Sebuah rahasia

1014 Words
"Kenalkan, ini anak Tante, Pramuditya. Persis seperti di foto, kan?"senyum Ny Rose menarik tangan Pram agar lekas menyambut uluran Katarina. Walau terlihat enggan, keduanya akhirnya bersalaman. Berbeda dengan Katarina yang terpesona, Pram justru biasa saja. Ia sudah menemui puluhan wanita karir, artis sampai model. Mereka semua gadis cantik, tinggi dan langsing. Jadi apa bedanya? "Maaf, apa aku menganggu? Mungkin dapurku terlalu minimalis untukmu," kata Pram diam-diam melirik ke arah kamar. Ia sedikit lega karena Amara berhasil bersembunyi tepat waktu. Bagaimana kalau tidak? Masalah pasti tidak akan selesai dengan permintaan maaf. "Tidak. Dapurnya cukup bagus, tapi apa ada peralatan yang lebih lengkap?" tanya Katarina tersenyum penuh harap. Dari cara wanita itu berkedip, Amara yakin ia tengah tebar pesona. Hanya saja Pram terlalu fokus dengan masalahnya sendiri dan tidak sadar kalau tengah diperhatikan. "Biar Tante ambilkan. Ada di gudang, kan?" Jantung Amara hampir copot saat Ny Rose berjalan ke arahnya. Untung saja Pram lebih sigap, menarik sang ibu agar menjauh dari dapur. "Hari ini bagaimana kalau kita makan di luar? Aku merasa tidak enak kalau tiba-tiba dimasakkan. Terlebih di pertemuan pertama kami." Pram menatap Ny Rose penuh harap. Ia benar-benar lelah dan ingin keluar dari apartemen itu. "Bukan karena aku menganggu, kan?" ledek Katarina terdengar manja. Diam-diam Amara merasa jijik sendiri. Selama ini ia pikir hanya wanita standart yang melakukan itu, tapi ternyata wanita cantik sama genitnya. "Baiklah, ayo kita makan siang di luar. Bahan makanan hari ini bisa untuk besok. Benar, kan Pram?" mata Ny Rose berkedip, agar Pram menginyakan. "Ya, tentu saja. Kalian bisa datang lagi lain waktu." Pram meringis, mencoba tersenyum sebiasa mungkin. Padahal dalam hatinya ia tengah berteriak kesal. Kali ini sang ibu sedikit keterlaluan. Ia paling benci memasukkan orang asing tanpa alasan penting. --- Tepat jam lima sore, Pram akhirnya benar-benar pulang. Ia berjalan menuju dapur dan mendapati Amara tengah menyantap kotak makan siang di atas meja. Kalau sudah menyangkut makanan, gadis itu rupanya sedikit tidak tahu malu. "Maaf, aku kelaparan tadi," kata Amara mengelap sisa saus di mulutnya dengan air kran. Tampilan fashionnya sungguh buruk. Ada kemungkinan baju yang ia pakai adalah bekas orang lain. Pram yakin akan hal itu . Karena selain terlihat usang, stylenya juga sudah ketinggalan jaman. "Apa rencanamu sekarang? Hutang harus tetap dibayar, bukan?" Pram menatap Amara lurus. Bukannya takut, yang dipandang malah grogi sendiri. Pantas kalau Katarina menyukai Pram. Pria itu bahkan berkharisma meski sedang kesal. "Om, usia Om berapa?" tanya Amara berpindah topik. "Kenapa? Kok tiba-tiba?" Pram mengernyit, tanda tidak suka. "Wanita tadi itu, apa jangan-jangan tunangan Om?" cengir Amara tanpa rasa bersalah sedikitpun. Baiklah, mungkin karena masih muda pikirannya jauh lebih santai dan sederhana. Jadi Pram mencoba mengerti. "Fokus ke hutangmu saja oke? Jadi apa rencanamu? Jangan bilang kamu mau balik ke rumah itu." Amara menggeleng, berekspresi kecut. "Buat apa? Itu cuma kontrakan yang hampir setahun tidak dibayar." Bagaimanapun, gadis itu akhirnya menunduk, merasa malu dengan keadaannya sendiri. Jangankan memikirkan hutang, masa depannya saja entah bagaimana. Lupakan masalah keberadaan Pak Kas, Amara yakin ayahnya akan baik-baik saja untuk sementara waktu. Pram menghela napas panjang, ikut bingung dengan nasib Amara. Ia tidak mungkin membiarkan seorang gadis tidur satu atap dengan pria lajang seperti dirinya. Mustahil juga kalau harus terus menghindari Ny. Rose. "Besok carilah rumah sewaan yang pas untuk kamu tinggali sendiri. Aku akan memberi sedikit modal. Jadi kamu bisa mencari uang untuk mencicil hutang. Bagaimana?" "Modal? Apa itu tidak terlalu beresiko?" Amara tidak yakin apa ia harus merasa senang atau bingung. Sikap Pram tidak sama dengan kebanyakan pria pada umumnya. Padahal Amara bukan anak kecil yang tidak tahu kebutuhan biologis pria dewasa. Ya, seperti katanya kemarin, ia adalah pria terhormat. "Mau atau tidak?" tanya Pram terdengar tidak sabar. Amara terdiam lama lalu menatap mata Pram penasaran. Kalau saja aku secantik dan semodis Katarina, batin gadis itu merasakan dadanya berdebar. Pram bahkan tidak tahu arti sikap Amara. Tapi gadis itu malah kesal untuk sesuatu yang tidak jelas. "Biarkan aku tinggal di sini. Aku bisa bersih-bersih atau menyediakan sarapan. Paling tidak sampai aku mendapatkan tujuan," pinta Amara penuh harap. Dari sudut pandang Pram, itu karena Amara takut hidup sendirian. Selama ini, meskipun selalu berulah, Pak Kas tidak pernah meninggalkan Amara kemana-mana. Ya, kecuali di kesempatan kemarin. Tapi hal itu tidak membuat Pram terpengaruh. Hidup satu atap bukan solusi, tapi malah menambah masalah lain. "Aku tidak suka sarapan dan sudah ada petugas kebersihan yang kupanggil seminggu sekali," kata Pram lugas dan menusuk. Ia tidak boleh memberi kesempatan Amara untuk bergantung. Tidak untuk kali ini atau selamanya. "Lalu? Bagaimana bisa aku melunasi hutang?" keluh Amara kebingungan. Daripada berwiraswasta, ia lebih suka bekerja untuk orang lain. "Aku akan memikirkannya lagi. Hari ini bantu aku bereskan dapur. Setelah itu kamu boleh tidur atau menonton TV. Aku lelah dan akan istirahat lebih awal." Pram beranjak dari duduknya sambil menguap lebar. Hari ini berkat Katarina dan ibunya, Pram serasa menua sepuluh tahun. Kalau diingat-ingat candaan garing sepanjang makan siang tadi, mampu membuat kepalanya sakit. Pernikahan? Omong kosong. Memangnya ada yang tahan dengan sifat kaku Pram? Sekitar tiga puluh menit kemudian, Amara akhirnya bisa menikmati acara televisi dengan tenang. Perutnya kenyang dan badannya bersih. Kenikmatan sederhana itu berbeda 180 derajat dengan dulu. Sampai kapan ketenangan itu akan bertahan? Kalau sampai ia keluar dari sini, mungkin saja rentenir lain akan menemukannya. Sementara itu di kamar yang berbeda, Pram tengah merebah, menatap sehelai foto usang di bawah bantalnya. Wajah itu mendadak sedih lalu membuang tatapannya ke langit-langit kamar. Sepuluh tahun berlalu sejak kepergian Kiran, Pram tidak pernah sekalipun membuka hatinya. Ia tidak tertarik dengan siapapun dan memiih larut dalam masa lalu. Manusia memang tidak mampu memilih jalan takdirnya sendiri. Begitu pula dengan Kiran, kekasih Pram yang meninggal karena kecelakaan. Kadang, jalinan yang dipisahkan oleh maut, rasa sakitnya sulit dihapus. Selama ini, puluhan wanita yang dipilih sang ibu tidak mampu merubah apapun. Pram justru merasa tertekan karena keinginan menikah dari pihak keluarga semakin lama semakin besar. Andai saja ada satu cara untuk menghindar, Pram pasti sudah melakukannya sejak dulu. Ya, cara aman yang tidak akan menyakiti siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD