Bab 1

913 Words
Satu tahun kemudian. [Minggu, 17 September, Kota J.]   Terdengar mouse yang ditekan pelan oleh seorang gadis bernetra biru cerah dengan kacamata bertengger manis di hidung mancungnya. Dia tampak fokus menatap laptop di hadapannya. Monitor menunjukkan beberapa artikel yang hanya dibaca sekilas olehnya. ... Jumlah luka biasanya lebih dari satu, tidak ada lokasi atau tempat khusus, seringkali didapati luka-luka sewaktu korban melakukan perlawanan.... ... 200-300 cc menyumbat saluran pernafasan.... ... Jantung, Paru, Limpa, Hati, Ginjal dan Aorta.... ... Pada pemeriksaan luka yang teliti sering didapatkan satu atau lebih, luka yang lebih dangkal dan sejajar di sekitar luka utama, luka tersebut adalah luka percobaan.... ... Selain d**a dalam hal ini daerah jantung, pada daerah perut yang biasanya daerah lambung merupakan daerah-daerah yang sering dipilih korban untuk kasus-kasus bunuh diri..... ... Pada penelitian di Dallas, Amerika Serikat, 630 kematian akibat trauma benda tajam, 90 persen adalah kasus pembunuhan, 7,5 persen% karena bunuh diri dan 3,5% karena kecelakaan.... ... Kasus Akseyna yang tewas tenggelam dengan tas berisi batu.... Jemarinya kini menari di atas keyboard mengetikkan beberapa kata. Cara-cara bunuh dir "Hei. Baca apa? Serius sekali?" Gadis berkacamata itu berhenti mengetik, langsung mendongak menatap pemuda jangkung yang menepuk pelan bahunya. Dia menyingkirkan tas ransel di kiri ke kursi yang kosong di kanan. Meja telah penuh dengan buku tebal dan piring-piring yang isinya telah habis dia makan. Pria itu kini duduk di sebelah si gadis dan ikut memandang laptop sekilas. Dia kemudian meletakkan ransel ke kursi di hadapannya dan menyingkirkan piring di meja, lalu mengambil minuman gadis itu, menenggak isinya hingga tak bersisa. Pemuda berkulit kuning langsat dengan parfum citrusnya yang khas tersebut melirik lagi laptop gadis di sebelahnya dan sekilas melihat buku yang berserakan. Dari sekian banyak, pemuda itu membaca satu buku bercetak besar tidak jauh dari tangannya, 'forensik dan kedokteran'. "Gila. Kau sungguh membaca ini? Ingin menjadi ahli forensik?" Dia sekali lagi melirik gadis berkacamata yang terlampau fokus pada laptop hingga mengabaikan pertanyaannya. Karena penasaran, dia pun ikut menyaksikan monitor dan mengeja artikel yang tertera di sana. ... 6. Menyayat Nadi. Ada dua tempat di tangan yang membuat dapat cepat mati, yakni di pergelangan tangan dan siku kulit yang cerah. Saya tidak menyarankan menyayat leher karena tempat nadi pada leher cukup dalam. Anda akan kehabisan tenaga dan keberanian akan turun.... Pria itu menutup laptop si gadis secara spontan setelah membaca artikel. Refleks gadis itu mengumpat sebal dan memukul lengan si pria. "Apaan sih, Al? Aku lagi serius." Si gadis membuka kembali laptop-nya dan menekan space pada keyboard. "Aku tidak suka kau membaca itu. Tidak baik efeknya." Al kini menarik wajah si gadis dengan kedua tangan, menatap manik yang biru cerah kemudian memaksanya melihat sekitar dengan menggerakkan wajah itu ke kanan dan kiri. Sepi. Tidak ada siapa pun di kafe. Hanya mereka dan kakak cantik yang selalu tersenyum ramah meski tidak ada yang menyapanya–kakak waitress. "Lihat, kan?" Gadis itu menghempas paksa tangan Al dari wajahnya, mengabaikan pertanyaan Al dan membuat wajah sebal sambil menipiskan bibir. Al mencolek pelan pipi gadis itu dan memasang senyum lebar sampai menunjukkan deretan gigi putihnya, tidak lupa matanya berkedip berulang kali, telunjuk kanan dia letakkan di pipi kiri dan telunjuk kiri dia letakkan di pipi kanannya. Gadis itu tertawa, tidak dapat menahan senyum lebih lama lagi. "Albert Sperry, berhentilah menggangguku." Gadis itu memukul pelan lengan Albert yang direspon lebay oleh si pemilik. "Auh. Kurasa lenganku akan patah. Aku akan mengadukanmu pada tuan Calista." "Berhentilah bertindak bodoh, Al. Aku sedang serius membaca saat ini." "Come on. Ini sudah malam. Ayo aku antar kau pulang. Aku sudah rela jauh-jauh dari kosan ke kafe ini demi dirimu." Albert diabaikan. Gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya. "Alcina Calista. Aku sedang bicara!" Tiba-tiba ponsel Alcina berdering, membuat aksi marah Albert berhenti. Wajah Alcina berubah menjadi syok, namun intonasi suaranya tetap tenang saat mengatakan “Saya mengerti.” Albert hanya menatap dengan bingung. "... Saya akan segera ke sana. Tolong jangan biarkan media meliput, dan kalau bisa tutupi kasus ini dari warga sekitar ... berarti tidak ada rumah lain selain miliknya, ya ... hanya Haris yang saya percaya di kepolisian itu, jadi jangan libatkan polisi yang lain ... terima kasih." Setelah mengakhiri panggilan, dengan cekatan jemari Alcina mengetik nomor telepon dan kembali melakukan panggilan. "Sambungkan pada Papa. Aku putrinya, Alcina Calista....” Setelah menunggu beberapa detik, panggilannya tersambung ke bariton serak yang adalah ayahnya. “Berita buruk ... jadi Papa juga sudah dengar ... baik. Cina (baca: Sina) mengerti. Sina yang urus ... tidak ada yang tahu ... baik." Setelah menutup panggilan, Alcina kembali sibuk dengan ponselnya, dan menghubungi nomor lain. "Dillon, jemput aku di kafe biasa,” ujarnya pada seseorang di seberang telepon. “Aku harus ke kota B sekarang." Albert menghentikan kesibukan Alcina yang merapikan laptop dan buku-bukunya. "Ada apa?" tanyanya. "Lepas, Al. Aku sedang terburu-buru. Aku akan menceritakan lain kali." Alcina yang telah selesai merapikan barangnya segera berlari begitu melihat mobil sport merah berhenti tapat di depan kafe. Dia langsung masuk, meletakkan ransel dan buku-bukunya di jok belakang. "Bagaimana detailnya?" Dillon, pria badan kekar dengan kaus merah bata itu bertanya sambil menginjak pedal gas dalam-dalam. Jiwa balapan belum hilang meski si pemilik tidak lagi berprofesi sebagai pembalap. Alcina memasang sabuk prngaman. "Entahlah. Kapan kau diberi tahu ?" "Setelah kau memintaku menjemput." "Ahh, aku selalu yang pertama." Alcina sibuk dengan ponsel pintarnya selagi bicara dengan Dillon. "Jadi, apa saja yang dikatakan Okta?" "Tidak banyak. Mereka menemukannya tewas di kamar dengan luka sayatan di leher. Katanya bunuh diri, tapi aku tidak percaya sebelum memeriksanya sendiri." Dillon yang melihat wajah marah Alcina dengan rahang yang mengatup keras, hanya bisa menghela napas berat. Dia tidak ingin berurusan dengan Alcina, karena mantan pembalap t***l sepertinya tidak akan mampu mengikuti cara berpikir gadis itu. Jadi sebagai mantan pembalap, dia hanya mampu menekan pedal gas lebih dalam lagi menembus kegelapan malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD