Malam itu, di sebuah ruangan ballroom hotel bintang lima ibu kota. Suasana begitu ramai, suara musik melankolis mengalun lembut dari biduan ternama, para tamu undangan dari berbagai golongan berdatangan dalam rangka acara ulang tahun putri tunggal seorang wanita terkenal Nancy Purnama.
"So beautiful, Nancy... putrimu memang luar biasa, kalau seandainya aku punya anak laki-laki sudah pasti aku akan melamarnya menjadi menantuku," kata seorang wanita paruh baya yang merupakan teman Nancy ketika masih kuliah.
"Terima kasih banyak atas pujianmu, Valentina. Tapi aku senang setelah mengetahui anakmu juga perempuan. Kalau seandainya anakmu pria, sulit bagiku menolak lamaran sahabatku kan?" balas Nancy dengan canda.
"Hai Nancy, hallo Valen." Sapa seorang pria yang berusia sebaya dengan mereka berdua.
"Hai juga... Edward. Kamu datang sendirian ya, dimana keluargamu? Apa mereka tidak ikut?" Tanya Nancy.
"Istri dan putraku sedang berada di Manado, jadi mereka tidak bisa hadir di acara ulang tahun putrimu," Jawab Edward.
"Sayang sekali, Edward. Aku ingat sama putramu itu, namanya si Fernando, benarkan?" sela Valen.
"Benar sekali, Valen. Anakku ada tiga orang, dan tiga-tiganya adalah pria," jawab Edward sambil meneguk minumannya, "Fernando adalah anak laki-laki tertuaku, dia sedang kuliah di universitas Harvard California, sementara putraku yang dua lagi masih berstatus pelajar SMA."
"Aku punya ide, Nancy," kata Valentina sambil mengerling ke arah Edward. "Edward kan mantan pacarmu, namun kalian tidak berjodoh. Kamu punya putri perempuan yang sangat cantik, sementara Edward punya putra laki-laki yang tampan dan pintar, usia anak kalian berdua juga sebaya kan? Usulku... sebaiknya kalian jodohkan saja keduanya, bagaimana?"
"Kalau aku sangat setuju, Valen. Tapi kamu harus lihat dulu status putri sahabat kita ini," Edward diam sesaat menatap ke arah Valentina. "Dia sekarang adalah seorang konglomerat wanita terkenal. Dia bukan seperti Nancy yang kita kenal waktu kuliah dulu. Siapa yang tidak kenal dengan Nancy Purnama dikota ini. Aku hanya bisa bermimpilah untuk berbesan dengannya."
"Kamu terlalu berlebihan... Edward," timpal Nancy. "Bagiku, siapapun yang menjadi pilihan putriku adalah yang terbaik. Aku belum berfikir untuk urusan perjodohannya. Biarkan Tiffany yang menentukan pilihannya sendiri."
suasana hening sejenak.
"Sudah hampir jam delapan malam Nancy. Kenapa acaranya belum dimulai?" Tanya Valentina.
"Tiffany lagi menunggu temannya," Jawab Nancy sambil melihat ke arah pintu masuk ballroom. "Kalian pernah dengarkan, kejadian yang kami alami lima tahun yang lalu?" tanyanya kemudian.
"Maksudmu, kejadian pembajakan bus wisata yang terjadi lima tahun yang lalu, dan kamu bersama putrimu Tiffany juga menjadi korbannya kan?" jawab Edward.
"Benar sekali yang kamu bilang Edward," sela Nancy. "Dan kakak temannya Tiffany itulah yang menyelamatkan kami semua dari pembajakan." Nancy menceritakan semua kejadian yang dialami olehnya dan Tiffany lima tahun yang lalu dan menyebutkan nama Jaka sebagai pahlawan mereka.
"Dari ceritamu, Nan. Kami sudah bisa tebak deh, siapa yang akan jadi calon menantumu nantinya," kata Valentina.
"Aku ngerti maksudmu, Valen. Pasti si detektif pemberani itu kan? Benarkan Nancy," jawab Edward setelah mendengar nama Jaka.
Nancy terdiam sejenak menatap ke arah tamu yang sedang datang, "Lihat kesana tuh, mereka yang kita ceritakan sudah datang. Aku akan perkenalkan mereka pada kalian."
"Lisa..." Panggil Nancy sambil berjalan menghampiri Lisa yang datang bersama Jaka, fariz dan Ibu Dewi. Ia langsung menatap ke arah Jaka yang berjalan di belakang Lisa. "Sudah lama tidak melihatmu Jaka? pasti kamu lupa sama Tante Nancy.
"Kalau buat Tante Nancy yang cantik dan baik. Tak mungkin, aku bisa lupa," ucap Jaka.
Nancy tersenyum, "oh ya. Teman-teman Tante ingin berkenalan dengan kalian semua."
Nancy bersama Jaka dan keluarganya melangkah mengikuti Nancy dan berkenalan dengan para tamu penting dan sahabat keluarga Nancy..
"Tampan dan gagah sekali ya, Nan... kamu gak salah kalau memilih menantu seperti ini. Akupun jika ada lagi yang seperti inspektur Jaka - akan ku kenalkan dengan putriku dan kujadikan menantu," celetuk Valentina tanpa ragu.
Jaka bingung mendengar perkataan dari teman Nancy, berbeda dengan Lisa yang menahan tawa melihat wajah kakaknya yang kebingungan mendengar kata-kata dari sahabat Tante Nancy.
"Valen... Jaka ini seorang detektif, kakak nya si Lisa sahabat Fany, bukan calon mantuku," Jawab Nancy yang tidak menduga kalau Valentina bicara semaunya tanpa berfikir.
Setelah basa-basi selama beberapa menit, Nancy segera pergi memberitahu kepada panitia supaya memulai acara.
Gaun mewah dan sexy bewarna merah terasa begitu indah di tubuh wanita itu. Semua tamu terpesona menatap ke arah sang bidadari yang menebar pesona bagi setiap mata yang memandangnya. Tiffany Henry berjalan gemulai di atas panggung.
Wajah sang ibu, terlihat begitu bangga akan pesona sang putri tercinta. Setelah acara tiup lilin dan doa, Nancy naik ke atas panggung bersama Gilbert.
Nancy tersenyum hangat di depan mikrofon. “Untuk putriku yang paling berharga, Tiffany... Mama ingin hadiah ulang tahun ini menjadi kenangan tak terlupakan. Kamu sudah dewasa, berani, dan membuat Mama bangga. Jadi, hadiah Mama adalah... liburan selama satu minggu penuh di Raja Ampat!”
Semua tamu bertepuk tangan riuh. Tiffany menutup mulutnya terkejut dan matanya berbinar. Ia segera memeluk ibunya dengan penuh bahagia. "Mama... serius? Raja Ampat? Aduh, mama, terima kasih! ini hadiah terbaik!”
Nancy tersenyum, "ajak saja sahabat-sahabatmu, biar liburannya makin seru. Mama sudah siapkan semua fasilitas.”
Di sisi lain, Lisa tersenyum senang tapi matanya melirik ke arah Jaka yang sedang berbicara dengan beberapa tamu.
Acara di lanjutkan dengan hiburan romantis, sebagian tamu ada yang berdansa dan sebagian lagi ada juga yang coba bernyanyi.
Sementara Tiffany terlihat asik berbicara berdua dengan Jaka. Keduanya tertawa bersama di bawah cahaya lampu hotel yang mulai meredup, sementara jauh di sudut lain, Gilbert memandangi mereka dari kejauhan — wajahnya tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang gelap.
"Oh ya, Fany. Awalnya aku tidak menduga kalau kamu adalah yang dimaksud oleh Lisa. Dia berkali kali menyebut namamu kepadaku melalui telpon menjelang keberangkatanku dari luar kota," ucap Jaka.
"Memangnya, apa yang telah dikatakan Lisa kepada Anda, Inspektur?" Tanya Tiffany.
"Dia sangat memujimu, dia bilang temannya yang paling cantik di kampus ingin berkenalan denganku. Dia juga bilang bahwa temannya yang bernama Tiffany sudah mengenalku sejak lama," jawab Jaka menjelaskan sambil menatap wajah cantik yang ada dihadapannya. Dalam hatinya mengakui pesona wanita yang membalas tatapannya dengan senyum manis--dan mampu membuat jantung Jaka berdebar.
"Tiffany..." Sapanya kembali. "Kamu sangat cantik, siapapun pasti kagum dengan pesonamu yang begitu menawan. Kecantikanmu--bagaikan bidadari nyata yang selalu menjadi khayalan pria manapun. Sama denganku - setiap yang menatapmu--tak bisa berdalih untuk memuja pesonamu."
Kata-kata Jaka membuat Tiffany sangat bahagia. Laki-laki ini adalah pria yang sejak lama mengisi ruang dan waktu yang ada dalam hatinya. Walaupun pertemuannya dengan Jaka terjadi dalam lima tahun yang lalu, ketika dia masih remaja. Namun bayangan wajah sang pangeran selalu terngiang dalam mimpinya. Akankah harapan itu akan jadi kenyataan? Banyak pria tampan yang telah hadir dalam kehidupan Tiffany, tapi semua berlalu. Tidak ada satupun dari mereka yang dapat menghapus lukisan wajah Jaka dalam hati dan pikirannya.
Alunan suara lagu melankolis melantun begitu merdu dari seorang vokalis wanita. Suara indah dari sang biduan mampu menghipnotis para undangan untuk berdansa.
Tiffany menggandeng tangan Jaka mengajaknya berdansa. Semua tamu larut dengan suasana romantis pada malam itu. Kedua pasangan itu berdansa dengan sangat baik. Mata mereka saling bertatapan, seperti bicara dan kagum akan pesona masing-masing.
"Kenapa kamu masih sendiri, Inspektur?" Tanya Tiffany di saat mereka masih berdansa dengan romantis.
"Aku tidak sendirian? aku bersama ibuku, dan kedua adikku datang kesini," jawab Jaka seenaknya.
"Bukan itu maksudku, Detektif... dimana pasanganmu? Kenapa kamu masih sendiri," tanya Tiffany.
"Aku tidak sendiri, aku bersamamu-kan? dan kita sedang berdansa," ujar Jaka lagi.
Tiffany menatap wajah tampan di depannya, dalam hatinya berfikir kenapa pertanyaannya tidak di jawab serius oleh si detektif.
"Aku ingat kata-kata Lisa tentang Anda," Tiffany diam sejenak menatap mata Jaka sambil berdansa lembut, "Anda bukan tipe pria yang serius, benarkan?"
"Kamu memang cantik sekali malam ini, Fany... aku serius," jawab Jaka.
"Bukan itu pertanyaanku... Jaka?" Kata Tiffany sedikit kesal.
"Apa yang ingin kamu tanyakan? akan ku jelaskan," ucap Jaka.
"Dimana pasanganmu, Jaka? kenapa kamu masih sendiri?" tanya Tiffany kembali.
"Maksudmu pasanganku...?" Jaka menatapnya lembut, "dia ada dihadapanku sekarang, dan kami sedang berdansa. Kamu sudah lihat kan?"
"Aku sangat mengenalnya, tapi... menurutku dia tidak cantik," jawab Tiffany pelan.
"Pandanganmu berbeda, Fany." Jaka membelai pipi Tiffany dengan lembut, "semua orang mengakui dia adalah bidadari. Seharusnya kamu bercermin, aku yakin kamu pasti melihat seorang bidadari di depanmu. Tapi ingat ya... jangan kamu cemburu saat melihat pesonanya."
"Kalau menurutmu demikian, kenapa kamu tidak menghampirinya? Mungkin bidadari yang kau maksud sedang menunggumu," tanya Tiffany, suaranya lembut penuh getaran.
"Tanganku tak mampu menggapainya, ia terlalu tinggi, rasanya... sangat tak mungkin aku bisa menggapainya," jawab Jaka.
"Kau seorang detektif hebat, tapi kenapa kamu begitu pesimis? Padahal kamu pasti masih ingatkan? lima tahun yang lalu, kamu sudah menggapainya? Kenapa... sekarang kau katakan kau tak akan mampu menggapainya lagi?" Tiffany menatap Jaka tenang, ada sesuatu tersirat dari matanya.
"Situasi sekarang dan saat itu, sangat jauh berbeda. Kala itu, aku adalah seorang detektif dan kewajibanku yang membuatku menggapai lengannya, terlebih bidadari itu masih berusia 16 tahun, dia sangat cantik, pintar, dan pemberani. Aku ingat semuanya, tak mungkin aku bisa melepaskannya," kata-kata hiasan yang terucap dari Jaka membuat wajah Tiffany merona bahagia.
"Kenapa kau lakukan itu? kau mempertaruhkan nyawamu hanya untuk menyelamatkan seorang gadis yang kau katakan seperti bidadari," tanya Tiffany dengan nada pelan setengah berbisik.
"Aku tak mungkin membiarkannya terjatuh," Jaka memalingkan wajahnya sebentar lalu kembali membalas tatapan Tiffany. "Kalau seandainya tanganku tak mampu menggapainya saat itu, aku tak mungkin dapat melihatnya lagi, dengan melihatnya saat ini, hatiku sangat bahagia, dan perjuanganku dan dia tidak sia-sia."
"Aku sangat mengerti, tapi perjuanganmu dan sang bidadari belum selesai," potong Tiffany dengan tatapan syahdu.
"Tidak akan selesai, Tiffany. Kalau yang kamu maksud perjuangan. Sampai kita masih bernafas. Perjuangan itu tak akan pernah selesai," jawab Jaka.
"Kau benar... tapi aku berharap perjuanganmu tak akan pernah berhenti. Bidadari itu sedang menunggumu, ia berharap tanganmu akan menggapainya dan tak akan pernah melepaskannya lagi," kata-kata Tiffany begitu mendalam.
"Hallo... yang sedang berdua? romantis banget?" Teguran Lisa menyadarkan mereka. "Maaf Fany... Aku diminta ibuku untuk panggil bang Jaka."
Jaka dan Tiffany menghentikan dansanya, lalu bersama Lisa berjalan ke tempat ibu Dewi dan Nancy yang sedang berbicara.
Tiffany menarik lengan Lisa ke sisi ruangan yang lain. “Lisa, aku ingin Jaka ikut ke Raja Ampat. Bayangin deh, sunset, laut biru, dan... dia di sana.”
Llsa tertawa kecil, “kamu ini romantis banget, tapi aku nggak bisa janji, kakakku itu orangnya susah diajak liburan. Kerjaannya saja nggak pernah lepas dari kepala.”
Tiffany menatap dengan tatapan memohon, “tolong deh, Lis. Coba bujuk dia. Sekali ini saja. Aku pengen dia ada di sana, bukan cuma karena aku suka... tapi aku merasa, entah kenapa, akan ada sesuatu yang penting terjadi di sana.”
Lisa terdiam sejenak, menatap sahabatnya yang tampak begitu tulus. “Oke, aku akan coba.. Tapi jangan salahkan aku kalau bang Jaka malah ngajak ngomong tentang strategi penyergapan di pantai.”
*****