Prolog

247 Words
“Nanti, kamu mau kan carikan dandelion dan tanam di makam Abi?” Air mata Adeeva kembali menetes. Satu dandelion sudah berhasil ia tanam di dekat nisan ayahnya. Dia baru berhasil menemukan bunga itu lama setelah makam ayahnya kering. Dadanya sesak. Cinta pertamanya telah pergi membawa luka yang tak pernah dibaginya dengan siapapun. Bahkan pada dirinya, yang sedari kecil merasa bahagianya begitu sempurna memiliki seorang ayah sepertinya. “Maafkan Diva, Abi. Maaf. Diva rela kok jika nanti di surga, Abi kembali pada mereka. Abi harus bahagia kelak di surga bersama mereka. Tapi mohon, ijinkan Diva tengok Abi sekali waktu ke rumah kalian kelak.” Adeeva terisak sendirian di atas makam yang tak lagi basah. Gemerisik angin membawa senja turun perlahan. Langit sudah muram sejak kaki Adeeva menapak memasuki are pemakaman. Langkahnya berat, seberat kenyataan yang menghantam sudut hatinya. Hatinya terasa begitu sepi. Sunyi seperti area pekuburan senja itu. Ayahnya, Ali Hussain, terbujur kaku di bawah nisan itu meninggalkan sebuah cerita yang tak pernah Adeeva kira akan menjadi awal mula kisah hidupnya. “Deeva, jika nanti ada jodohmu bertemu mereka, tolong sampaikan maaf Abi. Cinta Abi tak berkurang sedikitpun untuk mereka.” Air mata itu menderas turun. Cinta yang selalu disimpan rapat ayahnya. Cinta yang baru diketahuinya di masa akhir hidup laki-laki itu. Kenapa harus di ujung maut ayahnya ia baru tahu semuanya. Tangis itu begitu pilu. Bersamaan dengan sosok hitam yang datang dengan wajah garang. Menyeret Adeeva yang meronta. Di bawah guyuran hujan yang kian menderas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD