Yayasan sosial

1301 Words
Katarina berusaha agar wajahnya nampak sedih dan kecewa. Sudah lebih dari dua puluh menit lalu Ny Rose mencoba mengajaknya bicara, tapi Katarina tetap bertahan dengan harga dirinya. Ia tidak mau dianggap remeh dengan bujukan sederhana. Paling tidak, Ny Rose harus berada dipihaknya kalau Pram macam-macam. "Kali ini Tante janji akan menyelesaikan masalah gosip itu. Pram tidak mungkin melakukan hal rendah seperti yangdituduhkan orang-orang. Tante tahu benar bagaimana sifat Pram. Dia pria yang tidak mudah memberikan hatinya. Kalau kalian menikah, dia akan menjadi suami yang setia dan sayang keluarganya,"kata Ny Rose semanis mungkin.Mana bisa dia kehilangan kesempatan untuk menjadi nomor satu di perusahaan? Katarina adalah pilihan terbaik dari yang sudah-sudah. Katarina akhirnya menganggguk, menyesap minumannya sambil memikirkan cara paling efektif agar Pram cepat-cepat bertekuk lutut di hadapannya. Di lihat dari manapun, Pram tipe orang yang tidak begitu saja tertarik pada fisik seseorang.Ya seperti kata Ny Rose, anaknya susah jatuh hati. Menurut Katarina itu menjadi daya tarik tersendiri. Baru kali ini kecantikan juga pesonanya diabaikan begitu saja. Kalau sampai menyerah, itu hanya akan melukai harga dirinya. "Karena aku menghargai Tante, kali ini tentu saja aku akan mengerti. Tapi bagaimana kalau menyelidikinya? Aku khawatir kalau Pram hanya dimanfaatkan gadis murahan," kata Katarina memasang wajah sedih. Padahal dalam hatinya, ia tengah memaki, ingin menghajar gadis itu habis-habisan. Katakanlah itu gosip, tapi bukankah asap tidak akan ada kalau tidak ada api yang memulainya? Jujur, terakhir saat ia memergoki Pram di depan butik itu, kecurigaannya sudah muncul. Ny. Rose menggenggam tangan Katarina, tanda setuju. Selama ada yang berani menganggu jalannya, ia akan menyingkirkannya dengan berbagai cara. ---- Di tempat lain, Amara yang sudah selesai mengganti baju di toilet SPBU buru-buru masuk mobil lagi. Pram sudah menunggunya dengan dua kaleng jus dan makanan kecil. Sekilas entah kenapa, Amara merasa dunianya berubah. Saat melihat sosok laki-laki dewasa tengah menunggunya, seakan ada yang menjaga dan siap bertanggung jawab atas hidupnya. Meski terdengar berlebihan, Amara ingin waktu berhenti saja sekarang. Ia kini benar-benar takut dengan masa depan. "Jangan menatap pria dengan pandangan seperti itu." Pram akhirnya terusik, berusaha menyadarkan khayalan Amara yang tidak juga tralih dari wajahnya. Bohong kalau Pram tidak terpengaruh. Gadis belia dengan tubuh cukup proposional seperti Amara pasti mudah mendapat uang jika mau memuaskan pria dewasa. Pram tahu yang dicari pria seperti itu bukanlah wajah atau kulit putih hasil suntikan. Tapi, warna cokelat milik gadis perawan. "Memangnya kenapa? A-aku hanya merasa senang karena sudah mendapat ijasahku," ucap Amara grogi. Ia cepat-cepat memasang sabuk pengaman karena mesin sudah kembali dihidupkan. "Oke, tapi jangan lakukan itu lagi padaku. Aku tidak suka," kata Pram memutar kemudinya ke arah yang berbeda. Sorot matanya seakan bicara kalau itu hal serius. Amara untuk sesaat terdiam, menatap pemandangan dari luar kaca jendela. Ucapan Pram terkesan dingin, seolah ingin agar Amara tahu diri. Situasi mereka tidaklah menyenangkan karena sebentar lagi keduanya harus berpisah karena puluhan alasan. Haruskah berakhir hanya seperti ini saja? Batin Amara tidak rela. Ia menatap ijasahnya lalu menghembuskan napas berat. Andai saja Pram sedikit lebih b******k dan memintanya agar tetap tinggal. Punya sugar daddy terdengar tidak buruk. Amara bisa punya tempat bergantung untuk sementara waktu. "Tunggu sebentar, aku mau membeli sesuatu." Pram menghentikan mobilnya di depan toko bunga. Ia keluar lalu kembali sepuluh menit kemudian. Sebuket bunga mawar putih dilemparnya ke kursi belakang. Amara terdiam, menebak kira-kira untuk siapa bunga semahal itu. Sepertinya bukan wanita yang kemarin. Hubungan mereka belum begitu jauh dan Pram terlihat terganggu. Jadi rasa penasaran itu terpaksa ditelan Amara sepanjang jalan. Hingga setengah jam kemudian, pertanyaannya terjawab saat mobil Pram kembali berhenti di area pemakaman. Bunga itu diletakkan begitu saja di atas makam seorang wanita bernama Kinan. Pram cukup lama berdiri di sana, menatap gundukan tanah lalu mencabuti beberapa tanaman liar yang menghiasi sekeliling makam. Melihat wajah sedih Pram, Amara langsung tahu kalau Kinan adalah wanita dalam foto yang ia lihat di gudang. Kebetulan ada nama juga tanggal di mana Pram melakukan swafoto. Pantas, suasana hatinya sejak tadi buruk, batin Amara sedikit lega karena tahu masalahnya. Benar saja, begitu kembali ke mobil, aura wajah Pram jauh lebih baik. Matanya tidak setajam tadi. "Mau makan sebelum pulang?" tanya Pram sembari menyalakan mesin mobil. "Bagaimana dengan tempat tinggal? Bukannya aku harus cepat keluar?" Amara mengernyit bingung. Baru tadi malam Pram terlihat panik karena takut ketahuan, tapi saat ada waku, pikirannya malah berubah. "Cari kerjaan saja dulu. Nanti baru pindah. Kalau dipikir-pikir bagaimana kalau kamu ke panti saja. Bukan sebagai anak asuh, tapi ikut menjaga anak-anak di sana." Pram melirik Amara, menanti tanggapan atas usulnya itu. "Aku tidak suka hidup dengan banyak orang," tolak Amara cepat. Ia malas kalau harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Belum tentu betah dan malah menimbulkan masalah lain. "Kenapa? Di sana orangnya baik-baik kok," bujuk Pram lagi. Wajah gadis di sampingnya itu langsung mendung, seperti anak kecil yang tengah merajuk. "Aku lebih suka tinggal dengan Om. Sudah kubilang kan? Aku bisa bersih-bersih atau masak." Amara menatap Pram penuh harap,memohon agar tidak memaksa. "Jangan konyol. Pria dewasa tidak nyaman hidup dengan wanita selain pasangannya." Pram menginjak rem, menghentikan mobilnya saat lampu merah. Suasana mereka sedikit tegang karena Amara terkesan membangkang. "Kamu lupa dengan hutang-hutangmu?" Pram berdecak tak percaya karena harus mengingat omong kosong itu sekarang. Ia bukan renternir, tapi obrolan tentang uang harus terus dibahas agar tembok di antara mereka tetap ada. "Justru aku harus membayarnya dengan itu." Amara tetap ngotot dengan pendiriannya. Ia benar-benar tidak sadar kalau sedang menginjak batas kesabaran Pram. Mobil Pram akhirnya kembali melaju. Tapi ia sudah tidak mau lagi berkata-kata. Beban pikirannya seakan bertambah dengan penolakan Amara. "Ayo makan dulu. Setelah itu aku akan mengajakmu ke panti," kata Pram tegas. Ia tidak lagi memberi ruang bergerak untuk Amara. Masa bodoh dengan itu, hal terpenting dari semuanya adalah privasi Pram yang sudah dilanggar. Pram butuh ketenangan sepulang kerja, bukan siksaan batin karena meratapi kebutuhan biologis. Untuk sekarang, ia bisa menahannya, tapi bagimana dengan besok dan besoknya lagi? Amara tidak menyahut, kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Lalu lalang orang di setiap pinggir jalan membuat Amara iri. Kebanyakan mereka tidak sendiri. Teman, pacar, anak atau suami terlihat bercengkrama satu sama lain. Kapan ia bisa seperti itu? Apa salah kalau menginginkan seorang pelindung? Sedang hidupnya sejak dulu selalu kesepian karena harus bertanggung jawab atas banyak hal. "Mie goreng atau nasi goreng?" tanya Pram setelah mereka turun dari mobil dan masuk warung tenda pinggir jalan. "Nasi goreng," sahut Amara pelan. Ia mengambil duduk terlebih dulu sedang Pram berjalan mendekati penjual untuk membuat pesanan. Selama menunggu, Pram berkali-kali mengajak bicara Amara tentang suasana panti, maksudnya biar sedikit tertarik, tapi tidak berhasil. Alih-alih mendengarkan, ia justru memperhatikan gadis-gadis di kanan kirinya. Semua selalu berbisik, menatap Pram dengan pandangan genit. Alhasil, karena kesal, Amara membalas tatapan mereka dengan pelototan. Seakan mengklaim kalau Pram adalah miliknya. "Kenapa? matamu sakit?" tanya Pram tidak peka sama sekali. Amara hanya menggeleng, mengaduk nasi goreng yang baru saja diletakkan di atas mejanya. Sedang para gadis itu berdecak sebal sekaligus tidak percaya. Dari sudut pandang manapun, mereka tidak cocok. Baik usia juga penampilan, Pram jauh di atas Amara. Kesal? Jangan tanya lagi. Otaknya sudah cukup berasap karena terus dibujuk agar ke panti. "Pelan-pelan saja, nanti perutmu sakit."Pram mengulurkan sekotak tissu agar makanan mereka tidak berantakan ke mana-mana. Amara tidak menyahut, mengunyah nasi gorengnya dengan kunyahan kesal. "Setelah ini aku mau langsung pulang. Aku butuh istirahat sebentar," kata Amara kembali melotot pada gadis cantik yang duduk paling ujung. Setelah beberapa saat mengamati, Pram akhirnya sadar kenapa Amara terus bertingkah aneh. Tapi bukannya marah, Pram justru geli sendiri. Cara Amara melindunginya persis seperti seorang adik yang cemburu setiap ada perempuan yang mendekati kakaknya. Mungki benar, ia tidak seharusnya memaksa Amara untuk tinggal di yayasan sosialnya. Mungkin lebih baik membiarkannya sampai mendapatkan pekerjaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD