Chapter 6

2218 Words
Ibran baru keluar saat suara bunda dan ayahnya sudah tidak terdengar lagi. Ia kira saat ia keluar hanya tinggal tersisa Anta. Namun, ternyata tak ada satu pun yang beranjak dari tempat mereka. Ibran hendak kembali masuk, tetapi suara Anta menginterupsi terlebih dahulu. "Bran, ayo selesaian aja. Kasian mereka jauh-jauh ke sini," ujar Anta dengan pelan. Pemuda itu sepertinya sudah pasrah. Dan membiarkan Ibran menyelesaikan masalah ini. Anta mendekat ke Ibran karena cowok itu tak kunjung bergerak. Ibran hanya diam saja ketika ditarik mendekat ke Gala, Ara, dan juga Vincent. Ara terlihat dipenuhi rasa bersalah pada Ibran. Biar bagaimanapun ia adalah ibu dari cowok itu dan tidak seharusnya ia meninggalkan Ibran. Ara tidak berharap banyak. Ia hanya ingin Ibran tahu kalau Ara yang sekarang bukanlah Ara lima tahun lalu. Ara sudah benar-benar sadar mengenai tugasnya menjadi seorang ibu. Ibran duduk sambil menatap Ara dan Gala bergantian. Selama kurang lebih duapuluh menit di dalam, ia merenungkan banyak hal. Hatinya jelas masih terluka dengan apa yang terjadi lima tahun silam. Ibran sedikit sulit memaafkan dan merupakan orang yang sangat pemikir sebelum memutuskan sesuatu. Cowok itu menarik napas sejenak. "Aku enggak bakal ikut siapa-siapa, aku bakal tetep tinggal di sini. Sama Anta," putus Ibran. "Enggak bisa, Bran. Anta suatu hari nanti pasti menikah dan kamu enggak bisa terus-terusan tinggal di sini," sahut Gala. Sangat berambisi untuk mendapatkan Ibran bersamanya. "Belum tentu juga aku hidup sampe Anta nikah?" balas Ibran. "Ibran!" seru Anta, jelas tak suka mendengar kata-kata yang Ibran lontarkan. "Udah. Itu keputusan final aku. Silahkan kalian kembali ke rutinitas masing-masing dan tetap jadi orang asing buat aku." Ibran bangkit dari duduknya tergesa. Ia terlalu malas menghabiskan emosinya hanya untuk berdebat. Ia merasa hidupnya baik-baik saja bersama dengan Anta. Ia tidak butuh orang lain. Gala tidak tinggal diam dan menahan lengan kurus milik sang putra. "Enggak. Kamu ikut Ayah," kata lelaki itu seraya menarik lengan Ibran. Namun, Ibran memberikan penolakan. Sementara Ara dan Vincent terkejut dengan tindakan Gala yang terlalu berlebihan. "Mas, kamu enggak bisa maksa Ibran! Dia bilang dia enggak mau tinggal sama kamu, lepasin dia!" pekik Ara tak tega melihat putranya di cengkeraman Gala. "Yah, lepasin! Aku enggak mau tinggal sama Ayah!" Napas Ibran semakin memburu seiring perlawanan yang ia berikan. Anta tidak tinggal diam saat Gala dengan beraninya menyeret Ibran untuk dibawa pergi. Anta menahan tangan Ibran yang satu lagi dan beradu tatap dengan sang kakak. "Mas enggak bisa bawa Ibran," ujar Anta tegas. Ia kemudian menyentak tangan Gala dan menarik Ibran ke belakang tubuhnya. Menjadi tameng untuk cowok itu. "Harusnya Mas sadar, Mas enggak bisa bawa Ibran begitu aja setelah 17 tahun enggak memberi apa-apa pada Ibran. Selama ini Mas sibuk jadi budaknya papa dan mama. Dan istri Mas yang doyan pamer itu." "Papa dan mama itu orang tua kamu juga, Anta!" balas Gala tajam. "Kamu bukan siapa-siapanya Ibran, jadi lepaskan dia. Biar dia ikut dengan Mas." "Saya siapa-siapanya Ibran, Mas. Saya lima tahun ini jadi orang yang tinggal dengan dia sementara Mas sibuk sama yang lain. Saya bersama dengan dia saat orang tuanya enggak ada. Dan Mas masih bisa bilang saya bukan siapa-siapanya Ibran? Coba tanyakan sama diri Mas sendiri. Selain orang tua biologis Ibran, Mas ini siapa?" Anta memberi jeda perkataannya. Membiarkan Gala untuk memikirkan hal-hal yang ia sebut. "Bahkan di akte kelahiran dia, nama Vincent yang tertulis. Bukan nama Mas." "Itu cuma karena Vincent sok baik dan mau mendapatkan hatinya Ara," desis Gala. Ia tak terima saat rivalnya semasa kuliah itu disebut. "Om Vincent emang baik! Seenggaknya lebih baik daripada Ayah sama bunda yang jarang perhatiin aku. Om Vincent selalu inget ulang tahun aku. Bahkan, om Vincent sampai rela bohong kalau bunda selalu tanya tentang keadaan aku. Padahal, faktanya bunda selalu sibuk sama pekerjaannya sendiri." Ibran akhirnya angkat bicara. Tak tahan mendengar ucapan Gala tentang Vincent yang ia rasa tidak benar. Dan lelaki sebaik Vincent tak selayaknya mendapatkan perkataan seperti itu. Ara tertegun mendengar ucapan Ibran barusan. Hatinya mencelos mengetahui seburuk itu ia di mata Ibran. Vincent yang berdiri yang di sebelahnya hanya bisa menggenggam tangan wanita itu pelan. "It's okay, Ra. Manusia memang membuat kesalahan. Dan kamu sekarang akan menebus kesalahan kamu." "Aku capek, tau enggak? Seharusnya kalau mau tinggal sama aku, kalian ngelakuin hal ini tujuhbelas tahun lalu. Meskipun, enggak dengan orang tua yang lengkap. Seenggaknya aku punya sedikit kasih sayang dari salah satu di antara kalian." Mata Ibran memerah. Buliran bening di matanya menggenang semakin banyak. Juga sesak semakin membelenggunya. "Aku capek, Yah. Asal Ayah tau, Ayah yang paling bikin hidup aku menderita. Lima tahun lalu mungkin kalau enggak ada Anta aku milih bunuh diri. Aku enggak bisa marah terlalu banyak sama Bunda, karena Bunda udah berusaha banyak waktu mengandung aku. Aku tau rumor tentang Bunda yang mau menggugurkan aku itu enggak benar. Karena kalau benar mungkin aku udah enggak ada. Aku tau dulu kandungan Bunda lemah banget sampai akhirnya aku lahir prematur." Tangisan Ara pecah saat itu juga. Yang Ibran katakan memang benar. Ia sendiri tidak tahu darimana rumor itu beredar. Mungkin karena semasa hamil Ibran ia diasingkan dari keluarga Johnson dan dibiarkan hidup di luar tanpa pengawasan. Gala terdiam mendengar penjelasan Ibran. Hatinya ikut sakit saat cowok itu mulai meneteskan air mata. Rasanya saat itu Gala diperlihatkan betapa besar dosa yang telah ia buat. Sementara itu Anta mengusap punggung Ibran. Ini pertama kali dalam lima tahun bersama Ibran, ia melihar cowok itu menangis. Anta tahu Ibran sudah menahan terlalu banyak selama ini. Dan mungkin ini memang adalah saat yang tepat untuk melampiaskan segalanya. "Ayah ... apa masih pantes aku sebut Ayah? Jujur, aku paling marah sama Ayah. Seharusnya tujuhbelas tahun lalu Ayah lebih berhati––" "Tujuhbelas tahun yang lalu itu bukan sepenuhnya salah Ayah, Ibran! Bunda kamu juga patut disalahkan untuk hal ini. Kalau saja dia––" "Tapi Bunda tersiksa setelah aku ada, Yah! Ayah masih enak bisa berlindung di keluarga Mahawira karena Ayah pewaris utama. Sementara Bunda? Bunda langsung diusir dari rumah dan enggak diterima dimana-mana. Kalau Ayah waktu itu adalah seseorang bertanggung jawab, pasti Ayah bakal mau susah bersama Bunda. Bukannya meninggalkan Bunda dan menyalahkan Bunda atas segalanya." "Ayah enggak lebih dari manusia brengs––" Plak! "Mas Gala!" pekik Anta dan Ara bersamaan. Vincent tak mau banyak bicara dan memilih menarik Ibran mundur. Mendudukkan cowok yang mulai hilang kendali itu di sofa. "Ibran, hey, calm down. Ingat kata-kata Om 'kan? Kamu enggak boleh terlalu emosi. Tenangin diri kamu. Okay?" Lelaki itu tampak sangat mengerti Ibran meski tak bertemu secara langsung. Ibran kesulitan mengendalikan diri sendiri. Ia serasa seperti dicekik karena tangisannya. Ia sampi mencengkeram kemeja yang Vincent pakai. Vincent mengangkat Ibran lalu membawa cowok itu masuk ke kamarnya. Terkesan tidak sopan memang, tetapi Vincent tidak memikirkan hal itu. "Hey, ngapain diam aja?!" pekik Vincent dari dalam. Anta yang pertama tersadar dan segera berlari ke dalam. Sedangkan di luar tinggal Ara dan Gala. Keduanya sama-sama diam. Seolah-olah tubuh mereka membeku dan tida bisa beranjak kemanapun. Ara jatuh terduduk sambil menutupi wajahnya yang penuh air mata. Dan di sisi lain Gala tengah menyesali perbuatannya pada Ibran. Ia benar-benar emosi hingga tidak sadar telah menyakiti putranya sendiri. "Kenapa, Mas? Kenapa? Dia itu masih anak kamu," ujar Ara di sela tangisannya. Wanita itu terisak hingga sekujur tubuhnya serasa tak memiliki tenaga. Padahal, rasanya ia ingin memukuli Gala saat itu juga. "Kamu sudah menghancurkan hidup aku dan sekarang kamu mau menghancurkan hidup Ibran juga? Enggak usah. Lebih baik kamu urus hidup kamu sendiri." "Ra, dulu aku enggak bermaksud begitu." "Tetap aja. Enggak salah kalau anak kamu bilang ayahnya sediri b******k dan enggak bertanggung jawab." Meninggalkan sejenak dua orang dewasa itu, di dalam diisi dengan kecanggungan yang begitu kental. Ibran berbaring lemah di kasurnya dengan masker oksigen yang terpasang apik. Vincent ada di sampingnya sambil menggenggam tangan cowok itu. Dibanding Gala, malah Vincent yang terlihat seperti ayah bagi Ibran. Anta berdehem sejenak. "Sampai kapan Anda mau memegang tangannya seperti itu?" tanyanya. Memecah keheningan. "Sampai dia baikan," jawab Vincent sekenanya. Padahal, Ibran sudah lebih baik setelah diberi obat dan dipakaikan masker oksigen. Namun, Vincent enggan melepaskan tangan Ibran. Persis seperti seorang ayah yang posesif. "Udah baikan itu anak. Jadi, silahkan lepaskan tangan Anda." Suara Anta menyiratkan rasa tidak sukanya pada Vincent. Entah, ia merasa tidak suka saja jika Vincent dekat dan perhatian pada Ibran. Vincent terkekeh pelan. Ia kemudian mengangkat tangannya yang balas digenggam oleh Ibran. "Dia enggak mau lepasin saya," kata Vincent. "Alah yowes karepmu, tak tinggal." Vincent mengernyit bingung kala Anta malah bangkit dengan wajah sedikit ditekuk. Juga dengan nada bicara yang terdengar kesal. Lelaki itu menggeleng pelan kemudian kembali menaruh atensi penuh pada Ibran yang matanya terpejam. *** Ketika hari sudah berganti malam, Anta memutuskan untuk keluar dari apartemennya. Alasannya adalah karena Vincent serta Ara masih di sana menjaga Ibran. Anta tidak enak jika menyuruh mereka keluar, jadi ia mengalah dan kini berada di salah satu bar yang sering ia kunjungi. Di bar itu Anta tidak berniat melakukan apa pun. Hanya duduk diam sambil chatting dengan kedua kakak kembarnya. Yap, Kejora dan Angkasa. Lalu kemudian mereka bertiga memutuskan untuk melakukan grup panggilan suara. Angkasa dan Kejora langsung bisa menebak di mana Anta sekarang setelah mendengar suara musik yang mengalun. Kejora mendecak pelan di seberang sana. "Kowe iki kerjaan ne lek enggak dolanan wedhok yo mesti neng bar, sungguh mulia sekali pekerjaanmu, Antariksa." (Kamu ini kerjaannya kalo enggak main cewek ya pasti ke bar.) "Adekmu lho kuwi, Ra. Kowe seng ngajari." Anta terkekeh mendengar sapaan pembuka dari kedua kakaknya. "Ben lah, aku ki sad neng kene dewean. Neng apartemen ijek enek kak Ara karo Vincent." (Aku tuh sedih di sini sendirian. Di apartemen masuh ada kak Ara sama Vincent.) "Vincent sing ganteng kae tah?" Kejora terdengar sangat antusias kala mendengar nama Vincent disebut. Anta mendecak kemudian. "Ganteng juga aku, Mbak." "Halah, mbakmu tuh sopo seh seng ora diomong ganteng. Lucinta Luna mbalek lanang yo engko diomong ganteng juga." (Halah, mbakmu tuh siapa sih yang enggak dibilang ganteng. Lucinta Luna balik jadi laki aja nanti dibilang ganteng.) "Halah, Mas. Mas juga lek ndelok wedhokan langsung meleng. Enggak eling nduwe bojo plus buntut wes loro." Itu bukan Anta yang menjawab, tetapi Kejora. Anta hanya tertawa. Berbincang dengan kedua saudaranya yang kini terpisah negara tersebut memang sedikit menjernihkan otaknya. (Mas juga kalo liat cewek langsung meleng. Enggak inget udah punya istri plus anak dua.) "Heh, wes enggak usah nganggo boso Jowo. Aku didelok i wong, a*u. Isin, mosok ganteng-ganteng medhok." (Heh, udah enggak usah pake bahasa Jawa. Aku diliatin sama orang. Malu, masa ganteng-ganteng medhok.) "Yowes iyo." Anta mendengus pelan mendengar permintaan Angkasa. Pemuda itu meski sudah memasuki kepala tiga tetap menjunjung tinggi image-nya di mana pun dan kapan pun. "Jadinya, tadi pas Mas Gala sama Kak Ara ke apartemenmu gimana?" "Ya gitu, Mbak. Ibran enggak mau ikut siapa-siapa. Milih tetep sama aku." "Terus, gimana? Enggak mungkin Mas Gala diam aja. Kalo Kak Ara sih kayaknya emang diem aja. Kan, dia cantik kalem gitu," tanggap Angkasa sambil menyelipkan pujian pada Ara. Well, Anta sendiri tidak bisa berkelit melihat bagaimana cantiknya Ara di umurnya yang hampir berada di ujung tigapuluhan. "Mas Gala enggak terima. Terus mau narik paksa Ibran. Tapi, aku tahan." "WOOOH, ini baru adekku!" "Yoksi, my little bro!" Anta memutar matanya malas. Ia merasa kalau respon kedua kakaknya terlalu berlebihan. "Hih, opo seh. Aku enggak tega aja apa lagi Mas Gala kayak gitu. Kalian juga tau wataknya Mas Gala piye. Sampai akhirnya tadi Ibran kena tampar, terus arek e collapse. Baru Mas Gala meneng." "Lha, terus sekarang ponakanku gimana? Enggak kenapa-napa 'kan?" "Oooh, Mas Gala memang. Dari duu enggak pernah berubah." "Enggak pa-pa, Mbak. Diminumin obat terus pake masker oksigen terus dia ketiduran. Sambil pegang tangannya Vincent lagi. Cih, makanya tak tinggal ke sini." "Oalah iyo. Wes aku ate balek sek, ngko meneh. Kowe karo Kejora ae. Bye, baik-baik yo adekku lanang." Lalu setelah itu Angkasa memutuskan panggilannya. Menyisakan Kejora dan Anta. Kejora berdehem sejenak di seberang sana. "Jujur sama Mbak, ya. Kamu ikhlas enggak kalau semisal Ibran ikut sama kak Ara?" tanya Kejora pelan. Kemudian langsung di sambut desahan pelan. "Yo piye sih, Mbak. Lek diomong enggak ikhlas ki yo enggak, cuma agak piye ngono lo. Kan ket Ibran mlebu SMP karo aku. Saiki mosok tiba-tiba ate dijaluk." (Ya gimana sih, Mbak. Kalo dibilang enggak ikhlas ya enggak, cuma agak gimana gitu. Kan dari Ibran masuk SMP udah sama aku. Sekarang masa tiba-tiba mau diambil.) "Oalah, heeh Mbak ngerti. Tapi, kamu enggak bisa ngelarang kalau Ibran sendiri yang mau. Biar gimana juga kak Ara itu ibuknya." "Mbak ...." "Kenapa? Enggak usah nangis, Ta. Ibran masih sama kamu kok. Mbak itu tau kamu udah sayang banget sama anak itu." Anta bungkam. Tak tahu harus bicara apa. Kejora memang tahu Anta dengan sangat baik. Dibanding dua kakak lelakinya yang lain, Anta juga lebih dekat dengan Kejora. Meskipun wanita itu galak, tetapi Kejora memiliki sisi yang bisa membuat Anta betah. "Dengar. Minggu depan Mbak pulang ke Indonesia sebentar. Kamu bisa cerita semuanya sama Mbak nanti. Sekarang kamu fokus jagain keponakan gantengku itu. Ya?" "Iya, Mbak." "Kamu juga jaga kesehatan lho, Ta." "Iya." "Enggak usah mimik-mimik terus. Kasian Ibran yang dengerin kamu waktu mabuk." "Iya." "Jangan iya-iya aja!" "Ya Allah. Yes, Ndoro. Yes." "Yaudah. Mbak tutup, ya. Kaila manggil terus." "Hooh. Suwun nggih." "My pleasure."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD