BAB 31 Dua Lelaki Itu Bernama Gin Dan Rei

1367 Words
Nao menelan ludah melihat dua lelaki yang menyekapnya tadi pagi sedang membakar ikan bakar. Saat bangun dari tidurnya Nao tidak pernah makan apa pun. Di karenakan Nao dan Ken pagi-pagi diserang oleh monster. Jadi mau tidak mau mereka harus menunda sarapan mereka. Namun, sayangnya. Selesai pertarungan Ken dan monster itu, ia malah ditangkap oleh dua lelaki yang tidak dikenal. Kedua tangannya yang terikat membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa duduk diam dan pasrah. Salah satu dari si penyekap mendekati Nao. “Kalau boleh tahun nama kamu siapa?” tanya lelaki itu ramah. “Gin! Jangan berbicara dengan tawanan kita. Kau tidak boleh bersikap ramah dengannya,” ujar lelaki yang lainnya pada temannya yang ternyata bernama Gin. “Emangnya kenapa Rei? Aku hanya penasaran dengan lelaki ini. Sepertinya temannya tidak menganggapnya. Aku jadi kasihan melihatnya ...” lirih Gin yang kembali mengingat kejadian tadi pagi saat berusaha mengambil peta yang ada di tangan mereka. “Untuk apa kau kasihan. Dia bukan siapa-siapamu. Dia hanyalah orang asing yang setelah ini kalian tidak akan pernah bertemu lagi.” lelaki bernama Gin itu pun menunddukan kepalanya. “Akhirnya ikan ini sudah masak,” gumam Rei yang sedari tadi membakar ikan hasil tangkapannya beberapa saat yang lalu. “Cepat kemari. Ikannya sudah siap disantap.” “Iya ... iya aku ke sana sekarang ...” gumam Gin pelan lalu mendekati Rei yang kini menyodorkannya ikan bakar. Gin dan Rei pun duduk berhadapan sambil menatap danau yang begitu tenang di samping mereka. Menikmati ikan bakar hasil tangkapan mereka dengan lahap tanpa peduli dengan seorang lelaki yang kini menelan ludah saking laparnya. Tak lama kemudian, terdengar suars perut Nao. Lagi-lagi perut Nao berbunyi dan kedua lelaki itu spontan menatap Nao saat mendengar bunyi perut lelaki itu lalu kembali menyantap ikan bakar itu dan tidak perduli pada tawanannya. “Apa kita tidak perlu memberinya makan? Sepertinya dia sangat kelaparan,” gumam Gin pelan. “Tidak usah. Lagian temannya pasti akan menyelamatkannya.” “Tapi bagaimana jika temannya tidak datang? Dia akan sangat kelaparan.” Rei menghembuskan napasnya kesal mendengar perkataan Gin yang terlalu perduli dengan orang asing. “Sudah berapa kali aku bilang. Kau tidak usah perduli padanya. Dia hanyalah orang asing bagi kita.” Seketika Gin hanya bisa menundukkan kepala. “Baiklah ...” Kedua lelaki itu masih asyik dengan ikan bakar mereka. Sudah sepuluh ekor mereka makan. Sisa beberapa lagi. Kali ini bunyi perut Nao semakin besar membuat Rei yang sedang menikmati makannya merasa terganggu. “s**l ... perutnya terlalu berisik. Aku tidak bisa fokus makan kalau begini,” batinnya Rei. Rei menatap Nao dan kebetulan saat itu Nao juga menatapnya. Tatapan mereka bertemu. Nao pun memberikan senyuman cengiran merasa bersalah dengan gangguan yang di akibatkan perut keroncongnya. “Berikan ikan ini padanya. Perutnya sangat berisik.” Sambil menyodorkan satu tusuk ikan bakar di hadapan Gin. Saat itu juga senyum Gin merekah. Dengan wajah gembira lelaki itu mengambil ikan pemberian Rei dan mendekati Nao. “Ini makanlah kau pasti lapar sekali.” Gin meletakkan ikan itu di hadapan Nao. “Kenapa kau menatapku?” tanya Gin merasa di tatap. “Bagaimana aku bisa makan kalau keadaanku seperti ini .... bisakah kau melepasku?” tanya Nao hati-hati. Gin pun memukul jidatnya. “Oh iya. Aku lupa jika kau terikat!" Pekik Gin sambil menepuk jidatnya saat ia baru ingat jika Nao terikat. “Rei bagaimana ini? Apa aku perlu melepas ikatannya?” tanya Gin polos. “Dasar bodoh. Jika kau membuka ikatannya dia akan kabur.” “Tapi kalau tidak dilepas dia tidak bisa makan.” “Kau kan bisa menyuapinya.” “Ohhh, iya aku lupa ...” Gin pun mengambil ikan bakar yang ada di hadapan Nao lalu meletakkan ikan itu di mulut Nao sehingga lelaki itu bisa menggapainya dengan mudah. “Aku pergi dulu untuk melihat sekitar sini,” gumam Rei dan berdiri. “Okey...” Lelaki bernama Rei itu pun segera beranjak dari tempatnya untuk memeriksa keadaan sekitar meninggalkan Gin dan Rei berdua. *** “Akhirnya aku kenyang juga,” batin Nao lega. Gin pun merasa lega setelah memberi makan Nao. Gin pun menatap sekelilingnya, hari mulai gelap dan hingga saat ini Rei belum kembali. “Dia lama sekali ...” lirihnya. Lelaki itu segera mendekati api yang mereka tempati membakar ikan. Mengambil kayu yang telah ia kumpulkan tadi siang lalu meleparnya di hamparan api. Bosan duduk sendiri di depan api unggun. Gin segera pun mendekati Nao, lagian temannya belum kembali. Jadi apa salahnya jika ia mengobrol sejenak dengan lelaki tahanannya. Gin duduk di samping Nao. “Tadi kau belum menjawab pertanyaanku. Nama kamu siapa?” “Namaku Nao.” “Kalau boleh tahu kenapa kau bisa ada di hutan ini? Dan lelaki yang bersamamu itu siapa?” Wajah Nao berubah seketika saat mendengar pertanyaan Gin. “Lelaki yang bersama ku tadi adalah Ken dia adalah saudaraku. Tapi bukan saudara kandung. Kami di besarkan oleh sepasang suami istri yang menemukan kami saat bayi.” “Dan tujuan kami berkelana untuk mencari buku sihir. Satu bulan yang lalu, Desa tempat kami tinggal di serang oleh beberapa monster dan dari kejadian itu ibu angkatku lumpuh dan tidak bisa menggunakan kekuatan sihir lagi. Aku tidak ingin ibuku hidup tanpa kekuatan sama sepertiku ... karena aku tahu betul bagaimana rasanya hidup tanpa kekuatan sihir.” “Apa? jadi kau tidak punya kekuatan sihir? Bukankah semua yang lahir di bumi ini semuanya punya kekuatan yang membedakan saja ada yang lemah dan ada yang kuat.” “Kamu betul. Semua yang lahir di bumi ini pasti mempunyai kekuatan sihit, kecuali aku. hanya aku satu-satunya yang tidak punya kekuatan.” “Karena itu aku tidak punya teman. Semua orang yang ada di desa membenciku karena aku hanyalah manusia biasa. Bahkan Ken juga tidak pernah menganggapku sadara ia juga membeciku ... Saat kau umur sepuluh tahun aku selalu di bully. Saat aku masuk ke Academic pun aku selalu di bully. Karena itu juga aku harus putus sekolah.” Nao tersenyum kecut sambil menceritakan masa lalunya yang kelam. “Untungnya aku punya seorang guru yang menerimaku sebagai murid. Dia yang mengajariku tentang penggunaan pedang.” “Karen itulah aku tidak ingin ibuku seperti diriku. Aku tidak ingin ibuku di jauhi dan di benci oleh warga desa. Aku ingin ibuku hidup bahagia ...” lirihnya mengakhiri ceritanya dan menundukkan kepala. Disaat Nao sedang bercerita, is mendengar suara isak tangis, Nao pun menatap Gin saat mendengar suara isakan. “Kenapa kau menangis?” tanya Nao pada Gin yang kini banjir oleh air mata. “Itu karena ceritamu sangat sedih. Aku merasa sangat kasihan padamu ... kau kuat juga yah bisa menagnggung beban seperti itu ...” “Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit yang mereka berikan padaku. Karena itu aku bisa bertahan sampai saat ini. Hanya saja kadang aku berharap bisa seperti yang lainnya. Aku juga ingin memiliki seorang sahabat yang selalu ada di sempingku ...” lirihnya “Aku mau kok jadi sahabatmu,” gumam Gin cepat dengan wajah polosnya. “Benarkah kau ingin menjadi sahabatku?” tanya Nao kaget. Dalam hatinya ia sangat senang mendnegar perkataan Gin yang ingin menjadi temannya. “Tentu saja aku mau ....” Gin pun segera memeluk tubuh Nao yang terikat lalu menangis dalam pelukan lelaki yang kini menjadi sahabatnya. “Aku senang sekali kau ingin menjadi temanku. Sesuatu yang sangat aku impikan sejak aku kecil ...” “Aku juga sangat senang ...”Gin pun melepaskan pelukannya dan masih menangis terisak di samping Nao. “Sudah jangan menangis lagi ...” “Aku terharu dengan kisahmu tadi ... ”keduanya tediam setelahnya. Keadaanya menjadi sepi dan hening. Hanya ada suara isak tangis Gin yang masih belum berhenti. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Nao pun secara perlahan menoleh ke belakan untuk meliah si pemilik langkah kaki. Namun, saat itu juga kedua matanya membulat si pelaku yang ternyata adalah Rei kini meletakkan sebuah pisau es pada lehernya. Raut wajah lelaki itu terlihat sangat marah. “Apa yang kau lakukan padanya kenapa dia bisa menangis?” ujar Rei dingin. “Itu ...” “Jawab yang cepat,” pekik Rei kesal sambil mengeratkan tindihan pisau pada kulit leher Nao sehingga lelaki itu memekik kesakitan saat pisau itu mengiris sedikit lehernya hingga menimbulkan sedikt darah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD