itu membuat sekujur tubuh wanita itu merinding. Ia melihat nama yang tertera.
"Gagah!!"
"Kenapa seperti itu pada calon suami?"
"Calon suami katamu?" Maira mendengus."Jangan mimpi." Tangan Maira masih cekatan memindahkan pakaian yang tersisa.
Suasana hening, kemudian terdengar helaan napas Gagah."Kamu sedang liburan?"
"Ya,"jawab Maira seperlunya.
"Aku ingin menyusulmu. Katakan kamu ada dimana?"
Maira memutar bola matanya. Pertanyaan yang membuatnya ingin membuang ponselnya."Tidak perlu. Aku ingin menikmati waktuku sendiri. Jangan ganggu aku!"
"Oh..." Jawaban Gagah terdengar sangat datar.
"Sudah kubilang, jangan telpon aku. Aku mau liburan!"kata Maira."Setelah ini, aku matikan hapenya. Biar nggak ada yang hubungin."
"Aku tidak mungkin bisa tenang jika calon istriku sedang berada di tempat yang tidak kuketahui. Atau...katakan saja kamu ada dimana...agar aku tenang." Ada sedikit senyuman yang terkembang di sudut bibir Gagah. Belakangan ini, ia suka sekali menggoda Maira. Ia akan tertawa jika mendengar Maira marah atau ngomel.
Maira mendecih dalam hati, kalimat manis yang diucapkan begitu datar sama sekali tidak menarik hatinya. Ia tidak akan memberi tahu Gagah tentang keberadaannya."Aku ada di Wakanda!"
"Kenapa tidak sekalian ke Zimbabwe?"
"Karena aku sudah atur jadwal, setelah dari Wakanda langsung ke planet Mars." Jawaban nyeleneh keduanya pun berbalas-balasan, terdengar lucu tapi tidak ada yang tertawa menanggapinya.
"Oh..." Lagi-lagi balasan yang datar.
"Gagah!" Maira menahan emosinya.
"Ya?"
"Boleh tidak, kalau sehari saja tidak meneleponku?"
"Tidak."
"Apanya?"
"Ya tidak bisa. Aku harus menelpon calon istriku, memastikan dia baik-baik saja di sana."
"Jangan bersikap sok manis padaku,"balas Maira kesal."Aku sedang sibuk saat ini. Jadi, kamu itu..."
"Oke, selamat sore. Semoga harimu menyenangkan, Maira." Sambungan diputus oleh Gagah begitu saja padahal Maira belum selesai bicara.
Maira menganga, menatap ponselnya seperti orang bodoh. Baru saja Ia dipermainkan oleh Gagah, untuk ke sekian kalinya. Maira pun membanting ponselnya ke atas tempat tidur dengan kesal."Najis, Gagah sialan!”