Aku bukan pelakor!

966 Words
Harry masih memelukku. Aku mendorongnya pelan dan menengadahkan wajahku padanya  "Kenapa?" tanyanya. "Aku harus pergi. Mama menyuruhku membeli makanan. Apa yang dipikirkan Mama jika aku pergi terlalu lama?" Ucapku sambil tertawa kecil.  "Bilang pada Mamamu, kau kuculik," jawab Harry. "Suamiku juga ada," jawabku mengerjainya. "Ck, jangan bicarakan tentang dia saat kau bersamaku. Aku membencinya!" "Tapi itu kenyataannya, Dok!" Harry mengelus pipiku dengan kedua telapak tangannya.  "Aku mencintaimu, Cha. Sungguh! Andai bisa, aku ingin membawamu pergi sekarang juga. " "Tapi itu tidak mungkin, Dok. Kita punya kehidupan masing-masing. Aku punya suami, begitu pula dengan Dokter, ada istri yang menunggu di rumah." "Kupastikan kau akan jadi milikku, Cha. Aku yakin itu," bisiknya di telingaku. Menimbulkan gelenyar aneh yang meracuni pikiranku. Membangkitkan hasrat hingga menjelma rasa haus akan cintanya.  Aku harus segera pergi sebelum kami terjebak khilaf lagi. "Aku pergi," ucapku lalu meninggalkannya sendiri di tempat gelap itu. Pikiranku kacau. Ah, tidak. Bahkan sangat kacau. Sungguh, jika boleh jujur, aku juga sangat mencintai Harry. Bahkan mungkin jauh sebelum pria itu menyukaiku. Aku yang memang memiliki sifat pendiam tak pernah tahu jika Harry memiliki perasaan yang sama denganku.  Langkahku berhenti di depan warung nasi. Aku membeli beberapa porsi untuk Mama dan suamiku. Setelah cukup, aku kembali ke rumah sakit.  Brukk!!  Seseorang menabrakku dari depan.  "Ah, maaf!" ucap wanita yang baru saja menabrakku. Cantik. Itu kesan pertama yang kudapat saat pertama kali melihatnya.  "Ya, tidak apa-apa," jawabku lalu membantu wanita itu mengambilkan bawaannya yang berserakan di lantai. Ada dua porsi nasi kotak yang ia bawa. Mungkin dari restoran cepat saji. "Maaf, jadi merepotkan," ucapnya lagi. "Tak apa, kalau boleh tahu, Anda mau ke mana?" "Saya mau mengantar makanan untuk suami saya," ucapnya sedikit sendu. "O ya? Suamimu dirawat?" "Bukan, suami saya seorang dokter. Dia sangat sibuk hingga jarang pulang ke rumah. Jadi saya mau mengantarkan makanan untuknya." "Oh, begitu. Kalau boleh tahu siapa namanya? Barangkali saja saya bisa membantu?" "Ah, namanya dr. Harry. Akhir-akhir ini dia banyak berubah. Selain jarang pulang, dia juga tak pernah mau lagi memakan masakanku. Aku pikir mungkin dia mau makan dari restoran." Aku tersentak. Harry?! Tuhan, jangan bilang jika Harry berubah karenaku! Seketika hatiku terasa sesak. Aku benar-benar merasa jadi orang yang paling jahat di dunia. Apa aku penyebab retaknya hubungan suami istri? Aku menelan ludah dengan susah payah. "Oh begitu rupanya. Jadi kamu mau mengantar ini agar dia baik lagi padamu?" tanyaku hati-hati. Mati-matian aku menahan suaraku agar tidak bergetar. "Iya, aduh, maaf ya, saya malah jadi curhat. Habisnya saya bingung harus bagaimana lagi. Saya sangat mencintainya," ucapnya lagi sambil menahan tangis. Tuhan, apa aku sangat jahat hingga membuat Harry bersikap dingin pada istrinya sendiri? "Cha!" Seseorang memanggil namaku. Aku dan wanita itu menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya aku saat melihat Harry menghampiri kami. "Dokter?" ucapku sambil melirik wanita di sampingku. Sesaat wajah Harry nampak terkejut melihat seseorang yang berdiri bersamaku. Tapi itu tak lama. Harry langsung berwajah ramah lagi. "Nine? Untuk apa kamu ke sini?" tanya Harry dengan nada datar. Ku mohon Harry, jangan bersikap begitu! Aku makin merasa bersalah! "Harry, aku bawakan makan siang untuk kita. Mau ya?" tanya Nine dengan wajah memohon. Kulihat Harry menghembuskan nafasnya pelan. Kupikir sudah waktunya aku pergi. Ini pembicaraan suami istri yang tak patut aku dengar. "Ah, saya pamit dulu, permisi!" pamitku, namun Harry menahan lenganku. Sontak mataku membulat kaget. "Tunggu, Cha!" ucapnya, perlahan aku melepaskan cekalan tangannya. Nine nampak terkejut, "kalian saling mengenal?" tanya Nine sambil menatapku. "Ah, kebetulan, ayah saya ditangani oleh suamimu, jadi sudah pasti kami saling mengenal." Jawabku sambil berusaha senormal mungkin.  "Begitu rupanya. Hampir saja aku berpikir yang bukan-bukan," jawab Nine sambil tersenyum.  Ekor mataku melirik Harry. Rahang pria itu mengeras.  "Oh ya, ada apa, Dok? Ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan?" tanyaku berusaha bersikap sewajar mungkin. Harry menggaruk hidungnya, lalu menatapku, "Besok, ayahmu sudah boleh pulang," jawab Harry kemudian. "Benarkah? Wah selamat ya? Oh ya, kita belum saling mengenal. Boleh saya tahu siapa nama kamu?" tanya Nine sambil mengulurkan tangannya.  Aku menyambut tangan Nine dan mengangguk sopan, "ah, iya. Saya Icha, senang bisa mengenal istri dr. Harry yang sangat cantik ini." "Saya Nine, kamu juga cantik. Bahkan kurasa kamu memiliki pesona tersendiri. Siapa pun yang mengenalmu, tak akan sulit untuk jatuh cinta padamu, ya kan, Harry?" Nine melirik Harry. Pria itu hanya mengangguk kaku. "Kalau begitu, saya pergi dulu, keluarga saya harus tahu kabar gembira ini," jawabku sambil pergi meninggalkan mereka berdua. Tuhan, rasanya begitu menyesakkan. Meski aku tahu jika perasaanku dengan Harry sudah tak mungkin lagi, tapi melihat dia bersama istrinya, hatiku sedikit tercubit. Apa ini juga yang dirasakan Harry saat melihatku bersama Rey? Aku membuka kamar rawat ayah. Nampak Rey duduk sambil terkantuk-kantuk di kursi. Sementara ayahku sedang tertidur. Aku meletakkan nasi ke atas meja dengan hati-hati. Takut membangunkan mereka berdua. Kutatap Rey yang tidur tertunduk di kursi. Hatiku tersayat mengingat semua yang telah kulakukan padanya. Beberapa saat lalu aku malah mengkhianatinya. Maaf Rey, tak seharusnya aku merasa cemburu pada Harry dan istrinya. Sementara aku memiliki pria yang begitu menyayangiku. "Udah pulang, Cha? Lama banget sih? Rey sampai ketiduran menunggumu!" Mama keluar dari kamar mandi. "Iya, maaf, Ma. Tadi Icha ketemu sama dr Harry dan istrinya," ucapku. "O ya? Masa sih? Kalau yang Mama denger, hubungan keduanya sedang tak baik. Entah karena apa itu, udah lama istrinya tinggal di Bandung dan dr Harry di Tasik, makanya Mama kaget pas kamu bilang ketemu sama istrinya," terang Mama. Tangannya sibuk membuka bungkusan nasi yang kubeli. Mendengar penjelasan Mama, hatiku sedikit tercubit. Benarkah keadaannya seperti itu? Oke, sekarang aku merasa jadi orang paling jahat sedunia yang merusak hubungan suami istri.  "Oh begitu, aku gak tahu, Ma," jawabku pelan. Mati-matian berusaha menahan agar suaraku tidak bergetar. "Ya, begitulah. Kalau gosip yang tersebar sih, karena ada pihak ketiga. Dr Harry masih menyukai gadis di masa lalunya. Kasihan ya istrinya? Padahal katanya cantik lho, Cha?" Aku menelan ludah dengan susah payah. Hatiku berteriak, udah dong, Ma! Jangan ngomongin mereka lagi! Tapi aku takut Mama malah curiga. "Iya sih, cantik," Aku menjawab dengan berusaha senormal mungkin. Tuhan, tolong aku! "Hm, kurang apalagi ya padahal? Kamu juga harus hati-hati, Cha! Jaman sekarang banyak pelakor bergentayangan!" Lagi-lagi ucapan Mama sangat menohok. Sungguh, aku bukan seorang pelakor!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD