Bab 5

2026 Words
[Jum'at, 20 Oktober, Pukul 21.00, Kafe di Super Mall Kota B]   "Arghhh! Aku bisa gila. Kenapa aku tidak bisa menemukan petunjuk apa pun?" Alcina melempar kertas-kertas berisi catatan yang telah dia kumpulkan selama lebih dari dua minggi ini. "Tenanglah. Kau membuat pengunjung lain ketakutan.” Haris yang duduk di seberang meja hanya bisa mendesah dengan frustrasi. Haris tidak bisa menemukan banyak informasi tentang Derry Jeff. Hanya informasi umum seperti alamat rumah, telepon, riwayat pendidikan dan sebuah foto saat Derry dan Alina bersama. Sepertinya foto itu diambil pada perayaan ulang tahun seseorang, karena Alcina bisa melihat kue ulang tahun yang besar di belakang foto Alina dan Derry yang tersenyum menghadap kamera. Sayangnya foto itu tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti bahwa mereka pasangan kekasih. Dari akun sosial media Derry pun tidak banyak ditemukan foto kedekatan keduanya. Apalagi Alina sebenarnya tidak memiliki akun sosial media apa pun. Mungkin kakaknya itu menganggap bermain media sosial hanya membuang-buang waktu. Alcina tahu kalau kakaknya lebih suka berkutat dengan buku, dan perpustakaan adalah kekasihnya. Benar-benar sangat kaku. Baik dari panti asuhan Kasih Bunda, maupun rumah sakit, tidak ada yang berhasil dijadikan petunjuk, padahal Haris sudah melakukan kerja ekstra demi mengorek informasi. Dia bahkan berusaha menggoda suster di sana demi mendapatkan informasi yang dibutuhkan, tapi kesimpulannya hanya: Kami tidak kenal Alina. Astaga, bagaimana bisa mereka tidak kenal Alina jika ada begitu banyak foto-foto Alina bersama anak-anak panti di kamarnya? Maka langkah selanjutnya Haris adalah menunjukkan foto Alina kepada mereka, tapi, ide gila ini ditentang keras oleh Alcina. Gadis bar-bar tersebut dengan suara keras mengatakan, “Kenapa tidak kau pajang saja sekalian fotonya di majalah? Ungkap saja sekalian ke media kalau kakak sudah meninggal!” Sejak itu, Haris bahkan takut memberi tahu Alcina kalau dia telah menanyai orang-orang panti mengenai Alina. Tindakan yang sudah mirip polisi menanyai saksi itu bisa dikecam Alcina. Alcina telah mengetahui semua nama teman sekelas Alina dan beberapa nama mahasiswa dari jurusan lain, dan tentu saja informasi tersebut dia dapat dari senat mahasiswa. Dia bahkan berhasil mendapat nomor ketua senat itu setelah melakukan kerja ekstrimnya. Tetap saja tidak ada pencerahan siapa pembunuhnya. Ahh tidak, itu terlalu jauh. Dia bahkan tidak tahu siapa pacar Alina. Dugaan sementara hanya Derry. Sejak Derry tahu Alcina bukanlah Alina, pemuda itu malah jarang tampak di kampus. Meskipun Haris selalu mengikutinya, Derry selalu berhasil lolos dari pengawasan. Haris yang tidak ingin mengambil resiko dengan terlalu jauh dari Alcina pun selalu berakhir dengan menghela napas saat jejak Derry menghilang. Dia yakin nyawa Alcina sebenarnya dalam bahaya sejak gadis itu mengambil posisi sebagai Alina, tapi menghentikan Alcina yang keras kepala jauh lebih merepotkan dibanding menyelidiki kasus yang tidak ada titik terang ini. Andai Haris punya dua orang saja bersamanya, dia bisa lebih beguna bagi Alcina. Teman sekelas Alina ternyata jauh lebih menyebalkan. Mereka tidak ada yang memedulikannya. Kabar terkahir yang didapat Alcina, bahwa Alina jarang masuk. Maka tidak heran jika kakaknya tidak memiliki teman dekat. Lalu bagaimana dia bisa dekat dengan Derry bahkan sampai menceritakan bahwa dia punya saudari kembar? "Aku lelah dengan semua ini, Haris. Kita tanya sajalah pada warga dan teman sekelas Alina. Mungkin mereka tahu siapa yang bersama Alina hari itu. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan perkataan si tukang sayur itu, kan?" Alcina bersandar ke sofa di belakangnya dan menatap langit-langit kafe yang dipasangi lampu pijar berbagai warna. Ada beberapa hiasan juga di sekitar lampu. "Tidak bisa. Itu sama saja kita menarik kecurigaan mereka. Bagaimana mungkin kau bisa menjelaskan bahwa kau lupa siapa yang bersamamu hari itu. Katakan saja sekalian bahwa kau amnesia." Haris menyeruput es cappucino sebelum melanjutkan perbincangan. "Apa gunanya kita merahasiakannya selama hampir sebulan ini kalau berujung menanyai semua orang? Aku tidak ingin mengambil resiko dipecat jika Alina sampai diketahui publik. Kau tahu, kan bagaimana mengerikannya kuasa Jendral?" "Haaaaahhh... berhentilah mengeluh. Aku yang paling mengenal papa. Sebentar lagi kau pun akan ditariknya, dan selamat, Alcina, kau akhirnya akan kembali ke rumah dan melupakan bahwa Alina pernah ada." Haris dan Alcina mendesah bersamaan. "Hei, bukankah kau dari kepolisian?” tanya Alcina, dia sudah menegakkan badan kembali. “Seharusnya kau punya strategi untuk memecahkan kasus ini." Alcina sedikit bungkuk ke depan dengan kedua kaki terbuka selebar bahu, kedua tangan yang bertautan dia letakkan di atas meja, dan mata berbinarnya menatap lekat Haris. Sementara yang ditatap hanya membuang napas sebelum membuka mulut. "Baiklah, coba dengar baik-baik kronologi ini. Aku selalu ditempatkan di bagian lalu lintas, dan tidak pernah menangani kasus kriminal." Dia mendekatkan wajah ke hadapan Alcina dan lebih memelankan suara dari sebelumnya. "Kemudian aku dihadapkan pada pembunuhan yang mana kematiannya harus dirahasiakan. Sidik jari dan segala macamnya itu tidak ada, tidak boleh menanyai warga yang kemungkinan ada yang bisa dijadikan saksi, dan aku tidak memiliki kebebasan untuk bergerak kemana pun karena di saat bersamaan aku harus menjagamu. Jika kau menjadi aku, apa yang akan kau lakukan, Nona Alcina? Apa menurutmu aku memiliki cara untuk membantumu dengan otak bodohku ini?" "Hahaha...” Alcina tertawa kuat sampai memegang perutnya. Menurutnya ekspresi Haris dan nada mengeluh pria itu sangat lucu. “Baiklah, Haris, aku minta maaf. Aku hanya kesal karena ini benar-benar sulit, tapi aku tidak ingin menyerah... Ahh, sial. Apa kau punya tisu?" Alcina kembali mengeluarkan darah dari hidungnya. Mimisan itu sudah entah yang ke berapa kalinya dalam sehari. Dia akan selalu mimisan setiap kali berpikir terlalu keras. Dia tidak hanya keras kepala dan bertindak keras kepada orang lain, kepada dirinya sendiri pun dia masih keras. Haris pindah duduk ke samping Alcina dan membawa kepala gadis itu ke bahunya. Alcina sedikit tersentak dengan yang dilakukan Haris barusan. "Kau bisa menganggapku Okta untuk sementara ini. Tenanglah dan pejamkan matamu sebentar. Kau terlalu banyak berpikir." Haris mengusap kepala Alcina seperti seorang kakak terhadap adiknya. Alcina menurut. Walau sedikit heran dengan sifat lembut Haris yang tiba-tiba itu. Demi mencegah kecanggungan, gadis itu berkata, “Okta jauh lebih tampan darimu. Perutnya kotak-kotak, bukan tumpukan lemak sepertimu. Oh, dia juga wangi citrus, bukan bau keringat sepertimu. Suara Okta sangat lembut ketika memanggil namaku, dan tangannya lebih hangat daripadda milikmu.” Seketika Haris mendorong kepala Alcina dari bahunya. “Pergilah! Sana, temui Oktamu yang tampan dan wangi itu.” “Oh, Okta juga sangat baik dan selalu menurut denganku.” “Ya, ya, Nyonya Okta. Terserah kau sajalah.” Alcina tertawa melihat kekesalan Haris. Sayangnya, waktu santai itu hanya bertahan sebentar, karena detik berikutnya, Alcina mendapat pesan dari nomor yang tidak dikenal. Apa kau merindukanku, Sayang? Awalnya Alcina tersenyum dan senang karena mengira itu dari Okta yang menggunakan nomor baru lagi, sampai dia melihat ke mana pesan itu ditujukan. SIM 1, ke kartu SIM milik alina. Alcina tentu saja senang setengah mati. Dia langsung menarik Haris mendekat. "Petunjuk!" teriak Alcina, dengan nada yang snagat jelas senangnya. Gadis itu masih menatap layar ponselnya sambil berpikir, kira-kira kata apa yang cocok untuk membalasnya? Atau perlukah dia langsung menelepon? Jika dia Alina yang lembut dan ramah, apa yang akan dilakukannya sebagai seorang pacar? Menanyakan kabar sang pacar selama dua minggu ini? Atau mengatakan merindukannya juga? Selama 5 menit pertama setelah pesan itu muncul, Alcina dan Haris hanya menatap diam layar ponsel itu. Haris sebenarnya sudah menyuruh gadis itu untuk segera menjawab saja dengan santai, tapi malah disuruh diam sama si keras kepala Alcina. Kataya dia mau berpikir dulu. Kelamaan berpikir juga tidak baik, pikir Haris, tapi tidak dia utarakan pendapatnya itu karena Alcina telah menyuruhnya untuk diam. Tak lama pesan baru datang dari nomor yang sama. Kau masih marah? Alcina semakin bingung. Apa yang harus dia katakan? Jika menjawab ‘ya’, apakah bisa membuktikan dia Alina atau justru menjadi bumerang untuknya? Dia tidak tahu apakah pacar Alina ini berstatus saksi atau justru tersangkanya. Jika berstatus saksi, maka tentu ini bukan jebakan. Lain halnya jika dia sang pembunuh, sudah pasti ini umpan untuk mengetahui apakah Alina masih hidup atau sudah mati. Mungkin pembunuh itu bingung karena tidak ada berita kematian Alina di media mana pun, makanya dia coba menanyai Alina secara langsung melalui telepon genggamnya. Alcina menggeleng pelan pada asumsi terakhirnya. Apa pembunuh itu akan berpikir menghubungi lagi korbannya setelah membunuhnya, hanya karena ingin tahu kenapa tidak ada berita kematian si korban di media? Alasan itu terlalu dangkal, tapi tidak menghilangkan asumsi kalau mungkin saja orang ini adalah pembunuhnya. Akibat terlalu banyak memikirkan ini dan itu, Alcina justru semakin penasaran. Jadi, dia memutuskan langsung melakukan panggilan. Tentu saja Haris terkejut setengah mati, tapi sangat terlambat untuk menghentikan Alcina. Pada dering kelima, panggilan diangkat. "Halo?" sapa Alcina. "..." Alcina mulai khawatir karena tidak ada jawaban dari seberang. Dia bahkan menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, mencengkeram kuat tali tas, dan kakinya tidak mau berhenti bergoyang di bawah sana. Haris menahan napas, menunggu dalam ketegangan tinggi. Bahkan bulir keringat membasahi keningnya meski suhu di kafe itu terbilang cukup dingin. "Kau bersama seseorang?" tanya pria di seberang telepon. Suaranya rendah dengan sedikit serak, khas pria. Alcina sedikit terkejut, lantas mengedarkan pandangan ke sekitar. Apakah dia sedang dimata-matai? Agar pihak lain tidak curiga, dia berujar, "Hmm, begitulah." "Kalau begitu, besok di tempat biasa jam 11. Aku menunggumu." Tepat setelah mengatakan itu, sambungan telepon terputus. “Hah? Tempat biasa apanya? Di mana tempat biasanya?” Alcina berdiri ketika meneriaki ponsel yang sambungan teleponnya sudah terputus itu. "Argh! Ini bukan petunjuk. Ini bencana. Bagaimana bisa aku tahu di mana Alina biasa menghabiskan waktu bersama pacarnya? Bahkan aku tidak tahu dia ini si pembunuh atau si pacar, atau justru keduanya." Alcina yang emosi tanpa sadar membanting gelas berisi minuman, seketika membuat perhatian pengunjung di kafe terarah kepadanya. Haris tanggap situasi dengan segera membekap mulut gadis barbar tersebut dan mengatakan maaf kepada pengunjung lain yang menatap risih keduanya. "Aku rasa kau perlu melakukan terapi, Sina. Emosimu yang kadang terlalu meledak itu bisa menghancurkan dirimu." Alcina melemas di kursinya. Dia meletakkan kepala di atas meja dan kedua tangannya terjulur lunglai di sisi badan. Besok. Sungguh waktu yang sangat singkat. Bagaimana dia bisa mengetahui lokasi itu jika dia saja baru kali ini menginjak kota B? Lalu sebuah ide melintasi benaknya. "Haris, tidak adakah temanmu yang bisa melacak nomor telepon ini?" "Kurasa ada. Sebentar, akan aku hubungi dia." Haris meraih ponselnya dan sedikit berbasa-basi dengan seseorang di seberang telepon sebelum akhirnya dia meminta bantuan. Tidak lama kemudian, Haris mengangguk kepada Alcina di sebelahnya yang sedari tadi menatap tanpa berkedip. "Yah. Terima kasih," ujar Haris untuk teman di seberang telepon. Setelah mengakhiri panggilan, Haris meminta nomor yang tadi dihubungi Alcina. "Apa dia bisa melacaknya secepat itu? Kurang dari 24 jam?" Haris memutar bola matanya dengan jengah. "Tenang saja. Dia sangat profesional. Bahkan jika kau melakukan panggilan, dia akan dengan mudah menemukan orang itu dalam beberapa menit. Tentu saja kita tidak bisa menggunakan cara ekstrim itu kan?" "Kau benar, kita tidak bisa membuat pacar kakak curiga dengan meneleponnya lagi. Aku juga tidak ingin melibatkan temanmu dalam penyelidikan ini. Semakin sedikit yang tahu maka semakin baik." "Baiklah. Sekarang cobalah berakting seperti Alina yang menemui kekasihnya agar besok semuanya lancar." Alcina menyandarkan badan ke sofa dan mulai berpikir sambil memejamkan mata. "Sina, sejujurnya aku sangat khawatir." Haris berkata dengan hati-hati takut membangkitkan singa dalam tubuh Alcina. "Apa yang kau khawatirkan?" Alcina menjawab tanpa menoleh, seolah ucapan Haris hanyalah angin lalu. "Bagaimana jika ini jebakan? Kita tidak tahu apakah dia sungguh pacar Alina atau bukan." Haris melirik Alcina untuk mendapat reaksi gadis itu, tetapi harus kecewa karena yang ditatap bersikap tidak peduli. "Kau benar. Tapi apa pun itu, ini adalah petunjuk. Resiko apa pun akan aku ambil. Jangan lupakan perkataan Okta, tidak ada pekerjaan yang tidak beresiko." "Aku tahu. Tapi haruskah kita bertindak sejauh ini, Sina? Kita tidak punya bantuan." Haris sudah sepenuhnya menatap Alcina. "Jika kau takut, berhentilah sekarang. Aku bisa melakukannya sendiri. Beritahu saja di mana lokasinya." Alcina menatap manik cokelat Haris dengan tatapan tajam. Tidak ada keraguan dalam setiap kalimatnya. Dia terlalu menganggap remeh dunia yang dianggap kejam oleh Haris. "Bukan begitu maksudku, Sina." "Tenang saja. Aku yakin dia bukan pembunuhnya." "Bagaimana kau bisa mengatakan itu?" "Jika aku si pembunuh, yang telah berhasil menghilangkan jejak dengan suksesnya, maka aku tidak akan begitu bodoh menghubungi nomor si korban. Itu sama saja bunuh diri. Lebih baik aku kabur sejauh mungkin." "Kau mungkin benar." Alcina tersenyum mantap, meskipun dia curiga ada beberapa alasan seorang pembunuh menghubungi kembali korbannya. Yang pertama, seperti alasannya sebelumnya, bahwa si pembunuh merasa penasaran karena tidak ada berita kematian si korban di media mana pun. Yang kedua, si pembunuh seolah tahu kalau ponsel si korban akan diambil oleh orang lain dan dia sengaja menjebak orang ini. Mungkin orang lain yang dipikirkan si pembunuh ini memiliki urusan penting dengannya dan si pembunuh yang harusnya melarikan diri, terpaksa menghubungi kembali korbannya. Ya, apa pun alasan itu, Alcina yakin dia harus menemui orang ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD