Beberapa Orang Tak Berubah

2310 Words
Dunia selalu berputar, tak mungkin berhenti meski kau menginginkannya. Berharap dunia berhenti, berarti kau turut mengharapkan akhir zaman bagi semua umat manusia di muka bumi. Mungkin begitulah manusia, tak ingin menderita sendiri, dan hendak mengajak orang lain untuk ikut tersiksa bersamanya. Keegoisan yang membuat kita kehilangan segala hal. Waktu yang menurut orang mampu mengubah segala sesuatu di dalam hati dan juga hidupmu, terkadang tak bekerja dengan semestinya. Kau kerap bertanya-tanya, berapa waktu yang sudah terlewati? Mengapa semua masih terasa begitu sama? Mengapa orang-orang yang pernah kau tinggalkan pun masih saja tak berubah? Apa yang salah dengan dirimu atau mereka? Kau terus bertanya, hingga kau paham. Bukan mereka yang tak berubah, namun kau yang terjebak di dalam masa lalu. Kau masih betah di sana, mengais kenangan, dan menghirup aroma masa lalu dalam-dalam, hingga kau tak bisa pergi, meski ingin kabur dari semuanya. Andrew membuka bungkus bubur yang dibawakannya, lalu hendak menyuapi wanita yang menatapnya heran. Wanita itu meletakkan tangannya di udara dan menolak apa yang pria itu perbuat. “Aku bisa makan sendiri, Drew. Nggak perlu disuapin kayak anak kecil,” Ujar wanita itu seraya menatap Andrew sebal, sedang Si pria menyingkirkan tangan wanita itu yang menghalanginya menyiapkan makanan yang dibawanya tadi untuk Si wanita. “Nggak usah sok kuat di depanku, Dee. Aku tahu kamu luar dan dalam,” Pria itu menatap Delia menggoda, lalu tatapannya jatuh pada dadaa Delia yang langsung membuat wanita itu sadar arah pandang pria itu dan segera menyilangkan kedua tangan di dadanya. Apa yang diperbuat wanita itu membuat tawa Andrew pecah. Pria itu menggeleng-geleng melihat Delia. “Lebih baik kamu menurut dan makan dengan tenang, sebelum aku mulai melakukan beberapa hal yang akan membuatmu berkeringat,” Pria itu mengedipkan sebelah matanya pada Delia dan tersenyum penuh arti, membuat Si wanita memutar kedua bola matanya dengan sebal, “Kata orang, jika sedang demam, cara yang paling cepat untuk memulihkan penyakit itu adalah dengan banyak mengeluarkan keringat. Jadi, antara kamu mau makan dan minum obat atau aku harus membuatmu berkeringat dengan cara yang melelahkan namun nikmat. Semua pilihan ada di tanganmu. Jadi, tentukan pilihanmu sekarang, Dee,” Andrew tersenyum menggoda. Delia mendengkus kesal dan membuka mulutnya, sementara Andrew tergelak dan kembali menyuapi wanita itu. “Tampaknya, hanya apa yang ada di luar yang berubah, tapi aku bisa merasa bila yang ada di dalammu, masih sama seperti dulu,” Pria itu tersenyum pada Delia, sedangkan Delia terpaku sesaat. Pria itu tak salah karena memang seperti itulah Delia. Penampilan luarnya memang sudah sangat berubah, seolah dirinya ingin menutupi segala perasaan yang tak seharusnya lagi ia rasakan. Seperti dirinya ingin menjadi orang lain agar tak ada seorang pun yang tahu bila dirinya masih mendamba cinta di masa lalu yang sudah dilepaskannya. Pada akhirnya, dirinya selalu berpura-pura dalam segala hal. “Jangan memandangku rendah hanya karena aku seorang wanita. Aku sudah berubah dan nggak selemah dulu. Aku yang sekarang nggak akan mau lagi menjadi bonekamu dan menawarkan tubuhku dengan bodohnya padamu,” Delia menatap pria itu sangar, “Kamu yang nggak pernah berubah. Sudah punya dua anak dan menjadi bapak-bapak pun nggak bisa menghilangkan sikap mesummu itu. Kamu masih saja kekanak-kanakan seperti dulu. Aku pikir, kamu sudah jauh lebih dewasa,” Delia menatap Andrew dengan tatapan mengejek, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku secara tiba-tiba merasa kasihan pada Christie yang harus menghadapimu setiap hari. Dia pasti merasa begitu tersiksa dengan semua sikapmu itu.” Andrew tersenyum tipis dan tatapannya melembut. Ya, mungkin memang Christie begitu menderita bersamanya. Bila saja Andrew tak merebut wanita itu dari sisi adik kembarnya, mungkin saja Christie masih ada di dunia yang sama dengannya. Wanita itu pasti lah sangat bahagia dengan Gafin. Walau bagaimana pun, Gafin adalah pria sempurna yang memberikan semua yang Christie butuhkan, sedang dirinya tampak tak cocok mendampingi malaikat seperti istrinya itu. Dirinya hanya lah seorang pendosa. Andai saja, ia mampu menahan perasaannya. “Benar apa yang kamu katakan, Dee. Christie pasti begitu tersiksa saat bersamaku. Meski aku berusaha semampuku untuk menjadi seperti yang dia inginkan. Tapi pada akhirnya, aku tahu kalau aku nggak pernah menjadi suami yang baik untuknya. Aku pasti membuatnya sangat menderita,” Andrew berkata dengan lirih, “Di dalam hati, aku selalu tahu kalau aku nggak pernah pantas untuk seorang malaikat sepertinya. Aku adalah kekacauan yang nggak bisa dia hindari dan mungkin saja dia sesali,” Lanjut Andrew seraya tersenyum tipis. Semua dosa yang diperbuatnya di masa lalu terkadang membuatnya merasa tak pantas untuk mendapatkan bahagia. Delia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Aneh, hingga saat ini dirinya selalu merasa teriksa saat melihat pria bodoh itu bersedih. Selalu seperti ini. Menjadi pihak yang terluka saat melihat luka pria itu. Mengapa dirinya tak bisa menjadi seperti orang lain yang bisa dengan mudah mengabaikan luka orang lain dan berbahagia? Mengapa ia tak bisa mengabaikan pria itu? Sampai kapan dirinya harus seperti ini karena cinta yang terasa salah. Delia tersenyum, lalu menangkup wajah Andrew dengan kedua tangannya. “Kamu benar-benar bodo0h. Aku benar-benar nggak tahu apa yang harus kulakukan padamu,” Delia menatap ke dalam manik mata pria di hadapannya, “Kamu adalah pria paling sempurna yang pernah ku temui, Drew. Kamu memang kekanak-kanakan, tapi kamu diam-diam berusaha keras untuk membuat orang di sekitarmu bahagia. Kamu memang nggak bisa berpikir dengan tenang, akan tetapi semua itu terjadi karena kamu sedih dan juga marah melihat orang yang kamu cintai terluka. Kamu selalu memberikan bagian terbaik di dalam dirimu untuk semua orang.” Delia mengusap lembut wajah Andrew yang terdiam sesaat. “Seorang pendosa bukan berarti nggak memiliki sisi baik di dalam dirinya. Kamu salah, Drew,” Wanita itu menoba menguatkan hatinya, “Christie sangat mencintaimu dan dia sangat bahagia memilikimu di sisinya. Kamu adalah pria yang dipilihnya untuk menghabiskan sisa hidupnya. Lihatlah bukti cintanya, dia melahirkan anak-anak yang tampan dan cantik untukmu. Kamu nggak boleh berpikir jika dia nggak bahagia. Meski jalan yang kamu tempuh untuk mendapatkannya itu salah, akan tetapi hati dan cintamu,” Delia menempatkan tangannya di dadaa pria itu dan mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya. Wanita itu memberikan senyum terbaiknya. “Cintamu mampu menyentuh hatinya, membuatnya merasakan hal yang sama. Hatimu begitu luas, hingga membuatnya tenggelam hingga ke dasar,” Delia tersenyum lembut. Aneh, hingga saat ini, hanya pria itu yang bisa membuatnya merasa sekacau ini, “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Drew. Tapi, keditaksempurnaanmu nggak pernah menjadi masalah baginya. Gelapmu, nggak mampu menutupi cahaya yang kamu pancarkan untuk menerangi hatinya. Pada akhirnya, kamu adalah kepingan yang membuatnya merasa begitu lengkap. Jangan menganggap dirimu begitu rendah karena baginya, kamu adalah suami dan juga ayah yang luar biasa untuknya. Percayalah, Drew. Karena aku pun merasakan hal yang sama,” Lanjut Delia seraya menatap pria itu lembut. Andrew menggenggam tangan Delia yang berada di tangannya. “Makasih banyak, Dee,” Ujar pria itu dengan tulus seraya tersenyum. Senyuman yang dengan mudah menular pada Delia. Wanita itu mengangguk. Yang dirinya katakan bukan lah sebuah kebohongan. Di matanya, Andrew memang sangat luar biasa dan Christie pun merasakan hal yang sama. Delia tentu saja tahu karena wanita itu menceritakan semuanya pada Delia. Beberapa hari sebelum kepergian Delia. Saat wanita itu bertemu dengan Christie. Wanita itu mencurahkan isi hatinya. Ia memberitahu Delia, bila Andrew adalah hal terbaik yang terjadi di dalam hidupnya. Pria itu memberikannya cinta yang begitu besar, hingga Christie terbuai dibuatnya. Saat itu, Delia tahu bila beberapa cinta nggak akan bisa menemukan akhir bahagianya. Cintanya yang bodo0h tak bisa menghancurkan kebahagiaan dua orang itu. Oleh karena itu, Delia memutuskan pergi dan membawa cintanya. Berharap waktu mampu menyembuhkan hati. Namun sayang, waktu tak sehebat apa yang orang-orang katakan. “Aku nggak berbohong atau mengatakan hal ini hanya untuk menghiburmu, tapi aku dan Christie bertemu beberapa hari sebelum kepergianku. Sejak jatuh cinta padamu. Entah bagaimana, kami mendadak menjadi dekat,” Delia tersenyum miring, “Semua ini mungkin terdengar mustahil bagimu. Apa lagi kamu tahu benar jika dulu perasaanku …” Wanita itu membiarkan perkataannya menggantung di udara. Bukan hanya dulu karena hingga saat ini pun, perasaannya masih sama seperti dulu. Tak pernah beralih ke hati yang lain. Dirinya masih sama bodo0hnya seperti wanita tomboy yang berusaha mati-matian demi membuat pria yang dicintainya itu berpaling ke arahnya. Dirinya tak bisa membunuh harapan itu. Sebuah mimpi di mana pria itu akan sadar cinta yang dimilikinya bukanlah perasaan kekanak-kanakan. Delia menggeleng, menyadarkan dirinya untuk tak melanjutkan perkataan tentang perasaannya dulu. “Intinya, kami menjadi dekat karena dia berusaha untuk mengenalmu lebih dalam. Kamu salah bila berpikir dia nggak bahagia dan salah memilihmu,” Delia tersenyum tulus, “Jangan anggap aku berbaik hati dan mengatakan semua ini untuk membuatmu bahagia. Dia sangat mencintaimu,” Lanjut Delia sembari menatap lembut pria di hadapannya. “Sejujurnya, aku pun masih sangat mencintaimu. Maaf, Drew. Aku nggak bisa membunuh rasa ini, meski sudah mencobanya. Aku akan menyimpan rasa ini sendiri, jadi jangan khawatir. Aku sadar diri akan posisiku. Aku nggak bisa menggantikannya,” Ujar Delia dalam hati. Pria itu tertawa kecil dan mencubit gemas hidung mancung Delia. “Ya, aku sudah tahu itu. Sekarang habiskan buburmu, lalu kita minum obat. Setelah itu, kamu harus kembali tidur,” Pria itu berkata dengan bersungguh-sungguh. Andrew kembali menyuapi Delia. Pria itu memperlakukan Delia dengan lembut. Rasa hangat menjalar ke penjuru hati wanita itu. “Dulu, saat aku terjatuh dan juga sakit, kamu selalu ada di sisiku, Dee,” Pria itu menatap Delia lekat-lekat, “Bila kamu juga meninggalkanmu, sebagaimana yang dunia lakukan padaku. Mungkin, aku akan terus menjadi seorang pecundang. Pecandu obat-obatan terlarang dan hidup tanpa memikirkan hari esok,” Pria itu mengambil jeda untuk melanjutkan perkataannya dan menatap ke dalam kedua netra Delia, “Makasih banyak karena kamu nggak menyerah padaku.” Delia tersenyum mendengarkan perkataan pria itu. Dirinya bersyukur karena Andrew mampu bangkit kembali dan menata kehidupannya. Sebenarnya, Delia tak melakukan apa pun. Tak juga sehebat yang pria itu katakan karena ia hanya dengan bodo0hnya ingin terus berada di sisi Andrew. Ia dengan keras kepalanya, ingin memiliki raga pria itu, meski tahu bila hati Andrew tak ‘kan pernah bisa menjadi miliknya. Meski sadar, bila pria itu tak ‘kan membalas cintanya. Ia sanggup menerima semua konsekuensi buruk itu demi cintanya. “Aku nggak melakukan apa pun,” Delia berkata lirih, “Semua itu berkat kemauanmu sendiri. Aku merasa begitu beruntung mengenalmu. Aku merasa begitu bahagia karena pernah menjadi bagian dalam dirimu. Melihatmu seperti sekarang, membuatku merasa bangga. Seolah semua kesulitan dan juga rasa sakit di masa lalu itu pantas kita lalui agar bisa sampai di saat ini. Harga yang pantas untuk dibayarkan, dengan semua keindahan yang kini ada di hidup kita.” “Apa kamu bahagia, Dee?” Tanya pria itu seraya menatap wajah Delia dengan tatapan meneliti, sedangkan Delia terpaku mendengarkan perkataan pria itu. Bahagia? Delia tak lagi mengerti arti dari kata itu. Sekarang, ia menjalani kehidupannya dengan tawa, akan tetapi tawa yang menghiasi wajahnya bukanlah kebahagiaan yang keluar dari dalam hatinya. Tawa itu hanya sebagai pelengkap, seperti topeng yang diperlukannya untuk melakukan pertunjukannya dengan baik. Apakah semua itu bisa dikatakan sebagai kebahagiaan? Apakah dirinya masih merasakan gejolak di dadaaa yang membuatnya mampu tersenyum dari hatinya? Nyatanya, sudah lama sekali ia tak merasakan gejolak apa pun di hatinya. Semua terasa hambar. Begitu kosong. “Tentu saja aku sangat bahagia,” Ujar Delia pada akhirnya. Dusta. Sekarang, hanya itulah yang bisa diberikannya pada Andrew. Kebohongan-kebohongan tentang hidupnya. Cerita yang tak pernah ada. Hanya itulah caranya untuk membuat mereka semua bisa melanjutkan hidup. “Apa kamu nggak bisa melihatnya sendiri kalau hidupku sangat baik,” Wanita itu tersenyum manis, “Aku seorang pemilik restoran, hidup berkecukupan, dan punya seseorang yang begitu mencintaiku,” Lanjut Delia seraya mengukir senyum di wajahnya. Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan dalam diam, seolah tengah saling meneliti dan membaca hati. Delia pikir, hanya dengan dicintai maka dirinya bisa hidup dengan sangat bahagia. Ia begitu lelah dengan mencintai, hingga dirinya mengambil langkah lain dalam hidupnya. Ia bersungguh-sungguh untuk meninggalkan semua luka yang menyayat hati. Mencoba berjalan dan membentuk masa depannya. Ia pikir, semuanya akan baik-baik saja dan dirinya tak mungkin tersakiti karena tak lagi mencintai siapa pun. Namun sayang, pemikirannya salah. Dirinya tak bisa mendapatkan apa yang dulu ia rasakan saat bersama dengan Andrew. Tampaknya, kebahagiaannya hanya lah pria itu. Lebih baik mencintai meski sakit, daripada kau merasa kosong. Atau mungkin Delia hanya lah seorang yang egois, hingga dicintainya saja tak cukup. “Ya, aku bisa melihatnya. Udah kenyang atau masih mau nambah?” Andrew berusaha mengalihkan pembicaraan. Dirinya merasa begitu sedih tanpa alasan. Harusnya, ia turut merasakan kebahagiaan yang sama untuk Delia. Harusnya ia mengucapkan kata selamat atas kehidupan Delia yang sudah membaik. Namun sayang, mendengar bila ada seseorang mencintainya, membuat hati Andrew dilanda dengan perasaan asing yang membuatnya sedih. “Udah kenyang, Drew. Aku mau minum obat dan langsung tidur,” Delia pun tak lagi memiliki kekuatan untuk terus berpura-pura bahagia, hingga ia ingin kabur dengan tertidur. Andrew mengangguk, lalu mengeluarkan obat demam dari plasti yang sama dari plastic yang membungkus bubur yang dibelikannya untuk Delia tadi. Andrew membantu wanita itu meminum obatnya, kemudian Delia mengucapkan terima kasih. Mereka bertukar senyum. “Apa mau ku bantu untuk menyeka badanmu sebelum tidur? Aku bisa melakukannya,” Pria itu tersenyum penuh arti, sedang Delia tergelak dan memukul pelan lengan Andrew. “Lebih baik kamu menghentikan semua usahamu itu,” Ujar Delia penuh pengancaman, membuat Andrew terbahak. Kini mereka berdua saling berbagi tawa. Dalam hati, Delia membenarkan semua yang terjadi pada mereka. Semua tawa dan canda yang mereka bagikan adalah hal yang membuat hatinya kembali menemukan gejolak yang sudah lama tak ia rasakan lagi. Semua hal yang salah, terasa sangat benar, hingga dirinya tak bisa mencegah untuk menikmati semua kebahagiaan di antara mereka. Tampaknya, inilah yang dinamakan kebahagiaan dan hanya pria itu yang mampu membuatnya merasa seperti ini. Pertemuan mereka dan apa yang mereka bagikan bersama, membuatnya benar-benar sadar bila kehidupannya tanpa pria itu amat suram, tak lagi pernah bisa merasa bahagia. Ya Tuhan … apa yang kini harus dilakukannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD