Kekecewaan

1057 Words
Pram terpaksa meninggalkan pekerjaannya hari ini. Sebuah panggilan dari polisi membuat isi kepalanya nyaris keluar. Seumur-umur baru sekali ini ia menunda meeting untuk urusan pribadi. Terpaksa sebenarnya, daripada nanti urusannya semakin runyam. Gosip sekecil debu akan menajdi sebesar gunung saat sampai ke telinga sang ibu. Sepanjang perjalanannya menuju Tebet, ia sempat menghubungi Ardi, pengacara perusahaan. Tak banyak yang mereka bicarakan karena Pram sendiri belum tahu detil masalah. Selang satu jam kemudian, Pram tiba di kantor polisi, tepat di bagian humas. "Mara?" seru Pram saat mendapati gadis yang ia lihat tadi pagi itu tengah menyembunyikan wajahnya di balik jaket. "Anda kenal dia?" tanya polisi sedikit sangsi. Lita ikut menoleh, mengamati penampilan Pram lalu mulai berasumsi sendiri. Dari setelan mahal juga wajah yang di atas sandart. Mustahil rasanya melihat Amara bergaul dengan pria seperti itu. "Kenal, Pak. Amara itu anak asuh saya di yayasan," sahut Pram setelah sesaat lalu terdiam.Ia buru-buru menyodorkan kartu nama dari dalam dompetnya. Polisi itu memeriksanya sebentar sebelum memberikan lagi pada Pram. Sekarang ia mulai mengerti apa yang tengah terjadi. "Jadi ini berawal dari ponsel. Apa benar ini ponsel Anda?" "Iya benar Pak. Saya punya nomor pembelian untuk ponsel saya. Kebetulan saya meminjamkannya pada Amara karena ponselnya rusak. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pram mulai berpikiran buruk. Jangan-jangan ponsel itu akan dijual? "Tadi mereka berdua ribut dan saling memperebutkan ponsel itu, jadi saya membawa mereka agar masalahnya bisa diselesaikan." Polisi itu kini menatap tajam pada Lita yang langsung gelagapan. Kalau saja Pram tidak cepat-cepat datang, entah apa yang akan terjadi pada Amara. Penampilan benar-benar tidak bisa dijadikan sebagai patokan. Setengah jam kemudian, setelah selesai mengurus formalitas, Pram menyuruh Amara agar secepatnya masuk mobil. Sedari tadi, gadis itu terus saja menunduk, tenggelam oleh rasa malu. Bukan itu saja, pengakuan Pram akan statusnya membuat Amara sadar tentang banyak hal. Anak asuh? Baru sekarang kepedulian serasa menyakitkan. "Sudah makan belum?" tiba-tiba Pram merasa tak enak. Kalau dipikir-pikir, ia juga salah karena tidak memberi pakaian layak. Seharusnya begitu membawa Amara, otomatis itu menjadi tanggung jawabnya. "Sudah tadi, makan bakso," jawab Amara masih menunduk, menyesal karena membuat masalah untuk Pram. Kemudian obrolan kecil itu terputus. Pram memilih diam, mengendarai mobil dengan pikiran yang sedikit menggantung. "Tentang masalah tadi, aku minta maaf." Amara memecah hening, berharap Pram melunak. "Lupakan. Mulai sekarang, jangan pergi kemanapun. Aku sendiri yang akan mencari tempat tinggal untukmu. Ini sudah di luar batas. Aku juga bisa kena masalah kalau sampai ada yang tahu." Pram menghela napasnya keras. Bukan hanya sang ibu, ayah Pram bisa saja bertindak tegas. Urusan dengan polisi adalah masalah serius untuk keluarga besar. Reputasi perusahaan sang ayah bisa hancur hanya karena kesalah pahaman seperti tadi. Namun,entah kenapa untuk melepas Amara, ia pun tidak tega. Sejak pertama kali bertemu, hatinya tidak tenang. Apa karena latar belakangnya mirip Kinan? Ya, bayangan masa lalu dengan sang mantan terus menghantuinya hingga sekarang. Kalau saja Kinan tidak meninggal, mungkin Pram sudah berkeluarga sekarang. Punya anak dan hidup bahagia meski tidak kaya raya. Hatinya serasa pedih setiap mengingat hal menyakitkan itu. "Tunggu di sini, aku akan segera kembali," kata Pram memarkir mobilnya di depan sebuah toko baju. Amara mengangguk patuh, menatap punggung lebar Pram yang kemudian menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian, Ia sudah kembali dengan sebuah tas penuh pakaian juga kaos untuk Amara. Setidaknya itu yang bisa ia lakukan untuk menebus kejadian tidak mengenakkan hari ini. "Tidak kekecilan kan?" Pram menatap Amara, melihat bagaimana mata gadis muda itu berair. Amara menggeleng, cepat-cepet menyeka ujung matanya. Kapan terakhir ia mencium aroma pakaian baru? Amara benar-benar lupa karena hidupnya terlalu sibuk dengan isi perut juga bunga rentenir. Pram tanpa sadar menepuk puncak kepala Amara. Ia pernah melihat hal seperti sebelumnya, tiga tahun lalu saat ia memungut seorang anak kecil di jalanan Jakarta. Tapi benarkah hanya rasa kasihan? Bukankah Amara sudah terlalu dewasa? Di saat yang sama, hati Amara berdebar melihat sorot teduh dari mata Pram. Ia tahu itu salah, tapi manusia mana yang mampu mengendalikan perasaannya sendiri? "Pram?" Seseorang tiba-tiba saja mengetuk pintu mobil dari luar. Merusak moment mereka. Keduanya terkejut, saling tatap satu sama lain. Pram sendiri baru sadar kalau mereka tengah berada di kawasan dekat apartemen dan bisa saja itu seorang kenalan. Urusannya bisa panjang kalau ada gosip macam-macam. Jadi Pram menyuruh Amara pindah ke kursi belakang sambil menunduk. "Katarina?" seru Pram terkejut. Ia buru-buru keluar lalu menutup pintu. Tingkah itu justru memancing kecurigaan. Katarina sebenarnya sudah mengamati Pram sejak awal masuk ke toko baju. Kebetulan ia sedang di kafe sebelah dan berniat untuk menyapa. Tapi urung saat melihat Pram membeli kaus juga beberapa baju perempuan. "Hai, Pram? kamu lagi sendirian atau ada teman?" tanya Katarina langsung pada pokok pertanyaan. "Kenapa? ada apa memangnya?" Pram balik bertanya. Meski dipilihkan sang ibu, mereka belum terlalu dekat untuk pertanyaan seperti itu. Karakter yang paling dibenci Pram adalah memonopoli pasangan. Belum apa-apa saja sudah gusar. "Nggak, aku cuma penasaran soalnya kamu barusan beli banyak baju." Katarina langsung menurunkan suaranya, takut kalau Pram tersinggung. "Oh itu buat anak asuh. Kemarin aku sudah cerita kan kalau punya yayasan sosial?" Katarina mengangguk ragu. Alasan itu masih tidak masuk akal karena baju itu adalah ukuran dewasa sedang yayasan Pram hanya menampung anak kecil saja. Tapi apa yang bisa diharapkan? Mereka memang masih tahap saling kenal. "Mau gabung sebentar? Kebetulan aku lagi sama temen di kafe sebelah," ajak Katarina sambil sesekali melirik ke dalam mobil. Pram menggeleng, langsung menolaknya. "Lain kali saja. Aku sedang ada urusan di yayasan." "Kalau begitu boleh nggak aku ikut?" Pram seketika mengernyit sebal. Ia hampir mengatakan sesuatu yang tidak enak didengar. "Becanda kok Pram, aku juga lagi ada urusan kok," senyum Katarina menepuk pundak Pram santai. Tak lama sosok ramping itu pergi, masuk ke kafe lagi sambil sesekali menoleh ke belakang. Pram buru-buru masuk, menatap ke kursi belakang. Amara masih meringkuk, menatap cemas padanya. "Kita pulang saja dulu," gumam Pram memberi isyarat agar Amara tetap ada di posisinya sekarang. Ia tahu Katarina masih mengawasi mereka dari seberang jalan, tepat di dekat jendela kafe. "Liat apa Kath?" tegur temannya saat memergoki Katarina menatap mobil yang keluar dari area parkir. Katarina tidak menyahut. Mana mungkin ia cerita kalau ada pria yang sok jual mahal padanya? Yang ada reputasinya sebagai penakluk laki-laki akan hancur. Kalau memikat tidak bisa, cari saja kelemahannya, batin Katarina menelan kekesalan itu sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD