Part 5

846 Words
Aku melirik arloji di tangan kananku, tentu saja ini masih pagi dan aku sudah dibuat kesal dengan banyaknya bunga yang tertumpuk di atas meja kerjaku. Aku bergegas menghampiri ruangan Pak Arvian untuk meminta pertanggungjawaban dia atas bunga-bunga itu.  "Tidur?" Tumben sekali, Pak Arvian biasanya gila kerja. Aku memerhatikan wajah Pak Arvian cukup lama, kalau tidur gini kan adem lihatnya. "Sudah puas memandangi wajah saya?" Tanya Pak Arvian yang tiba-tiba telah membuka kedua matanya. Aku terkesiap, berjalan mundur satu langkah karena terkejut, "Tadi ada nyamuk, mau saya tepok." Pak Arvian tersenyum meremehkan, "Masa?" Aku berusaha sebisa mungkin untuk menghindari tatapan Pak Arvian, "Bunga dari fans Bapak mau saya apakan?" Pak Arvian mengangkat bahunya tak tahu, "Buang." "Buang?!" Pekikku. "Iya." "Ada surat loh Pak di tiap bunga." "Saya enggak peduli." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku merasa kasihan dengan wanita-wanita gila yang telah mengirim bunga ke Pak Arvian, "Coba aja Mbak Angel yang kirim, pasti langsung diterima." "Jangan cemburu gitu." "Siapa yang cemburu?!" "Kamu." "Capek hati ya emang kalau ngobrol dengan Bapak." "Kalau bunganya saya tampung nanti ruangan saya jadi kebun bunga." "Terserah." Pak Arvian melihat layar komputernya, "Tim marketing sudah memutuskan brand ambassador untuk produk yang baru?" "Belum, tetapi nanti siang mereka mau menemui Bapak." "Okay, makan siang saya bagaimana?" Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, karena jujur aku pun belum memikirkan menunya, "Nasi telor ceplok." "Lagi? Please deh Kin, saya lelah makan telur." "Kenapa? Kan enak Pak, kalau enggak saya variasikan saja telurnya, saya buat omelette aja ya?" "Nope. Nanti saya bisulan." Aku tertawa mendengar ucapan Pak Arvian, "Saya masak spaghetti deh, baru belajar." "Oh, baguslah." "Oh doang nih? Muji dong Pak, saya sudah mengorbankan waktu malam saya buat belajar masak spaghetti, bahkan saya sudah mengorbankan perut saya untuk eksperimen." "Memang saya harus bilang wow sampai salto gitu?" Sedikit ada rasa tidak rela ketika mendengar Pak Arvian mengucapkan kalimat yang sempat viral beberapa tahun lalu itu dengan wajah datar, "Salto aja kalau Bapak bisa." "Malas." "Ya sudah enggak jadi mau masak spaghetti." "Kok gitu?" "Bodo amat." "Ngambek lagi?" "Siapa yang ngambek sih?" "Kamu." Aku berusaha untuk tidak memutar bola mataku karena akan terkesan kurang sopan, aku pun tanpa pamit langsung keluar dari ruangan Pak Arvian. *** "Kin, kamu ingat tidak dokumen yang dikasih Adelin di mana?" Tanya Pak Arvian. "Kemarin bukannya masih ada?" "Iya, tapi saya lupa." "Faktor umur memang." Ucapku lalu menajamkan mataku untuk mencari dokumen yang dimaksud. Seketika aku langsung mengangkat bantal sofa dan menemukan dokumen yang dicari Pak Arvian, "Ketemu." Pak Arvian tersenyum senang, "Good." "Ceroboh banget sih Pak." "Manusiawi kok." Aku reflek langsung membenarkan dasi Pak Arvian, "Mana nih Pak Arvian yang perfeksionis?" "Saya sedang tidak fokus saja." "Kenapa?" "Orang tua saya memaksa saya untuk segera menikah." "Ya sudah pilih saja, kan enggak susah untuk Bapak dapat wanita." "Saya tidak mau menikah karena diminta." "Kalau begitu Bapak bilang aja kalau Bapak enggak tertarik dengan wanita." "Kamu mau buat Mama saya jantungan?" Aku tertawa pelan, "Makanya dicari dong." "Kamu saja. Mau enggak?" "Enggak, makasih Pak. Saya masih cukup waras untuk tidak menyetujui ucapan Bapak." "Anggap saja part time. Kamu saya gaji." Setiap kali mendengar kata gaji dan uang, entah kenapa aku selalu tidak punya kuasa untuk menolak. Maklum aku sudah terbiasa cari uang untuk hidup mandiri dan aku juga menanggung biaya sekolah adik-adikku, bisa dibilang aku tulang punggung keluarga selain Ayah. Aku tidak keberatan selagi aku mampu, toh dapat membantu mengurangi beban orang tua adalah suatu hal yang dapat dibanggakan. Sebenarnya keluargaku tidaklah kekurangan tetapi tidak juga berlebihan, hidup kami cukup sederhana. Namun, semenjak ibuku sakit-sakitan dan ayahku yang sudah berumur sehingga mereka tidak bisa berpenghasilan seperti dulu. Sebenarnya uang tabunganku pun masih cukup, hanya saja karena kedua adikku akan segera menamatkan jenjang pendidikan menengah pertama, jadi perlu biaya lebih untuk bisa menyekolahkan mereka, banyak biaya yang harus dihabiskan untuk memasuki jenjang sekolah menengah atas, entah itu perihal buku, seragam, dan masih banyak lagi. "Bapak mau saya jadi pacar bohongan?" Pak Arvian menganggukan kepalanya, "Sampai Mama saya yakin kalau anaknya masih lurus." "Tiga bulan." "Apanya?" "Kontraknya hanya tiga bulan, bagaimana?" Pak Arvian diam sejenak. "Pak, tiga bulan itu cukup lama loh." "Ya sudah, deal." Pak Arvian melirikku, dari tatapannya aku merasa dia sedang memikirkan sesuatu. "Apa?" "Kin..." "Kenapa sih Pak?" "Pacar seorang Arvian tidak berpenampilan acak adul kayak kamu." "Bapak harus menerima saya apa adanya dong." "Coba berpenampilan selayaknya wanita, lebih feminim gitu Kin." "Enggak mau, minta Mbak Sisil aja kalau Bapak mau yang seksi." "Saya bisa ditendang dari rumah kalau bawa Sisil." "Kenapa?" Pak Arvian mengangkat bahunya tanda tak mengerti juga dengan ucapannya, "Feeling saja." "Orang kantor enggak boleh ada yang tahu kalau kita pura-pura pacaran." "Saya juga enggak berminat kasih tahu mereka." Aku menghembuskan napasku lega, "Satu hal lagi." "Apa?" "Jangan baper, jangan ngusik kehidupan satu sama lain. Kita mendalami peran kekasih hanya saat ada keluarga Bapak saja." Aku menggigit bibir bawahku gugup karena sebenarnya akulah yang takut terbawa perasaan, aku cukup sadar diri untuk tidak jatuh dalam pesona seorang Arvian. "Deal." "Tapi kamu juga harus ingat." "Apa?" "Sulit untuk menolak pesona saya." ucap Pak Arvian dengan penuh percaya diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD